JAKARTA -- Mantan deputi Bidang Moneter Bank Indonesia (BI) dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta dalam kasus Bank Century. Budi divonis bersalah akibat lalai dalam pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) untuk Bank Century.
"Pidana tersebut dipotong masa tahanan, untuk denda dapat diganti dengan kurungan lima bulan penjara bila tak sanggup membayar," ujar Ketua Majelis Hakim Afiantara, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (16/7).
Majelis hakim menilai, kebijakan yang diambil Budi dan Rapat Dewan Guberur (RDG) BI pada 2008 tidak tepat dan merugikan negara. Hakim Afiantara mengatakan, nilai kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 8 triliun akibat perbuatan Budi dan segenap petinggi BI saat itu.
Foto:Republika/Agung Supriyanto
Pledoi Budi Mulya
"Perbuatan melawan hukum ini dilakukan terdakwa Budi secara bersama-sama dan berlanjut dengan Boediono, Miranda Swaray Goeltom, Siti Chalimah Fadjrijah, (alm) S Budi Rochadi, Muliaman Darmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono, Ardhayadi Mitodarwono, Raden Pardede, Robert Tantular, dan Hermanus Hasan Muslim," kata hakim Afiantara.
Vonis majelis hakim lebih ringan ketimbang tuntutan tim jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Dalam sidang sebelumnya, Budi dituntut 17 tahun penjara dan denda Rp 800 juta, subsider delapan bulan kurungan. Satu hakim anggota Anas Mustaqim mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) ikhwal krisis 2008 yang menjadi dasar pemberian FPJP dan bailout kepada Bank Century.
Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim berkesimpulan bahwa pada 2008 tidak ada krisis yang mengancam perekonomian Indonesia. Kesimpulan ini diambil setelah mendengarkan keterangan dari saksi-saksi perkara maupun ahli. Karenanya, majelis hakim menyatakan, pemberian FPJP dan bailout kepada Century tidak tepat.
Pemberian uang hingga triliunan rupiah itu, menurut majelis hakim, membuat negara rugi dan malah memperkaya beberapa pihak. "Memang ada krisis global, tapi itu tidak memberikan pengaruh kepada Indonesia, sehingga pemberian FPJP dan bailout tidak berlandaskan situasi," ujar hakim Afiantara.
Hakim Afiantara menyatakan, krisis ekonomi pada 2008 memang sempat membuat sejumlah negara goyah. Namun, krisis tersebut dampaknya tidak akan separah pada 1997-1998. "Menimbang semua keterangan di pengadilan, asumsi adanya krisis malah menjadi pemberian FPJP dan bailout kepada bank gagal yang tidak berdampak sistemik," kata Afiantara.
Sebelumnya, seluruh anggota Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang pernah bersaksi di sidang Century menyatakan, pada 2008 terjadi krisis ekonomi yang mengancam Indonesia. Atas asumsi itu, KSSK menganggap tidak boleh ada bank yang tutup demi menjaga psikologis perbankan.
Ketua KSSK ketika itu sekaligus menteri keuangan yang saat ini menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati dan anggota KSSK sekaligus gubernur BI kala itu Boediono mengungkapkan ancaman krisis ini di persidangan. Boediono bahkan dalam kesaksiannya mengatakan, memang benar Century adalah bank gagal. "Ibarat rumah preman, tetap kalau kebakaran harus diselamatkan agar tidak menjalar ke rumah-rumah lain," Boediono beranalogi, saat itu.
Dalam sidang pembacaan vonis, hakim Afiantara membalas analogi Boediono. Di mata majelis hakim, terbakarnya rumah preman tersebut tidaklah pas menggambarkan situtasi bailout 2008. "Yang tepat rumah itu roboh karena ulah preman itu sendiri, sebenarnya tak perlu diselamatkan karena robohnya satu rumah tidak akan menjalar ke rumah lain," kata Afiantara.
Budi Mulya tetap menilai dia tidak bersalah dalam kasus bailout Century. Sebelum sidang pembacaan vonis, Budi mengaku dalam kondisi emosional setelah dua tahun meninggalkan keluarganya demi mengikuti proses hukum. "Kalau ternyata memang ada 'penumpang gelap' atas kebijakan ini, merekalah yang seharusnya dikejar. Saya yakin kebenaran akan muncul di tengah kebatilan," rep:gilang akbar prambadi ed: andri saubani