Oleh: Sunarsip -- Besok (22 Juli), Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengumumkan hasil perhitungan riil (real count) perolehan suara masing-masing calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Meski proses menuju penetapan presiden dan wakil presiden terpilih masih panjang, setidaknya dari pengumuman KPU besok kita sudah bisa memperkirakan siapa presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019.
Terlepas seperti apa hasil pengumuman KPU besok, tantangan pada bidang ekonomi sudah menunggu presiden terpilih. Presiden terpilih baru akan menjalankan tugasnya pada Oktober 2014. Dalam kurun waktu tiga bulan menjelang tutup tahun, pemerintahan baru dituntut mampu menumbuhkan keyakinan dan optimisme yang tinggi kepada pemerintah. Karena itulah, kebijakan-kebijakan jangka pendek, atau yang kita kenal sebagai program 100 hari, harus dirancang sedemikian rupa agar mampu memenuhi ekspektasi masyarakat.
Satu hal yang perlu dicatat, pemerintahan saat ini (incumbent) masih menghadapi tantangan yang masih cukup berat terkait dengan situasi ekonomi saat ini. Pemerintah saat ini dihadapkan pada upaya untuk meningkatkan kepercayaan pasar, yang bisa terefleksikan melalui penguatan nilai tukar rupiah. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun otoritas moneter. Namun, hingga kini pergerakan nilai tukar rupiah masih belum menunjukkan tanda penguatan. Mata uang rupiah masih diperdagangkan di atas Rp 11.500 per dolar AS, bahkan sempat menembus di atas Rp 12 ribu per dolar AS.
Sejumlah kalangan menyatakan bahwa bila nanti presiden terpilih telah dinyatakan secara definitif, nilai tukar rupiah diperkirakan akan menguat. Padahal, berdasarkan pengalaman pada pemilu presiden 2004 dan 2009, pengaruh hasil pemilihan presiden tidak selalu sejalan pergerakan nilai tukar. Pola pergerakan nilai tukar rupiah ini berbeda sekali dengan IHSG yang biasanya menguat bila presiden terpilih telah dinyatakan secara definitif. Pergerakan nilai tukar masih lebih banyak dipengaruhi oleh faktor fundamental ekonomi.
Tantangan jangka pendek terkait dengan nilai tukar rupiah ini secara nyata dipengaruhi oleh kinerja perekonomian kita, khususnya neraca perdagangan kita yang belum kunjung membaik. Tahun 2014 sampai dengan Mei ini, neraca perdagangan kita masih mengalami defisit 0,83 miliar dolar AS. Defisit ini terutama disebabkan oleh tekanan impor migas (khususnya impor minyak dan produk minyak) yang cenderung meningkat. Defisit neraca perdagangan migas Januari - Mei 2014 mencapai 5,5 miliar dolar AS, sementara itu neraca perdagangan nonmigas masih mengalami surplus US$4,68 miliar.
Sampai dengan Mei 2014, kita mengimpor produk minyak mencapai 11,29 miliar dolar AS. Nilai impor produk minyak ini mencapai sembilan kali lipat dibanding ekspor produk minyaknya yang mencapai 1,62 miliar dolar AS dan produk minyak ini menyumbang defisit hampir 10 miliar dolar AS. Tingginya impor produk minyak yang sebagian besar BBM tersebut disebabkan karena kebutuhan BBM di dalam negeri yang terus meningkat.
Pada tahun ini, pemerintah saat ini "melepas" kebutuhan BBM sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pemerintah melalui APBN-Perubahan 2014 sudah menjamin tidak akan ada kenaikan harga BBM. Hal ini terlihat dari besarnya subsidi BBM yang menjadi Rp 350,3 triliun atau meningkat Rp 139,6 triliun dibanding subsidi BBM pada APBN 2014 sebesar Rp 210,7 triliun. Hampir dapat dipastikan pula bahwa kebijakan pembatasan konsumsi BBM juga tidak akan dijalankan secara masif pada tahun ini.
Kebijakan pemerintah ini, di satu sisi positif untuk memberikan kepastian dan stabilitas selama 2014. Namun, kebijakan juga menjadi beban bagi pemerintahan baru karena berpotensi meningkatkan defisit APBN. Peningkatan defisit APBN akan dibaca oleh para pelaku pasar sebagai penurunan kualitas kesinambangun fiskal (fiscal sustainability) yang berpotensi sebagai faktor yang memperlemah nilai tukar rupiah. Kondisi ini juga tentunya akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pemerintahan baru dalam menjalankan politik anggaran berikutnya.
Di luar masalah internal, tantangan eksternal dalam jangka pendek juga masih membayangi perekonomian kita. Kinerja negara-negara mitra dagang utama kita, terutama Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, juga masih menyimpan potensi memberikan tekanan bagi perekonomian kita. Kebijakan tapering off yang sudah dijalankan bank sentral AS sejauh ini memang bisa diantisipasi oleh otoritas moneter kita. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kebijakan tapering off AS juga telah berdampak pada ketatnya likuiditas di pasar keuangan kita yang berarti telah terjadi capital outflow. Sektor perbankan pun mulai terkena dampaknya berupa kesulitan dalam penyaluran kreditnya.
Kondisi perekonomian Tiongkok yang "sengaja" (by design) diperlemah oleh pemerintahnya juga telah berdampak bagi perekonomian kita. Tiongkok adalah pasar ekspor terbesar kita saat ini, terutama ekspor komoditas. Akibat pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang menurun, ekspor kita juga menurun. Kondisi inilah yang turut menyebabkan neraca perdagangan kita cenderung melemah yang ditandai dengan defisit sejak 2012.
Tantangan yang dihadapi pemerintahan baru sudah terlihat. Tentunya, kita juga berharap bahwa pemerintah saat ini mampu mewariskan kondisi ekonomi yang stabil dan positif kepada pemerintahan yang baru. Berbagai tantangan jangka pendek di atas semestinya tetap menjadi pekerjaan yang harus dipecahkan oleh pemerintah. Pemerintah saat ini, misalnya, perlu melakukan terobosan untuk mengembalikan neraca perdagangan agar tidak kembali defisit pada tahun ini. Pemerintah juga berkewajiban menjaga fiskal kita tetap dalam kondisi sehat, yang ditunjukkan oleh defisit APBN yang makin mengecil.
Kemampuan pemerintah dalam menjawab kedua tantangan di atas tentunya akan menjadi catatan positif bagi para pelaku pasar untuk tetap yakin akan kemampuan pemerintah dalam mengelola perekonomian. Sementara itu, bagi calon presiden dan wakil presiden terpilih juga harus menyiapkan berbagai program untuk semakin menumbuhkan keyakinan masyarakat dan pelaku pasar terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola perekonomiannya. Tak kalah penting, bahkan terpenting, adalah susunan kabinet mendatang. Sebab, program yang baik bila tidak diimbangi oleh komposisi kabinet yang kapabel juga berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dan pasar.
Dalam kondisi ekonomi yang masih dibayangi potensi krisis, tentunya presiden yang baru tidak boleh main-main dalam menetapkan orang untuk duduk dalam kabinet. Keliru dalam menempatkan orang karena kalah oleh kepentingan politik, hal tersebut akan menyulitkan pemerintah untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Tantangan bagi pemerintah baru sudah menunggu. Ujian pertama bagi presiden terpilih adalah, beranikah pemerintah mengambil kebijakan yang tidak populer namun penting.