JAKARTA -- Ketua MPR Zulkifli Hasan secara tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan serta hadirnya pasal kretek dalam RUU Kebudayaan. Dia menjelaskan, kedua RUU tersebut sangat merugikan masyarakat, baik secara ekonomi maupun kesehatan.
"Saya mengharamkan rokok karena tidak ada manfaatnya. Bahkan, urusan begitu, merokok itu tergolong sirik. Bukan haram lagi," ucap Zulkifli saat bertemu dengan Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (12/10).
Ia mengungkapkan, orang miskin menjadi pihak yang paling terdampak. Sementara itu, orang yang terdidik sudah paham mengenai kerugian dan bahayanya sehingga tidak merokok. "Yang membeli rokok Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu, itu petani juga. Tapi, kalau anak minta membelikan buku tidak bilang nggak punya duit," ujar dia.
Menurutnya, merokok adalah pekerjaan yang sia-sia. Merokok pun dapat mendatangkan penyakit. Dia pun menilai merokok juga budaya yang tidak elok. Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak untuk berjuang menolak rokok.
"Kita punya wakil rakyat, sampaikan aspirasi. Tapi kan ada partai besar lagi, PDIP dan Golkar. Kalian (Komnas Pengendalian Tembakau) Datengin ketua umum partai," katanya meminta.
Bagi Zulkifli, tanpa pajak atau cukai dari rokok, Indonesia masih bisa melakukan pembangunan. Ia mencontohkan, Singapura yang melarang ketat peredaran rokok tetapi pendapatan negara tersebut tetap besar.
"Tapi ini sudah mendarah daging dan berlangsung lama. Rokok harus diawasi secara ketat. Singapura saja melarang merokok," kata dia menegaskan.
Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo mengungkapkan, draf RUU Pertembakauan dan pasal kretek dalam RUU Kebudayaan, tidak berpihak kepada petani. Rancangan beleid itu hanya melindungi industri rokok.
Untuk itu, ia meminta adanya advokasi regulasi dari pengambil kebijakan seperti DPR dan pemerintah. Dengan demikian, ada harmonisasi untuk meningkatkan kesadaran bahaya merokok dan mengajak gaya hidup sehat.
"RUU tersebut hanya melindungi industri rokok, bukan petani. Kenapa bukan gula, padi, atau garam yang dimasukkan," kata Prijo saat beraudiensi dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (12/10).
Prijo mengungkapkan, tembakau hanya diproduksi di tiga provinsi dari total 34 provinsi yang ada di Indonesia. Anehnya, tembakau dipaksakan diatur dalam undang-undang khusus yang berskala nasional. "Kita mencoba melihat biang keladinya, tapi siapa di belakang ini. Mengapa mereka begitu kuat sampai ingin meloloskan UU Pertembakauan. Padahal, soal petani itu sudah ada di UU Perlindungan Petani," jelas dia.
Menurutnya, meski keretek merupakan khas Indonesia, pemiliknya merupakan asing. DPR dinilai terkecoh dengan istilah pertembakauan bahwa UU tersebut melindungi petani lokal. n ed: a syalaby ichsan