REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setelah berpuasa Ramadhan selama satu bulan, kita akhirnya menemui Lebaran pada 1 Syawal. Inilah titik bagi setiap dari kita naik kelas dari bawah ke atas, dari rendah ke tinggi, dan dari buruk ke baik. Syawal artinya meningkat alias naik kelas.
Satu Syawal juga disebut sebagai hari penanda kemenangan. Kemenangan atas pencapaian diri mengalah kan segala yang dilarang. Padahal, yang di la rang serbapenuh kenikmatan. Namun, kita berhasil melewatinya dengan penuh kesabaran dan kesadaran. Makan, minum, berbicara kotor, berbohong, menggunjing, pacaran, merokok, dan segala kenikmatan lainnya kita mampu kendalikan. Ruh inilah yang semestinya dibawa pada 11 bulan berikutnya. Agar manusia Ramadhan tidak lenyap begitu saja setelah euforia kemenangan.
Yang pantas menikmati kemenangan 1 Syawal adalah mereka yang ikut dalam "proses pertarungan". Bertarung melawan diri sendiri (jihadun nafs), inilah pertarungan terbesar. Bahkan, lebih besar dari Perang Badar pada zaman Rasulullah SAW. Seperti dikisahkan dalam hadis yang diriwayatkan al-Baihaqi dalam kitab az-Zuhd (384) dan al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad (6/171) yang berbunyi, "Kita kembali dari jihad yang kecil (Perang Badar) kepada jihad yang lebih besar (perang melawan hawa nafsu)." Jihad terbesar inilah yang semestinya kita siapkan pasca-Ramadhan. Jangan sampai euforia kemenangan yang setiap tahun kita rayakan tetap saja mengantarkan kita ke jalur yang sama, yaitu penuh dosa dan salah.
Seperti laiknya arena pertarungan, yang tidak ikut "bertarung" berarti tidak pantas merayakan kemenangan. Banyak orang hebat gagal bertarung melawan dirinya. Hebat di mata orang belum tentu hebat bagi dirinya. Mampu menebar nasihat dan dakwah, tetapi gagal menasihati dan mendakwahi dirinya. Bahkan, keluarganya. Padahal, diri dan keluarga itulah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban. Seperti firman Allah, "Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka." (QS at-Tahrim [66]: 6).
Saat ini, di tengah maraknya industri nasihat, banyak orang pandai menasihati, tetapi tak pandai menasihati diri sendiri. Lebih mudah menjadi pembicara hebat daripada menjadi pendengar hebat. Lebih mudah berbicara daripada diam seribu bahasa. Terjadi lah inflasi kata-kata. Karena, untuk menjadi pendengar hebat, butuh kesediaan dan kerelaan diri untuk menerima kebenaran dan kebaikan. Lalu, muncullah kesombongan. Arti sederhana dari sombong adalah menolak kebenaran. Mengabaikan nasihat kebaikan. Mari kita hindari dengan terus introspeksi agar tidak sampai lupa diri.
Dengan datangnya Lebaran, kita move on-kan diri sepenuh hati menuju kemenangan. Saatnya kita setop segala bentuk dusta dan kesalahan. Inilah substansi kemenangan. Mari kita lebarkan diri membuka tali silaturahim pada Syawal ini. Membuka hati untuk saling memaafkan atas segala kesalahan. Kita sudahi hal-hal yang membuat kotor ruhani kita.
Kita move on-kan "mind-body- soul" kita kepada kebenaran Allah. Bukan kebenaran manusia atau kebenaran penguasa. Karena, sering kali di tangan penguasa, kebenaran tergadaikan. Mari sambut kemenangan kita karena kita pantas merayakannya.
Oleh Abdul Muid Badrun