Jumat 20 Jun 2014 12:00 WIB

Dana PLTU Pangkalan Susu Segera Disetujui

Red:

JAKARTA -- Kesepakatan pendanaan (loan agreement) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pangkalan Susu berkapasitas 2 x 200 megawatt (mw) segera disetujui. Menteri PPN/Kepala Bappenas, Armida Salsiah Alisjahbana, mengatakan, Menteri Keuangan (Menkeu) akan segera menyetujui loan agreement tersebut. ''Sampai sekarang belum,'' kata dia seusai rakor di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (19/6).

Sebelumnya, Direktur Utama PLN Nur Pamudji dan Chief Representative Sinohydro Corporation Limited, Deng Xi, mewakili konsorsium Sinohydro Corporation Limited-PT Nusantara Energi Mandiri sebagai kontraktor pembangunan, ikut menyaksikan Direktur Pengadaan Strategis dan Energi Primer, Bagiyo Riawan, menandatangani kontrak pembangunan PLTU Pangkalan Susu Unit 3 dan 4, 2×200 mw di desa Pasir, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara (Sumut), pada 15 Juli 2013.

Proyek PLTU Pangkalan Susu unit 3 dan 4 ini penting untuk menambah pasokan listrik ke Sumut yang beberapa waktu lalu mengalami keterbatasan cadangan listrik. Sesuai kontrak, proyek ini akan diselesaikan dalam waktu 42 bulan untuk unit 3 dan 45 bulan untuk unit 4.

Konsorsium mendapatkan dana pembangunan dari Preferential Buyer’s Credit Pemerintah Republik Rakyat China dan anggaran PLN (APLN). Nilai kontrak proyek PLTU Pangkalan Susu adalah 235,96 juta dolar AS dan Rp 196 miliar.

Sementara, rencana pemerintah menaikkan royalti batu bara untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) setara dengan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), menuai protes dari kalangan pelaku usaha batu bara. Keputusan pemerintah itu dianggap tidak logis dan tidak memperhatikan kondisi riil yang terjadi di lapangan. "Dengan rencana kenaikan tersebut, akan mengganggu cost produksi, apalagi dengan harga jual yang masih rendah," ujar General Manager PT Bina Insani Sukses mandiri (BISM), Ervina Fitriyani, Rabu (18/6).

Ia menambahkan, selisih antara biaya (cost) produksi dan harga jual sangat tipis. Bahkan, ada produsen yang biaya produksinya lebih tinggi dari harga jual. Dia mencontohkan PT BISM. Dengan jenis batu bara kode GAR 3.000-3.100, biaya produksinya adalah 18 dolar AS-20 dolar AS per ton. Padahal, harga jualnya 26 dolar AS per ton, kemudian ditambah biaya untuk transhipment 10 persen per ton.

Pada saat bersamaan, perusahaan juga harus mengeluarkan uang untuk kegiatan sosial dan CSR. "Dalam kondisi apa pun, perusahaan tetap harus mengeluarkan untuk biaya sosial. Masyarakat tidak peduli apakah kita sedang untung ataupun rugi," ujarnya. Ervina yang juga ketua tim CSR perusahaan tambang batu bara di wilayah Kutai Barat ini mengungkapkan, semua perusahaan tambang batu bara di wilayah Kutai Barat menyepakati bahwa dana yang dikeluarkan perusahaan untuk program sosial minimal 0,2 persen dari pendapatan.

Dengan kondisi ini, mayoritas  produsen batu bara kalori rendah menolak rencana kenaikan royalti tersebut. Padahal, untuk wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) dan mayoritas batu bara di Indonesia, 60 persen batu bara kalori rendah. Sebanyak 35-40 persen batu bara kalori tinggi.

Kebijakan tersebut, kata dia, akan memberi efek berantai mulai dari pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga berhentinya operasi perusahaan. Padahal, mayoritas karyawan adalah tenaga kerja lokal tanpa ketrampilan yang mumpuni. antara ed: zaky al hamzah

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement