Selasa 26 Aug 2014 14:30 WIB

Bolos Sekolah dan Meluasnya Krisis BBM

Red:

"Motor bapak saya tidak ada bensinnya, jadi tidak bisa antar saya jalan," keluh Dini, siswi SMP yang ditemui Republika saat sedang menunggu angkutan kota (angkot) di perempatan Tegalwangi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (23/8) lalu.

Sudah empat jam Dini menunggu angkot. Jam masuk sekolah pun berlalu. Sampai akhirnya memutuskan untuk bolos sekolah pada hari itu, Dini tetap juga tak kebagian angkot. "Mungkin sekarang semua orang naiknya angkot, sampai semua angkot jadi penuh."

Hal serupa juga dialami Rahmat, siswa SMKN 1 Cirebon. Dia terpaksa membolos karena tidak ada angkot yang kosong. "Saya sudah sejak pagi menunggu, tapi angkot jarang yang lewat. Kalaupun ada, sudah penuh penumpangnya," tutur Rahmat.

Langkanya bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium di wilayah Cirebon menjadi penyebab banyak warga memilih naik angkot untuk bepergian. Sialnya, tidak semua angkot bisa beroperasi karena tidak semua kebagian jatah bensin. "Banyak SPBU kehabisan stok bensin," kata Iman, sopir angkot, kepada Republika.

Iman mengaku ogah mengganti bahan bakar angkotnya dengan Pertamax yang lebih mahal. Dia beralasan, tidak mungkin menaikkan tarif angkot secara sepihak sementara harga Pertamax dua kali lipat dari harga Premium. "Kalau ongkos penumpangnya tidak naik, kami rugi."

Sekretaris Organda Cirebon, Karsono, menyatakan, angkot yang beroperasi di Cirebon tinggal 10 persen dari keseluruhan armada yang ada. Sedangkan, sisanya tidak bisa beroperasi karena angkot mereka tak kebagian jatah bensin. "Sopir angkot susah sekali dapat BBM, mereka harus antre berjam-jam di SPBU," kata Karsono.

Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat Ferry Sofwan Arif, mengutip informasi dari Pertamina, kelangkaan BBM bersubsidi akibat kebijakan pembatasan penjualan, termasuk adanya pengaturan pasokan BBM bersubsidi ke beberapa SPBU. "Informasi dari Pertamina saat rapat koordinasi pekan lalu, intinya akan dilakukan pengurangan di beberapa SPBU tertentu di kota dan bukan di jalur logistik," ujar Ferry, Senin (25/8).

Bambang, seorang dosen yang tinggal di Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, juga hampir bolos mengajar pada Senin (25/8). Bensin di tangki motornya hampir habis, padahal dia harus sampai Kota Wates untuk mencapai SPBU terdekat.

Kemarin pagi, Bambang sudah berusaha membeli bensin ke pedagang eceran di pinggir jalan. Namun, hampir seluruh pengecer bensin yang dilaluinya dari Sentolo ke Kota Wates hanya memajang botol kosong. "Bensin habis, Mas," kata Bambang menirukan jawaban penjual bensin eceran.

Setelah sampai di Kota Wates, Bambang meminjam motor kawannya untuk berkeliling mencari bensin eceran. Namun, dari pedagang eceran yang berjualan di barat Alun-Alun Wates, bensin yang dibeli Bambang tinggal tersisa satu botol. "Satu liter tidak apa-apa, sudah bisa digunakan sampai pompa bensin," ujar Bambang.

Krisis meluas

Dampak kebijakan pengendalian penggunaan BBM oleh pemerintah dilaporkan meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Antrean panjang di banyak SPBU menjadi pemandangan lazim sejak akhir pekan lalu lantaran Premium dan solar dijual dalam jumlah terbatas.

Berdasarkan laporan Antara pada Senin (25/8), krisis BBM bersubsidi yang berimbas pada antrean di banyak SPBU terjadi di Agam, Padang (Sumatra Barat); Kediri (Jawa Timur); Karawang (Jawa Barat), hingga Batam, Kepulauan Riau.

Di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Republika menemukan antrean terjadi di beberapa SPBU. Contohnya yang terjadi di SPBU Dukuhan, Sendangadi, Mlati, Sleman. Antrean didominasi pengguna sepeda motor. Pengawas SPBU Dukuhan, Janarto, mengatakan antrean panjang terjadi sejak Ahad (24/8).

Antrean panjang juga terjadi di SPBU Tajem, Maguwoharjo, Depok, Sleman. Banyak warga membawa jeriken telah antre sejak pukul 09.00 WIB. "Sejak Jumat (22/8), Premium dikurangi. Kami hanya dikirim 16 kiloliter," kata Manajer Administrasi SPBU Tajem Happy Indrawan.

Adapun BBM bersubsidi jenis solar mulai langka di beberapa daerah di kota dan kabupaten Tasikmalaya. Petugas pengawas SPBU di Jalan Raya RE Martadinata, Abdul Muis, menerangkan, kelangkaan solar telah terjadi pada sepekan terakhir. "Karena ada pembatasan, kami tidak bisa membeli solar pada hari itu juga," kata Abdul.

Dulmaji (53), seorang pengemudi truk pasir asal Ciamis, mengaku, ia belakangan kesulitan mendapatkan solar. Di beberapa SPBU sepanjang jalan Ciamis-Tasikmalaya, menurutnya, terjadi antrean panjang. "Sebenarnya di SPBU ini masih ada stok solar, tapi jenis Dex. Harganya bisa dua kali lipat, sekitar Rp 12 ribu per liter. Tentu ini memberatkan, lagi pula penghasilan jasa transportasi tidak seberapa," keluh Dulmaji, saat hendak mengisi solar di SPBU Indihiang.

Para sopir truk angkutan barang yang melintas di Jalan Lintas Sumatra (Jalinsum) juga mengeluhkan habisnya stok solar di SPBU-SPBU yang ada di daerah itu. Menurut pengakuan para supir truk, solar selalu habis setiap malam hari. "Saya memilih memarkirkan truk di SPBU menunggu solar datang. Soalnya, khawatir melanjutkan perjalanan tanpa stok solar penuh," kata Mukri, salah satu sopir.

rep:mursalin yasland/c60/c61/arie lukihardiyanti/yulianingsih ed: andri saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement