Foto : Republika/ Raisan Al Farisi
JAKARTA— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau pemerintah untuk membatasi transaksi tunai. Tujuannya untuk menekan kasus korupsi yang belakangan ini terjadi secara tunai.
Berdasarkan catatan KPK, sebanyak 10 kali aparat KPK melaksanakan operasi tangkap tangan. Dalam semua kasus itu, aparat menemukan barang bukti uang tunai yang digunakan sebagai gratifikasi.
"Sebaiknya, batasan transaksi uang tunai itu dibahas kembali," ujar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Saut Situmorang melalui pesannya, Ahad (10/7).
Meski tidak berdampak signifikan, namun Saut mengatakan, pembatasan transaksi tunai bisa mencegah korupsi. Dia mengatakan, menelusuri aliran uang tunai tersebut tidaklah sederhana. Aparat memerlukan kerja ekstra dan memakan waktu banyak untuk mengungkap aliran dana secara tunai. Yang terbaik menurutnya adalah membatasi transaksi tunai. Ini merupakan salah satu cara menekan perilaku korup.
Ia mengungkap, untuk mencegah perilaku korupsi, diperlukan berbagai cara dan semuanya harus bersinergi. Sebabnya, semakin hari modus perilaku korup semakin berkembang. Penyelesaian korupsi menurutnya tak bisa dilakukan dengan satu cara. Semua jalan harus ditempuh. Dukungan harus berdatangan dari berbagai pihak.
Saut mengatakan, korupsi adalah persoalan kompleks. Perlu banyak inovasi, baik secara teknologi maupun manajemen untuk menekan kejahatan ini.
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) pernah mengusulkan pembatasan transaksi uang tunai, yakni maksimal sebesar Rp 100 juta. Usulan itu pun ditindaklanjuti pemerintah dan DPR dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Tunai. Rancangan UU itu belum disahkan.
PPATK menilai, keuangan nasional akan lebih terawasi jika transaksi tunai ditekan. Wakil Ketua PPATK, Agus Santoso mengatakan, pihaknya meminta transaksi tunai yang diperbolehkan hanya sebesar Rp 100 juta. Jika transaksi tunai melebihi jumlah itu, maka harus ditransfer lewat bank.
Dia mencontohkan, seseorang ingin transaksi pembelian mobil Rp 500 juta. Warga itu bisa menyetorkan uang tunai Rp 100 juta, sisanya Rp 400 juta dibayarkan melalui transfer bank.
Agus mengatakan, saat ini PPATK dalam posisi menunggu pemerintah dan DPR terkait usulan pembatasan transaksi uang tunai tersebut. Pembahasan RUU tersebut telah dilakukan pada 2015 lalu dan juga masuk dalam rencana Prolegnas 2014-2019.
Pihaknya berharap, rancangan undang – undang tersebut dapat segera dibahas. Agus mengatakan, pembatasan transaksi uang tunai sudah mendesak untuk dilakukan, mengingat sudah terbuktinya sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang menggunakan uang tunai. Ia mencontohkan, kasus gratifikasi yang ditangani KPK yang hampir sebagian besar dilakukan menggunakan uang tunai.
Lagipula kata dia, banyak keuntungan dari rencana pembatasan transaksi uang tunai di Indonesia. Antara lain, mengarahkan masyarakat untuk memiliki rekening di bank yang tentu mendukung program less cash society. "Dampaknya, juga mencegah masyarakat dari uang palsu, selain juga pencegahan suap sebetulnya, BI lebih irit mencetak uang," ujar Agus.
Wakil Ketua KPK, Alexander Mawarta, mengatakan pentingnya pembatasan transaksi tunai dalam rapat dengar pendapat dengan DPR Januari lalu. Dia mengatakan, pembatasan ini harus dilakukan agar seluruh transaksi keuangan dapat terawasi. Langkah ini dinilainya cukup efektif untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.
Seluruh penggunaan uang negara nantinya akan terawasi. Selain itu, transaksi keuangan aparatur negara juga dapat diawasi dengan ketat. Mereka yang melakukan transaksi mencurigakan dapat langsung diselidiki, apakah terkait dengan dugaan korupsi atau tidak.
Dia mengatakan, DPR perlu mendukung UU pembatasan transaksi tunai. Indonesia, menurutnya, harus belajar dari Amerika Serikat yang sudah membatasi transaksi tunai hingga 10 ribu USD. Indonesia, menurutnya, juga bisa menerapkan pembatasan ini. Transaksi perorangan bisa dibatasi hingga Rp 10 juta. Sedangkan transaksi korporasi maksimal Rp 100 juta. Lebih dari itu, transaksi dilakukan dengan sistem transfer. rep: Fauziah Mursid ed: Erdy Nasrul