JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan, warga negara asing (WNA) ataupun badan hukum asing tidak dapat memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia, termasuk hak milik atas pulau mana pun. Hal tersebut selaras dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1980 tentang Pokok Agraria.
Oleh karena itu, Susi mengatakan, pemerintah akan segera mendaftarkan hak pengelolaan lahan 111 pulau kecil dan terluar atas nama negara oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berdasarkan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
"Kami mendaftarkan HPL (hak pengelolaan) sesegera mungkin, supaya tidak ada kemungkinan pulau ini dikuasai oleh asing atau oleh perorangan," katanya di Jakarta, Selasa (17/1).
Menurut Susi, langkah pendaftaran pulau bertujuan untuk memastikan agar kedaulatan negara terjaga. Dengan pendaftaran tersebut, pulau itu juga menjadi aset negara sehingga kekayaan negara juga bertambah.
Susi mengatakan, pemerintah juga akan melakukan pendataan, penataan, penertiban, dan pendaftaran pulau. Langkah ini untuk memastikan penjagaan kedaulatan wilayah negara, termasuk di sektor pertahanan pulau kecil.
Selain itu, Susi juga meminta kementerian/lembaga terkait dapat memperketat pemberian rekomendasi izin lokasi di pulau-pulau kecil, yaitu dengan memperhatikan keabsahan kepemilikan tanah pemohon izin di atas pulau tersebut dengan tujuan pemanfaatan pulau.
Kementerian ATR/BPN juga diharapkan dapat menertibkan pemberian hak atas tanah secara perseorangan, yang melebihi dari ketentuan luasan yang sudah diatur dalam peraturan bidang pertanahan di pulau-pulau kecil, maksimal 70 persen dari luas pulau.
"Dari jumlah 70 persen penguasaan pulau, 30 persennya harus dialokasikan untuk area hijau atau wilayah publik, jadi yang boleh dikuasai hanya sekitar 40 persen," katanya.
Dalam kesempatan itu, Susi juga memastikan pemerintah akan meninjau dan menginvestigasi pulau di Tanah Air yang dikelola pihak swasta. Cara tersebut guna melihat, apakah investasi yang berjalan telah sesuai aturan.
"Bila tidak, akan kita perbaiki. Kita boleh membuka peluang investasi untuk dalam dan luar negeri, tetapi ketentuan wilayah pengelolaan seperti tadi. 30 persen dalam penguasaan negara, 30 persen untuk lahan hijau," ujar Susi.
Penegasan Susi berselang sepekan selepas rencana yang dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mewacanakan pengelolaan pulau oleh negara asing.
Hal itu sejalan dengan permintaan beberapa negara asing untuk mengelola pulau di Indonesia. Luhut juga memastikan pihak asing juga berhak menamai pulau tersebut.
Terkait hal itu, Susi menegaskan, penamaan resmi sebuah pulau harus dilakukan oleh negara untuk didaftarkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bagi pihak asing yang telah berinvestasi, hanya bisa menamai secara bisnis kegiatan investasi di pulau itu.
Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo menyambut baik langkah KKP yang segera membuatkan hak penggunaan lahan (HPL) terhadap 111 pulau terluar di Indoensia. Hal ini sebagai upaya pencegahan kemungkinan pulau-pulau tersebut dikuasai oleh asing atau perorangan.
"Bagus, artinya negara sudah hadir ke sana dan turun, supaya jangan tiba-tiba nanti ada yang klaim atau caplok," kata Edhy.
Menurut dia, pendaftaran, penamaan, ataupun sertifikasi pulau-pulau di Indonesia merupakan langkah yang tepat untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Sebab, Indonesia memiliki 17 ribuan pulau, tetapi yang telah memiliki nama sekitar 14 ribu pulau.
Sementara sisanya, tahun ini ada 1.016 pulau yang akan didaftarkan ke PBB. Sedangkan 2.800 pulau lainnya, masih terus dalam proses.
Namun, Edhy menekankan, jangan sampai penamaan pulau ataupun sertifikasi pulau ditujukan atas kepentingan tertentu. Ia meminta, penamaan pulau memang betul-betul diperuntukkan bagi kepentingan nasional.
Menurut dia, meski sejumlah pulau dikelola oleh asing, status kepemilikan tetap milik negara. Untuk itu, Edhy berharap, pemerintah betul-betul mengawasi pengelolaan pulau-pulau tersebut. "Tidak ada aturannya yang boleh memiliki pulau. Orang kita sendiri aja susah, tidak bisa memiliki pulau," ujar Edhy.
Surat Sultan Tidore
Masih terkait dengan pengelolaan pulau oleh negara asing, Sultan Tidore Husain Sjah menulis surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo. Surat tersebut mempertanyakan kemungkinan kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jepang untuk pengelolaan sejumlah pulau di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara.
Husain mempertanyakan, apakah rencana kerja sama itu telah melalui pertimbangan menyeluruh dari sisi ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan, serta harkat martabat bangsa. Ia juga menanyakan, apakah dalam kerja sama tersebut, Presiden telah melibatkan pemerintah dan masyarakat setempat.
"Sungguh saya sedih kalau penduduk dan pemilik sah Pulau Morotai tidak dilibatkan," tulis Husain di akun Facebook pribadinya seperti dikutip, Senin (16/1).
Ia menjelaskan, permasalahan ini penting bagi masyarakat Morotai. Sebab, pulau tersebut mempunyai sejarah yang sangat penting bagi bangsa Indonesia dan dunia.
Husain juga meminta agar Presiden mengkaji ulang bentuk kerja sama tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjelaskan, kerja sama dengan Jepang di Morotai berkaitan dengan pengembangan sektor perikanan, bukan pengelolaan pulau. Sejumlah proyek pembangunan akan dilaksanakan, salah satunya pembuatan pasar ikan, cold storage, dan budi daya perikanan di Morotai.
Terkait dengan investasi yang dibuka di Morotai, Susi mengemukakan, selain kerja sama perikanan dengan Jepang, Negeri Matahari Terbit tersebut juga memiliki catatan sejarah dengan pulau itu, terutama terkait peristiwa Perang Dunia II. Selain itu, Jepang juga menjadi pasar penting sektor perikanan karena 90 persen tuna dikirim ke Jepang.
rep: Frederik Bata, Fauziah Mursid/antara, ed: Muhammad Iqbal