JAKARTA -- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta akhirnya menjatuhkan vonis bersalah dengan hukuman penjara delapan tahun untuk mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Dalam sidang pembacaan putusan, Rabu (24/9), majelis hakim menilai, Anas terbukti melakukan korupsi secara berlanjut dan berulang.
"Menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berlanjut dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan secara berulang," demikian petikan vonis yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Haswandi, Rabu (25/9).
Selain pidana penjara, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda Rp 300 juta dan sejumlah uang pengganti korupsi (lihat grafis) terhadap Anas. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim ini lebih rendah dari tuntutan 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta dari jaksa penuntut umum KPK. Tuntutan pencabutan hak politik Anas juga tidak dikabulkan majelis hakim.
Majelis hakim menilai, Anas terbukti melakukan tindak pidana sesuai dakwaan kesatu subsider dan kedua jaksa namun membebaskan Anas dari dakwaan kesatu primer dan dakwaan ketiga. Tindak pidana yang dinilai terbukti dilakukan Anas adalah ihwal penerimaan gratifikasi dan janji-janji.
Di antara gratifikasi itu adalah berasal dari Permai Group sebesar Rp 55,3 miliar dan 5,236 juta dolar AS dan uang dari pemenang tender proyek Hambalang, PT Adhi Karya sebesar Rp 2,2 miliar. "Uang digunakan untuk pencalonan Anas sebagai ketua umum Partai Demokrat dalam kongres 2010," kata Haswandi.
"Mobil Toyota Harrier senilai Rp 670 juta dan Toyota Vellfire senilai Rp 735 juta juga terbukti sebagai penerimaan gratifikasi semasa menjabat sebagai penyelenggara negara dari 2009 sampai 2010," kata Haswandi. Haswandi menjelaskan, pembelian mobil-mobil mewah tersebut didapatkan dari fee proyek-proyek yang digarap oleh sejumlah BUMN atas arahan Anas.
Anggota Majelis Hakim Djoko Subagio menambahkan, Anas juga terbukti menerima gratifikasi dan menebar janji terkait survei yang diprakarsai oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) senilai Rp 478 juta. Pemberian gratifikasi itu diimbaljanjikan oleh Anas yang akan memberikan proyek survei kepada LSI bila ia terpilih sebagai ketum Demokrat.
Namun, untuk dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), dinilai majelis hakim tidak terbukti di persidangan. Anas dinilai tidak terbukti mengaburkan kekayaan salah satunya dengan cara membeli tanah di beberapa daerah. "Membebaskan Anas dari dakwaan kesatu primer dan dakwaan ketiga," kata Haswandi.
Dalam tanggapannya seusai pembacaan vonis, Anas memohon majelis hakim memberikan waktu untuk melakukan 'sumpah kutukan' atau mubahalah. Namun, permohonan itu ditolak oleh Haswandi. "Karena sebagai terdakwa saya yakin, jaksa penuntut juga yakin, majelis juga yakin. Karena itu di akhir persidangan, saya mohon untuk diberikan waktu untuk mubahalah. Siapa yang salah itu yang akan menerima kutukan," kata Anas.
rep:gilang akbar prambadi/c73/bambang noroyono ed: andri saubani
Vonis Korupsi yang Berlanjut dan Berulang
Tuntutan Jaksa KPK (11 September 2014)
- Pidana 15 tahun penjara
- Denda Rp 500 juta
- Uang pengganti Rp 94.180.050.000 dan 5.261.070 dolar AS
- Pencabutan hak politik terdakwa
Vonis Hakim PN Tipikor Jakarta (25 September 2014)
- Vonis bersalah 8 tahun penjara
- Denda Rp 300 juta
- Uang pengganti Rp 57.590.330.580 dan 5.261.070 dolar AS
- Tidak mengabulkan tuntutan pencabutan hak politik terdakwa
Dissenting opinion: Hakim anggota Joko Subagyo dan Slamet Subagyo menilai jaksa KPK tidak berwenang menuntut terdakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sumber: Nota tuntutan dan putusan terdakwa Anas Urbaningrum
Pengolah: Gilang Akbar Prambadi, Andri Saubani