Sempatkan melongok ke bioskop. Maka, film-film asing akan terlihat mendominasi di jadwal pemutaran. Kondisi ini ditambah dengan jumlah bioskop yang minim membuat mudah menebak bahwa industri film nasional belum sepenuhnya bangkit.
Industri film nasional sempat berjaya pada era 1980-1990-an. Pertumbuhan industri film nasional kemudian terhenti saat Indonesia diterjang krisis ekonomi pada 1998. Hingga saat ini, pasar industri film nasional dinilai Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia masih sempit.
Ketua Komite Tetap Video Film dan Fotografi Bidang Industri Kreatif dan MICE Kadin Indonesia Rudi Sanyoto mengatakan, pasar yang sempit membuat perfilman Tanah Air tak berkembang dan kualitasnya diragukan. Kondisi ini dipengaruhi minimnya prasarana dan sarana serta perhatian pemerintah.
"Padahal, bila dikembangkan, potensi dari perfilman ini sangat luar biasa," ujarnya kepada Republika, Jumat (3/10).
Untuk membangkitkan film nasional, industri tidak bisa berjalan sendiri. Peran pemerintah dinilai menjadi faktor penting untuk mendorong industri ini bertumbuh. Peran pemerintah yang sukses mendorong industri film itu bisa dilihat di Negeri Ginseng, Korea Selatan (Korsel).
Industri kreatif di Korsel mendapat perhatian penuh dari pemerintah setempat. Hasilnya, dunia mengalami demam K-Pop. Industri musik hingga film sukses membuat remaja hingga dewasa dari Indonesia ingin melancong ke Korsel.
Saat Pemerintah Korsel mendukung industri kreatif, Pemerintah Indonesia dinilai tidak banyak berbuat serupa. Bahkan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di sektor pajak dianggap berpihak ke film asing.
Dari catatan Kadin, pajak untuk film nasional lebih tinggi dibandingkan film impor. Nilainya mencapai Rp 300 juta. Padahal, film Hollywood hanya kena pajak Rp 2 juta.
Kebijakan yang tidak berpihak tersebut masih ditambah dengan minimnya sarana bioskop. Dari sekitar 500 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 50 wilayah yang memiliki bioskop.
Permasalahan minimnya bioskop itu sebenarnya bisa diatasi pemerintah dengan alokasi anggaran dari APBN. Jika tidak ada anggaran, Rudi mengatakan, pihak swasta bisa digandeng untuk berinvestasi di sektor tersebut.
Dukungan terhadap film nasional juga bisa dilakukan dengan membatasi film impor. Rudi mengatakan, sejumlah negara telah membatasi film impor hingga hanya dua judul per bulan. Sehingga, film lokal tidak perlu takut bersaing dengan film impor.
"Di kita, film impor tak dibatasi. Jadi, bioskop yang aktif lebih memilih memutar film impor ketimbang lokal. Maka, film kita sulit bersaing," ujar Rudi.
Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Kelembagaan Syamsul Lusah mengungkapkan, terpaan krisis ekonomi membuat banyak pengusaha bioskop lokal gulung tikar. Hingga saat ini, bioskop lokal belum bangkit karena pembangunannya lebih dipengaruhi permintaan dan penawaran.
Akan tetapi, saat ini industri film dinilai telah kembali menggeliat. Bahkan, industri ini sudah menunjukkan pertumbuhan. Pada akhir 2013, telah tercatat sekitar 100 judul film yang diproduksi sineas Tanah Air. Sedangkan, untuk program televisi yang terbagi dalam seri dan film televisi tercatat 8.000 episode sampai akhir tahun kemarin.
Syamsul mengklaim pemerintah sudah berusaha memerhatikan sektor film. Salah satunya, dengan menggratiskan bea masuk alat-alat impor untuk produksi film.
"Sampai saat ini, bea masuk gratis bagi komponen produksi film masih berlaku," ujarnya.
Meski ada dukungan, Kadin menilai pemerintah masih harus lebih banyak berbuat. Karena itu, Kadin menaruh harapan pemerintahan baru bisa kembali mengangkat film nasional ke puncak kejayaan.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri Kreatif dan MICE Budyarto Linggowiyono mengatakan, pemerintahan baru mendatang harus bisa meningkatkan brand lokal. Jangan sampai produk lokal ini kalah bersaing dengan produk impor.
"Sudah saatnya produk lokal mendapat perhatian serius dari pemerintah," ujarnya. rep:ita nina winarsih ed: nur aini