Ahad 21 Jun 2015 14:08 WIB

Wajah Islam Indonesia

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA--Ramadhan telah memberi warna Islam dalam ruang kehidupan di negeri tercinta ini. Banyak orang berusaha tampil sebagai sosok alim dan saleh pada bulan penuh berkah ini. Segala rupa kegiatan bernuansa religius keislaman. Televisi dan ruang publik pun serba spiritualitas. Jika ukurannya Ramadhan, sungguh bangsa dan negara Indonesia tercinta yang sehari-hari campur aduk antara sekularitas dan religiositas ini berubah menjadi negeri Islami.

Alhamdulillah, apa pun nuansa keislaman yang mekar saat ini patut diapresiasi. Seraya ditarik ke agenda transformasi ruhaniah, bagai mana kesemarakan syiar dan ritual ibadah yang mengharu biru itu men jelma menjadi kesalehan yang autentik. Bahwa setiap Muslim di per sada Tanah Air benar-benar menjadi insan yang berpengetahuan, bersikap, dan bertindak serba Islami dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana pesan luhur Islam. Sebaliknya, menjauhkan diri dari segala perilaku nista, semisal, korupsi, mafia, kekerasan, serta berbagai tindakan buruk yang merusak diri dan lingkungan.

Dinamika Ramadhan makin hari menunjukkan panorama kaum menengah Muslim yang tengah mencari dan menemukan Islam dalam gaya hidup urban dan metropolis. Mereka relatif makmur dan memiliki mobilitas sosial tinggi, namun ingin berlabuh dalam Islam yang memberikan kenyamanan teologis dan etik dalam ruang sosiologis yang berkanopi suci. Semangat filantropis mereka juga tinggi sehingga banyak yang terpanggil untuk berbagi rezeki dan akses dengan umat yang masih belum beruntung daLam kehidupannya. Kelas menengah Muslim Indonesia ini se dang tumbuh dan bergerak ke depan.

Bayangkan, Tanah Air bergugusan pulau-pulau dan lautan nan luas ini dulu mayoritas beragama Hindu dan kepercayaan setempat. Kemudian, menjelma menjadi negara berpenduduk Muslim mayoritas. Dalam proporsi penduduk Indonesia saat ini yang menembus angka 240 juta, sekitar 88,21 persen atau 211 juta terdiri atas umat Islam. Jika kekuatan mayoritas ini ditransformasikan ke depan dengan perspektif Islam yang berkemajuan, wajah Islam Indonesia akan menguak harapan melintasi peradaban semesta.

Keragaman Islamisasi

Islam Indonesia secara kultural memiliki sifat sipritualitas atau religiusitas yang teduh meng ikuti irama negeri kepulauan yang indah dan menenteramkan. Majalah Time pernah mengangkat isu "The New Face of Islam", di dalamnya dimuat suatu potret wajah baru Islam bahwa "Masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, menunjukkan identitas Islam yang lebih lembut, dibentuk oleh angin tropis dan pengalaman multi kultural yang panjang, sedang menerangi jalan menuju sebuah masa depan Islam yang besar." (TIME: 23/9/1996).

Corak Islam yang lembut, damai, toleran, dan nirkekerasan itu secara sosiologis melekat dengan watak penduduk kepulauan ini yang pada umumnya memang berwatak demikian. Hampir semua etnik dan masyarakat daerah di negeri ini memiliki sifat damai itu, tidak melekat pada etnik dan golongan tertentu, hanya ekspresi simbolisnya yang sering berbeda. Kemudian, hadir para penyebar Islam dalam beragam corak, baik melalui para sudagar maupun murni para penyebar agama ini yang tersebar di seluruh penjuru negeri sejak abad ketujuh Masehi. Penyebaran Islam yang damai itu meneguhkan sekaligus memberi sibghah (celupan) karakter harmoni dalam keeragamaan kaum Muslim. Menurut antropolog Koentjaraningrat, peran Islam sangat besar sebagai kekuatan integrasi nasional dalam pembentukan kebudayaan Indonesia.

Corak Islam yang lembut, damai, toleran, dan harmoni itu di belakang hari dikenal sebagai Islam moderat, menurut ketua umum PP Muhammadiyah disebut Islam tengahan, yang tidak terjebak pada sifat ghuluw atau ekstrem dalam beragama. Hadirnya kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Siak, Demak, Pajang, Mataram, Banten, Cirebon, Pajajaran, Ternate, Tidore, Gowa, Buton, Bone, Sumbawa, Bima, Pagaruyung, Banjar, dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya, selain makin mengokohkan Islam kultural, juga memberi warna Islam politik sekaligus menguatkan harga diri bangsa, terutama ketika menghadapi penjajah.

Kehadiran Islam yang berkesinambungan sekaligus juga perubahan sebagaimana hukum kehidupan bukan tanpa dinamika atau pergumulan. Islam yang bercorak syariat, tasawuf, dan tajdid saling mengisi yang kemudian membentuk karakter dan tampilan Islam Indonesia yang beragam atau majemuk. Islam Indonesia, baik dalam nuansa nusantara pada masa lampau maupun Indonesia kekinian, sejak kesadaran kemerdekaan hadir, terutama pada 28 Oktober 1928, sungguh berwajah plural dan tidak tunggal. Islam Indonesia tidaklah tunggal, monolitik, dan milik satu golongan. Itulah wajah satu Islam banyak warna.

Perjalanan sejarah Islam yang panjang dan terus bergumul dalam dinamika kontinuitas dan perubahan itu tidak akan pernah selesai dan membentuk corak Islam tunggal di negeri ini. Pelaku penyebaran Islam nusantara pun tidak satu warna dan mazhab. Semua menunjukkan khazanah yang kaya sekaligus menuntut sentuhan-sentuhan baru menuju Islam Indonesia masa depan yang mampu hidup mengarungi dinamika zaman. Menurut seorang pakar bahwa Islam Asia Tenggara, kasus Indonesia dan Malaysia, dengan corak multireligius, multikultural, dan moderat merupakan pengalaman yang menakjubkan yang akan tumbuh memainkan peran dalam kepemimpinan di dunia Muslim. (Esposito, 1997).

Islam berkemajuan

Kehadiran Islam Indonesia, Islam nusantara, atau Islam dalam pergumulan lokal lainnya di negeri ini sebagaimana hukum perubahan memang terus berproses dan tidak pernah berhenti di satu titik. Menurut sejarawan ternama, Taufik Abdullah, Islam di Indonesia mengalami dinamika penghadapan antara ajaran dan sejarah, antara keyakinan dok trin agama dan realitas zaman yang selalu berubah sehingga Islamisasi mengalami persambungan dan perubahan sekaligus jawaban ter hadap zamannya. Islamisasi bukan sekadar berarti penerimaan ajaran secara doktrinal, melainkan sekaligus pengorbanan untuk akomodasi terhadap perubahan dan tuntutan zaman dalam proses akulturasi yang normal tanpa kehilangan esensi dan prinsip ajaran. (Abdullah, 1974).

Pada awal abad ke-20, seiring dengan kian bangkitnya kesadaran nasional secara lebih terorganisasi dan mulai tumbuhnya benih modernisasi, hadir proses baru dalam Islamisasi, yaitu Islam berwajah pembaruan atau tajdid. Islam yang memberi sentuhan kemajuan atau kemodernan itu diperankan oleh organisi-organisasi pembaruan, seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam, Jami'atul Khair, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama, dan lain- lain. Peran Aisyiyah selaku organisasi perempuan Muhammadiyah dalam memelopori bangkitnya perempuan Islam dan ikut membidani lahirnya Kongres Wanita Pertama pada 1928.

Peran pembaruan atau berkemajuan tersebut sangat penting dan menentukan perkembangan Islam mutakhir. Tanpa gerakan pembaruan, tidak mungkin lahir generasi Muslim terpelajar yang kemudian tampil sebagai kelas menengah baru dan menjadi pilar lahirnya pranata- pranata sosial Islam yang maju. Generasi yang lahir dalam kultur Islam pembaruan ini bahkan di belakang hari memproduksi elite Muslim di berbagai lembaga pemerintahan yang membentuk genre baru Islam politik Indonesia yang memperkuat pilar pergerakan Islam di basis kemasyarakatan dan civil society.

Wajah Islam Indonesia hari ini dan kedepan sungguh memerlukan kesinambungan sekaligus pembaruan agar mampu berkompetisi dengan umat dan bangsa- bangsa lain dalam percaturan dunia baru. Islam tengahan (wasithiyah, moderat) yang berwajah lembut, damai, teduh, toleran, dan harmoni berintegrasi dengan Islam berkemajuan yang menampilkan kesadaran rasionalitas, objektivitas, ilmu, teknologi, kerja keras, disiplin, mandiri, profesionalitas, dan nilai-nilai kemajuan lainnya.

Islam sejatinya merupakan agama berkemajuan untuk membangun peradaban (Din al-Had- larah). Nabi Muhammad bersama kaum Muslimin selama 23 tahun telah menjadikan Yasrib yang pedesaan menjadi al-Madinah al- Munawwarah, kota peradaban yang cerah dan mencerahkan. Setelah itu, selama sekitar lima sampai enam abad, Islam menjadi peradaban yang maju di pentas dunia. Islam berkemajuan mendidik generasi umat untuk menjadi pelaku perubahan dan berwawasan ke depan (QS ar-Ra'du: 11; al- Hasyr: 18), melahirkan Muslim sebagai syuhada 'ala al-nasatau pelaku sejarah, dan Islam yang berwajah ummatan wasatha meniscayakan tampil sebagai syuhada 'ala al-nas(QS al-Baqarah: 143) sehingga melahirkan generasi khayra ummah(QS Ali Imran: 110) yang berperan untuk gerak pencerahan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan persada bumi dan alam semesta. Itulah wajah Islam Indonesia masa depan!

Oleh Haedar Nashir

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement