Nilai rupiah semakin melemah dengan diturunkannya BI Rate menjadi 7,5 persen. Pada tahun ini rupiah telah terdepresiasi sebesar 4,4 persen yang praktis merupakan mata uang yang mengalami depresiasi terbesar di antara mata uang lainnya.
Asumsi dalam APBNP untuk nilai rupiah sebesar Rp 12.500 per dolar AS terlewati, dan sepanjang tahun 2015 nilai rupiah kemungkinan akan berada di tingkatan antara Rp 12.800 sampai dengan Rp 13 ribu per dolar AS.
Penurunan suku bunga dilakukan karena inflasi yang lebih rendah, dan dalan rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan kredit yang lebih tinggi. Pada saat transaksi berjalan masih negatif, dan kecenderungan nilai dolar AS yang menguat, maka rupiah semakin terdepresiasi.
Dalam situasi di mana transaksi berjalan masih negatif, tekanan eksternal tinggi (berkaitan dengan rencana bank sentral AS menaikkan suku bunga) dan masih lemahnya ekonomi dunia, maka upaya memfasilitasi pertumbuhan dengan menurunkan suku bunga berimplikasi langsung terhadap pelemahan nilai rupiah yang lebih dalam.
Pelemahan nilai rupiah di satu sisi menyebabkan kerugian bagi perusahaan yang berutang dalam dolar AS dan penerimaan dalam rupiah. Di lain sisi dapat mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan dengan mengurangi impor (harganya semakin mahal) dan mendorong perkembangan ekspor. Namun, pelemahan rupiah yang terlalu dalam dapat menyebabkan ketidakpastian ekonomi.
Apakah penurunan suku bunga akan mendorong pertumbuhan ekonomi, tampaknya memang demikian. Pada umumnya perusahaan menggantungkan pembiayaan dari kredit perbankan. Karena itu jika suku bunga pinjaman turun, maka perusahaan akan terdorong untuk meningkatkan kegiatan bisnisnya.
Sejauh mana penurunan BI Rate akan diikuti oleh penurunan bunga pinjaman memang tidak secara otomatis. Pada umumnya perbankan masih mempertimbangkan waktu dan besarnya penurunan bunga pinjaman, yang tentunya didahului dengan penurunan bunga deposito.
Upaya untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi tampaknya belum lagi konsisten. Presiden Jokowi menginginkan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 5,7 persen. Namun, selain penurunan BI Rate yang berada di bawah tanggung jawab Bank Indonesia yang independen, dan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang lebih besar, pemerintah belum memberikan insentif kepada dunia usaha.
Pada saat kegiatan dunia usaha diharapkan untuk meningkat, pemerintah gencar menarik pajak, terutama pada pembayar pajak yang baik karena target penerimaan pajak yang ditingkatkan. Hal ini tentu saja kontradiktif. Semestinya pemerintah memberikan insentif pajak pada pelaku usaha untuk mendorong kegiatan ekonomi.
Memang, Indonesia tergolong rendah dalam rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB), hanya sekitar 13 persen. Namun, pada saat ekonomi melemah, dibutuhkan stimulasi. Intensifikasi pajak perlu terus dilakukan khususnya bagi wajib pajak yang belum mematuhi kewajibannya, tapi tidak dengan meningkatkan pajak, royalti, dan cukai untuk pelaku usaha yang sudah membayar pajak dengan baik, yang justru menjadi sasaran penambahan beban pajak dalam rangka pemerintah mengejar target penerimaan pajak. Hal ini bersifat kontraproduktif.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, implementasi pembangunan infrastruktur akan sangat membantu. Namun, perlu dipertimbangkan pembangunan infrastruktur akan menambah impor dan memperbesar transaksi berjalan yang berarti menekan nilai rupiah.
Jika bank sentral AS tidak menaikkan suku bunga, tampaknya masih ada peluang bagi BI untuk menurunkan suku bunga lagi karena kecenderungan inflasi yang menurun. Langkah ini akan sangat membantu memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Namun, tentu saja jika ini dilakukan, rupiah semakin melemah.
Perekonomian tampaknya masih belum dapat tumbuh seperti yang diinginkan Presiden. Pertumbuhan kemungkinan masih berkisar pada angka 5,3 persen. Stimulasi jika diberikan, dengan penurunan suku bunga kemungkinan dapat mendorong pertumbuhan pada angka sekitar 5,5 persen.
Namun, upaya memfasilitasi pertumbuhan dengan penurunan suku bunga, insentif, dan pembangunan infrastruktur masih akan diiringi oleh relatif tingginya defisit transaksi berjalan. Karena itu, kita masih akan mengalami nilai rupiah yang cenderung melemah.
Oleh Umar Juoro