Delegasi sepuluh anggota DPR melakukan kunjungan ke Palestina, 19-24 September 2014, dipimpin Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq. Misi utama kunjungan ini menyampaikan dukungan Indonesia terhadap proses rekonsiliasi Palestina yang mulai berjalan. Namun, kunjungan hanya bisa ke Tepi Barat. Karena alasan keamanan, Pemerintah Mesir menolak permohonan delegasi untuk mengunjungi Jalur Gaza. Berikut laporan wartawan Republika Johar Arief yang mengikuti rombongan.
****
"Selamat siang, Bapak Ibu, nama saya Faraz. Saya akan memandu Bapak-Ibu selama di Tepi Barat," kata seorang pria berwajah Arab yang menyambut rombongan delegasi DPR di pintu keluar pos imigrasi Israel di perbatasan Tepi Barat-Yordania.
Foto:Johar Arief/Republika
Delegasi DPR berpose di depan kantor parlemen Palestina.
Faraz Badran kemudian mempersilakan rombongan menuju sebuah bus yang telah menunggu di lapangan parkir. "Selamat datang di Tepi Barat. Kita akan langsung menuju kantor Palestine Legislative Council (PLC) di Ramallah," ujar Faraz membuka pembicaran di atas bus melalui pengeras suara. Ketegangan yang kami rasakan pun sirna saat bus mulai bergerak meninggalkan lapangan parkir.
Perjalanan menuju Kota Ramallah butuh sekitar dua jam. Di pusat pemerintahan Palestina itu, delegasi dijadwalkan bertemu sejumlah anggota PLC pada siang harinya.
Lembah Yordan masih membentang luas di hadapan kami. Lembah ini dikelilingi daerah perbukitan yang memanjang dari utara ke selatan. Di situlah Ramallah berada, begitu pun kota-kota lainnya seperti Yerusalem, Bethlehem, dan Hebron yang berada lebih ke selatan.
Melintas Lembah Yordan di Tepi Barat, bentang alam tak jauh beda dengan di wilayah Yordania. Masyarakat di sini hidup dari pertanian, seperti pohon zaitun dan berbagai tanaman selada. Fasilitas pertanian dan rumah warga Palestina di sini kerap dihancurkan Israel dengan dalih berdiri tanpa izin dan berada di zona militer.
Sepanjang perjalanan, Faraz asyik bercerita tentang sejarah Tepi Barat yang tak lepas dari kisah para Nabi. Penguasaan bahasa Indonesianya terbilang luar biasa untuk seseorang yang belajar otodidak sejak 1,5 tahun lalu. Satu hal yang bisa disimpulkan dari cerita Faraz, inilah tanah suci bagi tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi.
Umat Yahudi menyebutnya sebagai Tanah Harapan, umat Kristiani menyebutnya Holly Land, dan umat Islam menyebut Yerusalem di Tepi Barat dengan sebutan al-Quds, Tanah Suci ketiga setelah Makkah dan Madinah. Rombongan berhenti sejenak di Jericho, kota tertua dan terendah di muka bumi, yang terletak di tepi Lembah Yordan.
Meninggalkan Jericho, perjalanan memasuki daerah perbukitan. Perbukitan pasir dan batu nan gersang terhampar di kiri-kanan jalan. Hanya rerumputan kering yang bertahan.
Sesekali tampak tenda-tenda kumuh suku Badui di kiri dan kanan jalan. Mereka menggembala kambing dan berpindah-pindah mengikuti rerumputan kering. Walaupun tampak kumuh, mereka sebenarnya bukan orang miskin. Faraz mengatakan, satu keluarga Badui bisa punya hingga ribuan ekor kambing.
"Bapak Ibu, jalan di depan merupakan wilayah Israel. Mobil-mobil yang melintas milik warga Israel," kata Faraz yang langsung menyita perhatian seisi bus. Di depan kami melintang jalan raya bebas hambatan. Jalan ini menghubungkan kota-kota di Tepi Barat. Jalan ini yang akan kami tempuh menuju Ramallah.
Perjalanan di sepanjang Tepi Barat menuju Kota Ramallah ditempuh melalui beberapa zona. Berdasarkan Perjanjian Oslo tahun 1993, wilayah Tepi Barat dibagi tiga zona. Zona A adalah daerah di bawah kekuasaan Palestina, baik secara pemerintahan maupun keamanan. Kota Ramallah berada di Zona A.
Zona B berada di bawah Palestina secara pemerintahan, tapi tunduk terhadap keamanan Israel. Di sini, kehadiran polisi Palestina dibolehkan tapi mereka dilarang membawa senjata.
Zona C berada di bawah kekuasaan Israel sepenuhnya. Zona ini meliputi 60 persen wilayah Tepi Barat yang dihuni 180 ribu warga Palestina. Israel terus mendesak dan mengusir warga Palestina dari sini dengan mendirikan permukiman Yahudi kendati ditentang komunitas internasional.
Permukiman ini terlihat saat melintas di jalan bebas hambatan. Setiap kali tampak permukiman Yahudi, Faraz selalu memberitahu. "Itu permukiman yang baru dibangun," ungkap warga Muslim Yerusalem itu sambil menunjuk perumahan di atas bukit. "Letaknya di Taibe."
Semua permukiman Yahudi dibangun di atas bukit, seakan mengawasi perumahan warga Palestina di bawahnya. Faraz menceritakan rencana Israel mengurung Kota Yerusalem Timur dengan permukiman Israel. Permukiman itu dibangun di sepanjang bukit yang mengelilingi kota.
Akibat pembagian zona kekuasaan, wilayah Tepi Barat tersekat-sekat. Di setiap sekat, terdapat pos penjagaan Israel dengan sejumlah tentara bersenjata lengkap. Mereka memeriksa setiap kendaraan yang melintas. Hanya jalan bebas hambatan yang tak memiliki pos penjagaan kendati melintasi zona yang berbeda. Sebab, seluruh ruas jalan bebas hambatan itu berada di bawah kekuasaan Israel. Warga Palestina tidak bisa bebas bergerak tanpa melalui pos penjagaan dan pemeriksaan tentara Israel.
Pemandangan mencolok lainnya di Tepi Barat adalah tembok pembatas yang berdiri kokoh setinggi sekitar lima meter. Tembok beton ini memisahkan permukiman warga Israel dengan wilayah Palestina. Hingga kini, Israel telah membangun tembok sepanjang 600 km.
Di beberapa titik, tembok itu dilengkapi dengan menara penjaga, persis seperti tembok penjara. Di beberapa tempat, warga Palestina menghiasi dinding tembok dengan lukisan mural, seperti halnya tembok Berlin di Jerman. Perumahan warga Israel tampak lebih bagus dan tertata, berbeda dengan kondisi permukiman di wilayah Palestina.
Faraz mengatakan, warna pelat mobil dan taksi dibedakan berdasarkan daerah asal. Mobil milik warga Arab yang tinggal di seberang tembok pemisah, yakni di wilayah Israel, berpelat warna putih. Mereka pada siang hari bekerja di wilayah Palestina, sore hari kembali melintas tembok pemisah.
Taksi berwarna putih berasal dari wilayah Israel. Taksi milik warga Arab yang diperkenankan beroperasi di wilayah Palestina. Hanya warga Arab Israel yang dibolehkan melintas tembok pemisah.
Jauh berbeda dengan kemegahan kantor anggota delegasi DPR, kantor PLC hanyalah gedung empat lantai yang tak terlalu besar. Tidak ada pagar atau taman yang memisahkan gedung ini dengan jalan. Tempat parkirnya pun hanya untuk beberapa mobil. Masuk ke gedung, kami harus menaiki tangga untuk sampai ruang pertemuan di lantai tiga.
Delegasi DPR disambut tujuh anggota PLC dan Sekjen Ibrahim Khreisheh. Hadir pula calon konsul kehormatan RI di Palestina, Dr Rami Nasrullah. ed: nur hasan murtiaji