JAKARTA -- Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan berencana melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang ke Komisi Yudisial (KY). Koalisi juga meminta KY mengeksaminasi putusan penolakan gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang diketok oleh hakim Parlas Nababan cs.
Koalisi menilai, putusan hakim Parlas akibat dari tidak adanya sertifikasi hakim lingkungan. Peneliti hukum dari Yayasan Auriga, Syahrul Fitra, menilai, sertifikasi hakim lingkungan penting agar putusan hakim dalam perkara kerusakan lingkungan hidup dapat memenuhi rasa keadilan publik. Alasannya, kerusakan lingkungan hidup bukan saja berdampak pada ekosistem, melainkan juga kerugian masyarakat.
Syahrul menyayangkan, tidak semua perkara menyangkut lingkungan hidup diperiksa oleh hakim yang memiliki perspektif lingkungan. Koalisi Anti Mafia Hutan mencontohkan, putusan PN Palembang yang menolak gugatan Kementerian LHK karena menilai penggugat tidak bisa membuktikan tuduhan perbuatan melawan hukum. "Putusan itu merupakan bentuk ketidakadilan bagi korban kebakaran hutan dan lahan," kata Syahrul dalam keterangannya, di Jakarta, Rabu (6/1).
Dalam putusannya, hakim dinilai tidak memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kehutanan. Ihwal tanggung jawab pemegang izin untuk menjaga lahan konsesinya, termasuk dari kebakaran, telah diatur tegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2004 dan PP Nomor 60 Tahun 2009. Sehingga, perusahaan sebagai pemegang konsesi harus bertanggung jawab atas kebakaran hutan yang terjadi di wilayah konsesinya.
Adapun dalam menghitung kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran lahan, hakim semestinya mempertimbangkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 14 Tahun 2012. Meskipun gugatan KLHK ditolak PN Palembang, Syahrul mengusulkan agar upaya hukum terus dilanjutkan. "Kami mencatat sedikitnya ada 23 perusahaan lain yang harus mempertanggungjawabkan kebakaran hutan dan lahan."
Seperti diberitakan Republika (Selasa, 5/1), pihak PN Palembang mengakui pihaknya kekurangan sumber daya hakim yang menguasai soal lingkungan. Namun, pemilihan majelis hakim untuk kasus gugatan perdata Kementerian LHK kepada PT BMH diklaim sudah sesuai dengan prosedur hukum dan tatanan dalam institusi. "Lantaran itu dipilihlah Eli Warti, sementara sebagai ketua, yakni Parlas Nababan, merupakan hakim berstatus ex officio (semua perkara--Red)," kata Ketua PN Palembang Sugeng Hiyanto di Palembang, Senin (4/1).
KY menyatakan, hingga kini belum menemukan adanya pelanggaran etik hakim PN Palembang yang menolak gugatan perdata Kementerian LHK terhadap PT BMH sebesar Rp 7,9 triliun. Gugatan diajukan menyusul terbakarnya lahan hutan konsesi seluas 20 ribu hektare pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku, Kabupaten Ogan Komering Ilir. "Kami belum tahu itu (dugaan pelanggaran etik), kalau ada laporan baru ditelusuri ya," ujar Pelaksana tugas (Plt) Ketua KY Maradaman Harahap, Rabu (6/1).
Maradaman menuturkan, pihaknya belum mendapat laporan perihal dugaan pelanggaraan kode etik oleh Ketua Majelis Makim PN Palembang Parlas Nababan dari tim investigasi biro daerah KY. "Penghubung kan kalau ada perintah dari sini baru investigasi. Janggal menurut kita, menurut dia sudah benar," ujar dia.
Komisioner KY Joko Sasmito mengatakan, KY terus memantau kondisi di PN Palembang. KY, ujar dia, juga meminta masyarakat melihat kasus ini secara utuh dan tidak bertindak reaktif atas kasus kebakaran hutan dan lahan itu untuk menjaga martabat hakim dan menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. "Masih murni putusan, belum ada indikasi. Pergerakan pemantau. Kami tetap memonitor penghubung di Palembang," kata Joko.
Anggota Komisi IV DPR, Firman Subagyo, mengemukakan, gugatan kasus kebakaran hutan harus disertai bukti serta data yang benar-benar kuat. Sehingga, upaya hukum itu tidak akan terpatahkan oleh argumentasi yang muncul di persidangan. Menurut Firman, kelemahan gugatan Kementerian LHK dalam persidangan di PN Palembang adalah basis data yang lemah. "Coba Anda baca apakah ada tuntutan sangat besar 7,9 triliun rupiah yang diajukan pemerintah. Ada dasar hukumnya? Kan tidak ada, makanya kalah. Dan ini jadi memalukan," ujar Firman, Selasa (5/1). n antara ed: andri saubani