JAKARTA -- Kenaikan tarif listrik pada tahun depan tak lagi masuk dalam klausul Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Tarif listrik nonsubsidi akan bersifat fleksibel mengikuti kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar AS serta harga minyak mentah dunia. Tarif sewaktu-waktu bisa naik, namun juga dapat turun.
"Tidak ada (rencana)," ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman, kepada Republika, seusai rapat dengan Komisi VII DPR membahas subsidi listrik tahun depan, Rabu (17/9) malam.
Komisi Energi DPR RI menetapkan jumlah subsidi listrik tahun berjalan pada RAPBN Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp 68,69 triliun, kemarin. Jumlah ini turun 20 persen dibandingkan APBN Perubahan 2014 sebesar Rp 85,75 triliun. Tahun ini kenaikan listrik sudah masuk dalam APBN.
Jarman menjelaskan, semua tarif yang tidak masuk golongan subsidi tarifnya akan otomatis mengikuti dolar AS. Pasalnya, biaya pokok produksi sangat bergantung pada harga migas. Sebagaimana diketahui PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih banyak mengimpor bahan bakar minyak untuk pembangkit. ''Apabila dolar turun, harga listrik juga turun,'' ujarnya .
Pengamat energi Fabby Tumiwa menilai, kelompok industri akan sangat terpengaruh lantaran perubahan mekanisme tersebut. Karena perubahan tarif dapat terjadi kapan saja. Dia meminta pemerintah mengawasi kinerja keuangan PLN. Dengan penurunan subsidi tersebut jangan sampai keuangan perusahaan pelat merah itu memburuk. Selama ini hanya golongan 450 VA dan 900 VA yang mendapat subsidi dari pemerintah.
Ketua Komisi VII DPR Milton Pakpahan mengatakan, besaran subsidi listrik tersebut sesuai usulan pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN 2015. "Kami sepakati alokasi subsidi listrik tahun depan Rp 86,69 triliun dengan parameter-parameter yang ada," katanya.
Parameter subsidi tersebut adalah pertumbuhan listrik sembilan persen, penjualan listrik 216,36 Terra Watt hour (TWh), susut jaringan 8,45 persen, dan biaya pokok pengadaan (BPP) Rp 1.318 per kWh atau Rp 285,28 triliun. Kemudian, margin usaha diasumsikan tujuh persen atau insentif investasi Rp 19,97 triliun, BPP ditambah insentif investasi Rp 305,25 triliun, dan bauran energi untuk BBM 8,53 persen.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menjelaskan, pemerintah memutuskan mengubah perhitungan subsidi listrik menjadi Performance Based Regulary (PBR). Perubahan ini diharapkan membuat penggunaan subsidi listrik lebih transparan.
Saat ini skema subsidi listrik dihitung berdasarkan biaya pokok penyediaan listrik (BPP). Skema ini memungkinkan peningkatan subsidi ketika terjadi kenaikan BPP. Menurut Askolani, skema PBR sudah diuji selama empat sampai lima tahun. Hasil kajian menunjukkan, penghitungan dengan skema PBR lebih baik dibandingkan BPP.
"Jadi, kalau meleset nanti ketahuan penyebabnya. Apakah masalah pada faktor eksternal atau kesalahan manajemen. Selama ini kita tidak tahu di mana tepatnya kesalahan terjadi," katanya, Rabu (17/9).
Perubahan skema ini diharapkan membuat PLN lebih disiplin, terutama dari sisi manajemen. Apabila PLN tidak mampu menjaga jatah subsidi dengan baik, maka PLN diharuskan mencari solusi efektif agar beban anggaran negara tidak bertambah. Askolani menambahkan, skema serupa bisa juga diterapkan pada Pertamina dalam perhitungan subsidi BBM.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Andin Hadiyanto mengatakan, skema PBR bisa menguntungkan bagi PLN. Syaratnya, PLN harus lebih efisien dalam bekerja. "Sekarang kan kalau PLN biayanya kecil, maka marginnya kecil. Margin PLN tujuh persen dari subsidi," kata Andin.
Dengan skema PBR, diharapkan terjadi kondisi yang lebih adil. Andin mencontohkan, apabila pemerintah memberikan subsidi Rp 100 miliar, maka PLN harus berupaya keras menjaga angka tersebut agar tidak jebol.
rep:aldian wahyu ramadhan/mailiani fauziah/antara ed: teguh firmansyah