JAKARTA — Kapolri Jenderal M Tito Karnavian menilai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdampak dalam kehidupan. Masyarakat menjadikan fatwa ini sebagai acuan.
Dia mencontohkan fatwa MUI tentang sertifikasi halal. Masyarakat menjadikan sertifikasi halal untuk mengetahui komoditas yang akan dikonsumsi halal atau tidak.
Fatwa MUI juga dapat berpengaruh dalam sistem hukum di Indonesia. Contohnya, begitu ada isu di masyarakat tentang dugaan penistaan agama oleh Gubernur Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kemudian keluarlah sikap keagamaan MUI. Di antaranya, dikatakan bahwa Basuki telah menista atau menodai agama. Pertama, menista Alquran dan yang kedua ulama. Tito menilai, sikap keagamaan MUI berimplikasi luas karena kasus tersebut menjadi bergejolak.
Kemudian, muncul gerakan yang tidak pernah ada sebelumnya. "Ada gerakan yang gak kita kenal sebelumnya, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI," ujarnya dalam pidato pembukaan diskusi "Fatwa MUI dan Hukum Positif," di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta, Selasa (17/1).
Gerakan ini memobilisasi masyarakat dan opini. Sikap keagamaan MUI seakan menjadi keputusan yang menilai penistaan agama masuk domain KUHP, hukum positif negara. GNPF menghasilkan mobilisasi massa besar, seperti aksi 411 dan 212.
Ada juga fatwa MUI tentang penggunaan atribut non-Muslim. Masyarakat luas merespons fatwa tersebut. Ketika Natal dan tahun baru, ada upaya penegakan atau pengawalan fatwa yang dilakukan kelompok warga.
"Ada juga gerakan sosialisasi fatwa, mulai dari yang paling lembut dengan cara mendatangi mal, perusahaan, toko, atas nama sosialisasi," kata Tito
Sosialisasi tersebut ada yang menimbulkan keresahan, bahkan intoleransi. Contohnya yang terjadi di Solo, Jawa Tengah. Ada sekelompok masyarakat mendatangi kafe, kemudian mematahkan pohon natal. Kapolri menilai, fatwa belakangan ini berkembang menjadi ancaman. Hal ini memengaruhi keberagaman dan kebinekaan Indonesia. Ancaman yang sangat sensitif, yaitu masalah keagamaan.
Kapolri meminta ada dialog sebagai upaya mencari solusi. Hasil diskusi akan menjadi acuan aparat untuk membuat kebijakan tentang keamanan.
Tito mengatakan, MUI merupakan lembaga penting dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. MUI mengakomodasi ormas Islam sekaligus menegakkan dan memperjuangkan nilai keislaman dalam sistem berbangsa dan bernegara.
Sementara itu, Ketua Umum MUI Kiai Ma'ruf Amin mengatakan, fatwa MUI merupakan bimbingan dan tuntunan untuk umat Islam. "Ada fatwa yang merupakan kontribusi kita kepada negara, kalau negara memerlukan," kata Kiai Ma'ruf kepada Republika, Selasa (17/1).
Ia menerangkan, fatwa menekankan umat Islam untuk mematuhi dan menjalankannya. Jika ada yang salah memahaminya dan menimbulkan dampak yang tidak baik, harus diluruskan. MUI akan mencari solusinya agar tidak berdampak buruk.
Kiai Ma'ruf menilai, tidak hanya fatwa, peraturan pemerintah juga bisa berdampak negatif dan bisa disalahpahami. Pihaknya mendukung kerja sama dengan Polri. Kerja sama tersebut merupakan upaya untuk mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ketum MUI menerangkan, fatwa merupakan kewenangan MUI. Kalau ada sesuatu yang harus ditindaklanjuti, MUI akan berkomunikasi dengan Polri. Tujuannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. MUI memberikan informasi kepada Polri bahwa akan ada fatwa.
Ia juga menegaskan, semua aspek selalu dipertimbangkan. Fatwa MUI bertujuan untuk menuntun umat Islam. Bagaimana umat Islam harus bersikap dan berperilaku.
Ia mengungkapkan, MUI juga terus menyerukan agar tidak boleh menggelar penyisiran setelah mengeluarkan fatwa tentang penggunaan atribut non-Muslim. Kiai Ma'ruf menegasan, tidak benar fatwa MUI memunculkan penyisiran. "Itu tidak benar," ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD mengatakan, diskusi ini menyinkronkan pemahaman bersama antara Polri dan MUI. Mereka semua sama berpendapat fatwa MUI bukan hukum positif sehingga tidak boleh menggunakan aparatur negara untuk melaksanakan atau untuk menegakkannya. "Penting, masyarakat diberi pemahaman bahwa urusan fatwa MUI adalah urusan kesadaran masing-masing pribadi di internal umat Islam," kata Mahfud.
Fatwa MUI untuk keperluan pribadi umat Islam. Tidak boleh dipaksakan ke orang lain. Bahkan, umat Islam pun kalau tidak setuju dengan isi fatwa itu, tidak apa-apa, apalagi umat yang bukan Islam.
Fatwa MUI secara etik dan moral sanksinya bersifat otonom, datang dari dalam subjek hukum yang bersangkutan. Namun, kalau sudah menjadi hukum positif, sanksinya bisa dipaksakan oleh negara. "Apakah fatwa MUI itu bagus, bagus sekali. Apakah fatwa MUI penting, penting sekali sebagai bimbingan," katanya menjelaskan. rep: Fuji Eka Permana, ed: Erdy Nasrul