JAKARTA -- Qanun Jinayat Aceh yang disahkan pada akhir pekan lalu mendapat sorotan terkait potensi melanggar peraturan yang lebih tinggi. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, dengan regulasi baru, mendagri bisa langsung membatalkan qanun bila bertentangan dengan undang-undang.
Djohermansyah mengatakan, Kemendagri masih menunggu persetujuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh atas qanun sebelum melakukan evaluasi. Djohermansyah Djohan mengatakan, sejauh ini Qanun Jinayat belum ditandatangani oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah. "Kalau begitu kan tidak disetujui bersama (eksekutif dan legislatif). Makanya, kami cek dulu," ujarnya di gedung Kemendagri, Selasa (30/9).
Evaluasi akan dilakukan pemerintah pusat, lanjut Djohermansyah, jika qanun bertentangan dengan aturan perundang-undangan lebih tinggi. Atau, jika Qanun melanggar hak asasi manusia, tidak sesuai dengan UUD 1945, dan bertolak belakang dengan kepentingan umum.
Foto:Irwwansyah Putra/Republika
Jika setelah dievaluasi ditemukan pasal-pasal yang bertentangan, Kemendagri akan meminta Pemerintah Aceh melakukan perubahan Qanun Jinayat. Pemerintah daerah diberikan waktu 60 hari untuk melakukan perbaikan.
"Kalau 60 hari tidak juga diperbaiki maka nanti dibatalkan. Sekarang, aturan UU yang baru begitu, cukup dari menteri saja bisa membatalkan," jelas Djohermansyah. Aturan tersebut tercantum dalam UU Pemerintah Daerah (Pemda).
DPRA mengesahkan Qanun Jinayat pada Sabtu (27/9) dini hari. Perda syariat Islam tersebut akan berlaku tidak hanya bagi orang Islam, tetapi juga warga Aceh yang non-Muslim. Perda yang mengatur hukum pidana Islam itu disetujui secara aklamasi dalam sidang paripurna DPRA yang dihadiri 22 dari 69 anggota parlemen Aceh.
Qanun tersebut, di antaranya, berisi sanksi bagi mereka yang melakukan jarimah (perbuatan yang dilarang syariat Islam dan dikenal hukuman hudud atau takzir). Mereka yang melanggar Qanun diancam dengan hukuman beragam.
Ancaman hukuman cambuk dikenakan merentang dari 10 hingga 200 kali cambuk. Ada juga hukuman denda mulai 200 hingga 2.000 gram emas murni atau 20 bulan sampai 200 bulan penjara. Hukuman paling ringan untuk pelaku mesum sedangkan ancaman hukuman terberat ialah terhadap pemerkosa anak.
Selepas pengesahan, Qanun Jinayat masih dipelajari Pemprov Aceh. Jika tak ada keberatan, gubernur bisa langsuung mendatangani regulasi tersebut. Draf qanun yang sudah ditandatangani gubernur selanjutnya disampaikan ke Kemendagri.
Pengamat politik dan keamanan Aceh Aryos Nivada mengatakan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Aceh masih mempelajari draf Qanun Jinayat. Jika kemudian ditemukan ada pasal-pasal yang berpotensi mengganggu hak-hak sipil, gugatan akan dilayangkan.
Ia menegaskan, berlaku atau tidaknya qanun tersebut, ke depannya, akan bergantung dari sikap Kemendagri. Ia mendorong Kemendagri mencermati benar regulasi tersebut. "Bola ada di Kemendagri. Kemendagri harus menelaah secara seksama apakah regulasi tersebut tertib hukum," ujar Aryos.
Ia mengatakan, sejauh ini yang menjadi kekhawatiran adalah soal penerapan Qanun Jinayah terhadap non-Muslim. Peraturan yang dicantumkan dalam Pasal 5 Qanun Jinayat itu berpotensi melanggar UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menjamin kebebasan beragama di Aceh.
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyatakan dukungan atas rencana Kemendagri mengevaluasi qanun. "Kemendagri yang memang berhak untuk mengavaluasi," kata Pelaksana tugas pada Dirjen Perundang-Undangan Kemenkumham Mualimin Abdi, kemarin.
Mualimin menerangkan, hierarki perundang-undangan qanun masih di bawah undang-undang nasional. Dia mengatakan, jika isi qanun memang masih memberikan sanksi hukuman badan bagi pelanggaran, hal tersebut bertentangan dengan undang-undang hukum nasional. Karena itu, Mualimin mengungkapkan, mendukung langkah Kemendagri agar qanun dievaluasi. "Kemenkumham akan mengkaji isi per isi qanun tersebut sebagai rekomendasi evaluasi Kemendagri," ujar dia.
rep:ira sasmita/bambang noroyono ed: fitriyan zamzami
DASAR HUKUM QANUN
Pasal 125 ayat (2)
Mencantumkan bahwa syariat Islam yang berlaku di Aceh, termasuk dalam hukum pidana.
Pasal 125 ayat (3)
Mencantumkan pelaksanaan syariat Islam melalui qanun Aceh.
Pasal 126 ayat (1)
Menetapkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi Muslim di Aceh.
Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam.
Pasal 126 ayat (2)
Mengatur bahwa semua warga di Aceh harus menghormati syariat Islam.
Pasal 127 ayat (1)
Mengatur bahwa pemerintah daerah di Aceh bertanggung jawab atas pelaksanaan syariat.
Pasal 127 ayat (1)
Menekankan perlunya jaminan kebebasan beragama di Aceh sehubungan penerapan syariat.
Sumber: UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh