Kamis 25 Sep 2014 12:00 WIB

Produk Haram Wajib Berlogo

Red:

JAKARTA -- Produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia baru wajib besertifikasi halal pada 2019. Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang akan disahkan hari ini, Kamis (25/9), pemerintah diberi waktu lima tahun untuk menyosialisasikan dan menyiapkan infrastruktur penunjang.   

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, UU JPH baru diimplementasikan lima tahun setelah disahkan. Pemerintah mempunyai tugas untuk menyosialisasikan kepada masyarakat terkait implementasi sertifikasi halal. "Kuncinya di pemerintah dalam melakukan sosialisasi agar semua pelaku usaha melakukan sertifikasi ini," katanya kepada Republika, Rabu (24/9).

Dalam RUU JPH yang diperoleh Republika, pemberlakuan sertifikasi halal  bersifat wajib. Namun, tak ada ketentuan khusus mengenai sanksi bagi produk dalam negeri yang tidak mengurus sertifikat halal. Sanksi justru diberikan kepada pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan haram tapi tidak mencantumkan logo tak halal. Sanksi akan diberikan dari mulai teguran, peringatan, sampai denda.

Menurut Ledia, setiap pelaku usaha juga wajib mempunyai supervisor halal. Selain itu, masyarakat juga bisa melaporkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bila menemukan adanya produsen yang produknya belum disertifikasi atau bahkan memalsukan sertifikat.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam mengatakan, dalam jangka waktu lima tahun, pemerintah akan mempersiapkan teknis implementasi UU JPH ini.  Persiapan tersebut, di antaranya, melalui penggodokan Peraturan Pemerintah (PP). Aturan ini akan mengatur secara rinci soal tata pelaksanaan, proses, dan prosedur perolehan sertifikat halal, penetapan jenis-jenis produk, dan sumber bahan produksi halal.  "Untuk pengaturan hal yang bersifat teknis seperti ini, biasanya proses perampungan PP mencapai dua tahun," ujar dia.

Aturan ini, kata dia, memang baru bisa berjalan sepenuhnya pada 2019. Semua produk wajib besertifikat halal. Menurutnya, perusahaan yang sudah memenuhi kriteria siap sertifikasi, tapi malah mengulur waktu dan mengakhir-akhirkannya akan diberi sanksi.  Sanksi juga berlaku bagi produsen yang berbohong dengan mengaku produknya halal padahal tidak. Begitu pula pelaku usaha yang tidak konsisten menjaga kehalalan produknya pascasertifikasi. Soal rinciannya, Kemenag sedang menyusunnya. "Yang jelas, sanksi tersebut akan berupa sanksi pidana dan perdata," jelasnya.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim menilai, RUU JPH membingungkan. Selain itu, peran pemerintah  di dalam melaksanakan dianggap terlalu dominan. "Banyak hal yang membingungkan dalam RUU JPH yang akan disahkan pemerintah," katanya kepada Republika, Rabu (24/9).

Berdasarkan ketentuan lama, LPPOM MUI  merupakan satu-satunya badan yang berwenang dalam pemeriksaan produk halal.  Dengan diterbitkannya aturan ini, maka kewenangan dialihkan ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang teleh disertifikasi oleh BPJPH dan MUI. LPH bisa dari pemerintah maupun swasta.

Menurut Lukman, RUU JPH melahirkan BPJPH yang terkesan superbody. Badan tersebut memiliki kekuatan yang besar, mulai dari menyusun regulasi, melakukan eksekusi, hingga pengawasan. rep:mas alamil huda/c60/c78 ed: teguh firmansyah

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement