JAKARTA -- Pertemuan ratusan bupati dan wali kota dari seluruh Indonesia Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Jakarta, kemarin, menghasilkan lima rekomendasi terkait RUU Pemilukada. Mereka menolak dengan tegas wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera turun tangan menyelesaikan polemik yang terjadi.
RUU Pemilukada saat ini masih dibahas di DPR. Mayoritas fraksi di DPR menginginkan penghapusan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) langsung yang selama ini menjadi ruang rakyat menentukan kepala daerah masing-masing. Apkasi dan Apeksi mendesak Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menarik diri dari proses pembahasan RUU Pemilukada di DPR. "Kami meminta Mendagri untuk menarik diri dari proses pembahasan dan penetapan RUU Pemilukada," kata Ketua Apkesi yang sekaligus Wali Kota Manado, Vicky Lumentut, Kamis (11/9).
Jika nantinya DPR tetap mengesahkan RUU Pemilukada, Vicky mengatakan, Apkasi dan Apeksi akan mengambil jalur hukum dengan mengajukan uji material (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Mengendalikan mekanisme pemilukada di DPRD merupakan langkah mundur bangsa ini dalam berdemokrasi. Pemilukada di DPRD sama saja merampok kedaulatan politik rakyat," kata Ketua Umum Apkasi Isran Noor.
Bupati Kutai Timur itu mengatakan, Apkasi dan Apeksi sebenarnya telah beberapa kali menyampaikan penolakan RUU Pemilukada kepada DPR dan pemerintah. Namun, dia menilai, panitia kerja RUU Pemilukada tidak mengakomodasi masukan dari 497 pimpinan kabupaten/kota tersebut. Jika RUU Pemilukada tetap disahkan, menurut Isran, aturan hukum itu ke depannya akan menyandera bupati dan wali kota.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuzy mengatakan, gagasan moratorium pemilukada langsung pertama kali dicetuskan PPP. Baginya, pengawasan kepada anggota DPRD jauh lebih mudah dibandingkan dengan pengawasan terhadap seluruh rakyat Indonesia. "Mengawasi 45-50 anggota DPRD di 480 kabupaten/kota itu lebih mudah daripada mengawasi jutaan dan puluhan juta pemilih," kata Romi, sapaan akrab Romahurmuzy.
Romi menilai, pemilukada langsung tidak efektif karena ada lebih banyak orang yang diawasi. Sistem tersebut juga dianggap akan memicu adanya tuntutan untuk mengembalikan biaya politik yang tinggi. "Inilah yang kemudian menjerumuskan mereka pada persoalan-persoalan hukum. Sebanyak 292 kepala daerah terlibat persoalan hukum," kata Romi.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra menilai, pemilihan kepala daerah melalui DPRD melanggar konstitusi. Alasannya, kedaulatan berada di tangan rakyat. Ia menjelaskan, Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 mengatakan, pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis. Secara hukum, makna demokratis berarti dipilih secara langsung oleh rakyat bukan melalui DPRD.
Saldi juga mengatakan, putusan MK pernah menyebutkan makna demokratis berarti dipilih langsung oleh rakyat. "Bagaimana mungkin DPR mengubah konstruksi hukum yang telah dibuat MK, ini akan sulit," ujar Saldi. rep:muhammad akbar wijaya/c83/c92 ed: andri saubani
5 Rekomendasi Apkasi dan Apkesi
1. Menolak secara tegas pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD.
2. Sepakat bahwa perlu adanya perbaikan sistem pemilihan kepala daerah dengan memperhatikan pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.
3. Peserta sepakat sistem pemilihan kepala daerah dilaksanakan dalam satu paket dengan wakil kepala daerah.
4. Jika mayoritas keinginan partai di DPR RI tidak berubah Apkasi dan Apeksi meminta pemerintah yang dalam hal ini diwakili Kemendagri untuk menarik diri dalam proses pembahasan dan penetapan RUU Pilkada.
5. Selanjutnya jika sistem pemilihan dengan DPRD tetap tidak ada perubahan, Apkasi dan Apeksi akan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sumber: Apkasi dan Apkesi Pengolah: Ira Sasmita