Jakarta -- Badan Anggaran DPR RI menyepakati biaya pengembalian operasi dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi (migas) atau cost recovery senilai 16 miliar dolar AS, sekitar Rp 191 triliun. Angka tersebut lebih rendah dari usulan pada nota keuangan RAPBN 2015.
Dalam nota keuangan RAPBN 2015 sebelumnya, cost recovery migas dipatok sebesar 16,5 miliar dolar AS. Namun, angka itu kemudian dinaikkan Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) menjadi 17,8 miliar dolar AS. "Angka 16 miliar dolar AS itu jalan tengah," ujar Ketua Sidang Banggar Tamsil Limrung, di gedung DPR, Senin (22/9).
Biaya yang akan dibayarkan kepada kontraktor migas tersebut sudah termasuk memasukkan optimalisasi Blok Cepu. Pemerintah telah mematok target lifting minyak sebesar 900 ribu barel per hari. Target tersebut naik dari lifting minyak tahun ini sebesar 845 ribu barel per hari.
Berkurangnya cost recovery dari nota keuangan mendapat penolakan sejumlah politisi sebelum disepakati. Politisi Demokrat Johny Allen Marbun mengatakan, seharusnya cost recovery justru harus dinaikkan. Alasannya, angka lifting minyak juga ditargetkan naik.
Politisi PDIP Dolfie OF Pailit pun menilai janggal perhitungan yang digunakan untuk menentukan cost recovery. Sebab, pendapatan pemerintah justru menurun saat target lifting minyak naik.
"Dengan produksi minyak meningkat, kita hanya mendapat bagi hasil 52 persen. Tahun lalu, dengan 818 ribu barel per hari, kita bisa dapat 54 persen. Keadilannya di mana?" ungkap Dolfie.
Kesepakatan mengenai angka cost recovery dinilai anggota Banggar DPR, Satya Yudha, sudah melalui audit ketat. Nilai cost recovery mengacu pada ruang fiskal yang ingin diciptakan dalam postur anggaran. "Jadi nanti agar kontrak bisa terbayar sepenuhnya mungkin butuh pengurangan volume. Tapi, kalau dikurangi, maka pemerintah harus mempertanggungjawabkan proyek-proyek yang sebelumnya sudah diusulkan. Lalu, sisa-sisa proyek yang tidak dibayar 2015 harus di-carry over 2016," terangnya.
Pengalaman tahun sebelumnya, Satya menyebutkan, dana yang dikembalikan pemerintah ke pengelola sumur migas cukup besar. Pada 2013, dana yang dikembalikan mencapai 15,92 miliar dolar AS.
Meski demikian, Pelaksana Tugas Kepala SKK Migas Johannes Widjonarko menilai cost recovery yang sudah disepakati tetap harus dibayarkan. Hal itu penting agar operasional berjalan lancar.
"Kalau tidak dipenuhi, pengaruhnya ada pada realisasi produksi," ujarnya.
Saat ini, menurut dia, banyak perusahaan migas yang kekurangan dana operasional. Padahal, biaya tersebut penting untuk mengelola sumur yang ada. Pembayaran cost recovery pun dinilai harus sesuai prosedur. rep:meiliani fauziah ed: nur aini