"Nggak penting berapa jumlah nilai UN, yang penting ada duit, beres deh!" Begitu celoteh seorang siswa di angkutan umum. (Waduh... masih belum kelar rupanya kekecewaan di hati mereka.) Sayang saya nggak nguping dari awal....
Honesty Rasyid, ibu rumah tangga yang tinggal di Kota Depok, Jawa Barat, menuliskan kata-kata tersebut di kolom status laman Facebook miliknya, Rabu (6/8). Status itu dipicu pembicaraan tiga siswi SMA yang kebetulan bersamanya naik angkutan umum.
Seorang siswi bercerita mengenai "jalur titipan" dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di Depok. "Eh... gila, si Bella ama Sinta kan namanya nggak ada di penerimaan online, tapi kok tadi anak-anak nge-LINE gue kalo mereka ikut MOS (masa orientasi sekolah—Red)."
Sang teman yang duduk di sebelahnya langsung menyambar, "Ah, lu polos banget sih, itu kan sama aja kayak beli tiket konser tau buat bisa masuk ke sana. Tau nggak sih lu? Itu tergantung ini," ujar sang teman sambil menggesekkan jari telunjuk dan jempolnya. Bahasa tubuh yang biasa berkonotasi dengan uang.
Teman lainnya seakan tak percaya dengan penjelasan itu. "Masak sih? Itu kan SMA top, nggak mungkin lah." Siswi kedua langsung menimpali, "Apa sih yang nggak mungkin? Lu liat aja dia bisa ikut MOS di sana sekarang."
Kata-kata terakhir si siswi kemudian dijadikan status dalam laman Facebook Honesty. Status Facebook-nya langsung mendapat komentar teman-temannya, yakni Erika Fridayani Ita. Erika berkomentar, "Bener banget, bun… kejadian kok sama anak temen kantor masuk pake jalur LSM. Kalau DKI udah rada ketat semua online termasuk jalur khususnya, jadi terdaftar semua."
Ena Lubis, orang tua murid yang tinggal di Perumahan Depok Utara, mengungkapkan ada tetangganya yang bercerita kalau dia harus membayar uang sekian juta rupiah agar anaknya diterima di sekolah negeri di Depok. "Katanya banyak yang begitu, angkanya antara Rp 5 juta sampai belasan juta," ujar Ena.
Nani, orang tua murid yang berhasil memasukkan anaknya ke sebuah sekolah negeri di Depok, mengatakan, bagi orang tua tidak masalah mengeluarkan uang jutaan rupiah selama ada jaminan sang anak dapat diterima di sekolah favorit. "Uang nggak masalah, yang penting anak saya masuk sekolah negeri favorit," kata Nani.
Menurut Nani, banyak orang tua murid yang melakukan hal serupa. Mereka rela membayar jutaan rupiah untuk satu kursi di sekolah negeri bagi anaknya. Agar proses masuknya lebih mudah, umumnya para orang tua murid meminta bantuan kepada anggota DPRD Depok, pengurus lembaga swadaya masyarakat (LSM), atau wartawan. "Biasanya bayar Rp 5 juta sampai Rp 7 juta, lalu orang tua juga harus bayar Rp 5 juta ke sekolah untuk uang sumbangan sukarela. Setelah itu, baru dapat diterima di sekolah negeri," ungkap Nani.
Sofyan, orang tua murid yang berhasil memasukkan anaknya melalui jalur optimalisasi, mengaku membayar Rp 5 juta untuk LSM dan Rp 5 juta untuk uang sumbangan sukarela sekolah.
Tahun ini, Dinas Pendidikan (Disdik) Pemerintah Kota Depok membuka jalur optimalisasi guna menampung siswa yang tidak masuk ke sekolah negeri melalui jalur PPDB online atau sistem jurnal. Kebijakan ini menjadi celah maraknya pungutan liar yang dilakukan oknum DPRD Depok, LSM, wartawan, dan pihak sekolah.
Sebagai contoh, di SMAN 3 Depok, siswa yang diterima melalui jalur PPDB online berjumlah sembilan kelas dengan satu kelasnya berisi 40 siswa. Di luar sembilan kelas ini, setelah masa MOS, siswa-siswa dikejutkan keberadaan tiga kelas tambahan yang diterima melalui jalur optimalisasi dengan kuota siswa 40 murid per kelas. Seusai masa MOS, di gerbang SMAN 3 Depok yang berlokasi di Jalan Raden Saleh, Kecamatan Sukmajaya, itu terpampang tulisan yang menerangkan bahwa jalur optimalisasi sudah tutup.
Seorang guru di salah satu sekolah negeri mengakui, sekolah hanya meminta uang sumbangan sukarela kepada para orang tua yang memasukkan anaknya melalui jalur optimalisasi. "Uang itu masih kami simpan dan kalau dilarang, akan kami kembalikan," kata guru yang tidak bersedia disebutkan namanya ini.
"Kami tidak bertanggung jawab atas uang yang dikeluarkan para orang tua murid ke oknum anggota DPRD Depok, LSM, atau wartawan," katanya.
Anggota Komisi D DPRD Kota Depok yang membidangi pendidikan Edmon Johan menyatakan, bila ada anggota DPRD yang ikut melakukan pungli PPDB, itu perbuatan sendiri dan bukan instruksi lembaga. "Itu oknum, yang jelas kami tidak tidur," kata Edmon.
Membantah
Kepala Dinas Pendidikan Pemkot Depok Herry Pansila membantah kebijakan jalur optimalisasi dikeluarkan untuk memfasilitasi praktik titip-menitip siswa dengan membayar sejumlah uang tertentu. "'Kebijakan ini murni untuk mengoptimalisasi keinginan masyarakat guna memberi kesempatan yang besar bagi anak-anak untuk dapat pendidikan yang layak di sekolah negeri," ujar Herry.
Di Kota Depok, katanya, ada 314 sekolah negeri dengan perincian 279 SDN, 19 SMPN, 13 SMAN, dan tiga SMKN. Jumlah lulusan SD dan SMP tahun ini menembus 32 ribu siswa. Semua siswa, kata Herry, ingin bersekolah di sekolah negeri.
Dinas Pendidikan tidak ingin alasan keterbatasan jumlah sekolah negeri membuat anak-anak Depok tidak mau sekolah. "Jadi, kami cari jalan keluarnya dengan semaksimal mungkin mengakomodasi anak-anak yang ingin bersekolah di negeri dengan membuka ruang kelas baru, yaitu kelas siang dan kelas filial atau kelas jarak jauh di semua sekolah negeri. Hasilnya, kini hanya tersisa 343 anak yang tak tertampung di sekolah negeri," ujar Herry.
Herry menegaskan, dia akan mencopot semua kepala sekolah di sekolah negeri dari jabatannya, baik tingkat SD, SMP, SMA, maupun SMK, yang terbukti melakukan penyimpangan dan pungutan liar dalam proses PPDB. Dia mengakui mencium adanya modus menjual 20 persen kuota bangku untuk siswa miskin atau tidak mampu yang ditetapkan Pemkot Depok. Jatah siswa miskin itu dijual kepada siswa mampu rata-rata Rp 5 juta sampai Rp 7 juta.
"Tapi, prinsipnya semua sekolah negeri tidak boleh memungut biaya apa pun, termasuk dengan dalih sumbangan. Apalagi, menjual 20 persen kuota bangku untuk siswa miskin. Kami akan tindak tegas, mulai dari mutasi sampai pemecatan sebagai PNS," kata Herry menegaskan. rep:rusdy nurdiansyah ed: eh ismail