JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang diajukan oleh tujuh pemohon, Rabu (12/11). Sidang perdana digelar dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Sidang diketuai Arief Hidayat didampingi anggota panel Maria Farida dan Aswanto. Ketujuh pemohon penguji Perppu Pilkada adalah pemohon nomor 118/PUU-XII/2014 yang diajukan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, 119/PUU-XII/2014 (Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, dan Ramdansyah), pemohon nomor 125/PUU-XII/2014 (Edward Dewaruci dan Doni Istyanto Hari Mahdi), pemohon nomor 126/PUU-XII/2014 (Edward Dewaruci dan Doni Istyanto Hari Mahdi).
Selain itu, pemohon 127/PUU-XII/2014 (mantan anggota DPR Didi Supriyadi dan Abdul Khalik Ahmad), pemohon 128/PUU-XII/2014 (Prof Moenaf Hamid Regar) dan 129/PUU-XII/2014 (Dr Andreas Hugo Pareira, HR Sunaryo SH, Dr H Hakim Sorimuda Pohan).
Empat pemohon, yakni pemohon 119/PUU-XII/2014, 125/PUU-XII/2014, 126/PUU-XII/2014, dan 127/PUU-XII/2014 menguji secara formal Perppu Pilkada.
Salah satu pemohon, Didi Supriyadi, mengatakan, pembentukan Perppu Pilkada tidak didasari oleh adanya kebutuhan yang mendesak. Atau adanya unsur kemendesakan untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat.
"Unsur mendesak untuk dikeluarkan perppu tidak terpenuhi. Tidak ada masalah hukum yang harus diselesaikan secara cepat sehingga harus diterbitkan perppu," kata Didi, di gedung MK, Jakarta, Rabu.
Hal yang sama juga dalam permohonan pemohon 119/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 melanggar prosedur pembentukan Perppu sebagaimana lazimnya, yaitu harus ada unsur kegentingan yang memaksa.
Pengamat pemilu sekaligus mantan ketua Bawaslu DKI Jakarta Ramdansyah yang juga menjadi pemohon mengatakan, uji materi Perppu 1/2014 dilakukan dalam rangka penegakan supremasi hukum. Menurutnya, putusan hukum merupakan produk tertinggi dan tidak bisa diabaikan begitu saja oleh kebijakan eksekutif atau legislatif sekalipun.
"Putusan MK soal calon perseorangan kami nilai telah diabaikan dalam perumusan RUU Pilkada dan Perppu 1/2014. Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pilkada seolah mengembalikan hak calon perseorangan dan pilkada langsung, tetapi perppu ini tidak bisa serta-merta mengembalikan putusan MK yang telah hilang," kata Ramdansyah.
Ramdansyah mengungkapkan, putusan mahkamah yang bersifat final dan mengikat sesuai dengan Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945 tidak bisa serta-merta dihilangkan. Dalam proses pembuatan naskah akademik RUU Pilkada, UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada dan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada.
Pemohon menilai putusan MK yang bersifat final dan mengikat tidak bisa diubah ke dalam proses legal policy oleh pemerintah melalui RUU Pilkada yang menghilangkan calon perseorangan. Ketika DPR mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU Nomor 22 Tahun 2014, meskipun calon perseorangan diperkenankan, tetapi pilihannya bukan sebagai pilihan pertama atau bersifat komplementer.
Sedangkan, pemohon 125/PUU-XII/2014 menyebut bahwa pembentukan Perppu Pilkada hanya menjadi alat politik pencitraan presiden karena hal itu bertentangan dengan maksud dan tujuan diberikannya kewenangan tersebut. Sedangkan dua pemohon lainnya, yakni pemohon 128/PUU-XII/2014 dan pemohon 129/PUU-XII/2014 menguji materiil beberapa pasal Perppu Pilkada. rep: ira sasmita ed: muhammad fakhruddin