REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah saat ini berjibaku menghemat pemakaian BBM bersubsidi. Pro kontra kembali muncul tatkala penggunaan solar bersubsidi dibatasi di SPBU tertentu. Maklum, pasokan kuota BBM bersubsidi periode tahun ini semakin menipis.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi mencatat konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi selama semester pertama 2014 mencapai 22,9 juta kiloliter (kl). Kepala BPH Migas Andy N Sommeng, di Jakarta, Senin, mengatakan, volume konsumsi tersebut sekitar 49,8 persen dari kuota APBN Perubahan 2014 yang ditetapkan sebesar 46 juta kl.
Selain pembatasan pembelian solar bersubsidi, upaya lain mengurangi konsumsi BBM bersubsidi adalah program pengembangan energi alternatif berupa biodiesel, bahan bakar nabati (BBN) yang dicampurkan ke BBM. Saat ini, pencampuran BBN sebesar 10 persen, atau dikenal dengan B10, sudah dimulai sejak September 2013 hingga akhir 2015. Pada awal 2016 akan diterapkan pencampuran biodiesel sebesar 20 persen (B20).
Sayangnya, program biodiesel yang digadang-gadang sebagai alternatif solusi mencegah jebolnya BBM bersubsidi ternyata tidak dijalankan secara serius oleh pemerintah. Dari target 4,6 juta kl penggunaan biodiesel B10, yang terealisasi hingga semester I 2014 tidak sampai separuhnya. “Ini menjadi pertanyaan besar terhadap keseriusan pemerintah akan penggunaan biodiesel,” ujar Direktur Pengkajian Energi UI Iwa Garniwa dalam rilis, di Jakarta, kemarin.
Iwa melihat ketidakseriusan pemerintah ini merupakan bukti tidak adanya sense of crisis terhadap ketersediaan BBM, khususnya BBM bersubsidi. Padahal, besaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk sektor energi terus menggerogoti APBN. Subsidi energi pada APBN Perubahan 2014 sebesar Rp 350,31 triliun atau naik 24 persen dibandingkan APBN 2014 sebesar Rp 282,1 triliun.
Belum lagi defisit neraca pembayaran Indonesia yang terus terjadi sejak tahun 2012. Salah satu penyebab defisit adalah masih tingginya impor BBM yang mencapai 500 ribu barel per hari (bph). BBM impor ini untuk mencukupi konsumsi BBM di Indonesia yang mencapai 1,5 juta barel per hari. Kondisi ini akan menghentikan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jika saja pemerintah serius menjalankan B10 ini, kata Iwa, itu akan menghemat keuangan negara hingga 3 miliar dolar AS per tahun. Bila dilakukan percepatan dari B10 menjadi B20, itu dapat menghemat anggaran subsidi minimal 6 miliar dolar AS. “Dengan perhitungan jika menggunakan 30-40 persen biodiesel dari total anggaran BBM bersubsidi,” katanya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Tumiran, juga menyoroti lambatnya pelaksanaan B10. “Terkait B10, memang patut dipertanyakan apakah pemerintah serius atau tidak. Kalau memang serius, kenapa subsidi BBM tidak menunjukkan penurunan?” ujarnya.
Sejak lama, kata dia, DEN mengusulkan pada pemerintah soal BBN sebagai energi alternatif. Komoditas sawit yang melimpah di Indonesia bisa dijadikan solusi yang tepat dan mengurangi ketergantungan impor BBM Indonesia. “Setidaknya, devisa kita tidak tersedot keluar.”
Ketua Umum Asosiasi Produsen Biodiesel (Aprobi) MP Tumanggor mendesak pemerintah agar mempercepat program biodiesel dari B10 menjadi B20 meski pelaksanaan B10 berjalan lamban. Selain menghemat keuangan negara, program itu akan memperbaiki defisit neraca pembayaran.
Percepatan tersebut akan berjalan mulus karena 23 anggota Aprobi plus anggota Gapki yang merupakan perusahaan CPO siap mengembangkan biodiesel untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Kebijakan B20 akan berdampak positif kepada industri biodiesel karena kapasitas terpasang biodiesel baru 5,7 juta kl dan akan naik menjadi 7-8 juta kl. Dengan syarat, B20 terealisasi dan harga menguntungkan.
Selain itu, kata MP Tumanggor, didukung oleh jumlah produksi CPO Indonesia yang mencapai 30 juta ton per tahun. Jumlah tersebut akan semakin meningkat menjadi 40 juta ton per tahun pada 2020. “Sekarang ini kami masih menunggu keseriusan pemerintah. Ketegasan ini harus didukung dengan regulasi yang jelas dan insentif pajak,” katanya. n ed: zaky al hamzah