LONDON – Perdana Menteri Inggris David Cameron mengunjungi kembali Skotlandia, Senin (15/9). Ini kunjungan terakhir menjelang tiga hari sebelum pelaksanaan referendum. Warga Skotlandia akan menentukan tetap bergabung atau melepaskan diri dari Inggris.
Pekan lalu, Cameron berkunjung ke Skotlandia dan membujuk agar warga tak memilih merdeka.
Jajak pendapat terakhir menunjukkan, masih ada kemungkinan Skotlandia tetap berada di pangkuan Inggris. Tiga jajak pendapat menyatakan kelompok integrasi mendulang suara lebih banyak. Satu jajak pendapat lainnya menyatakan hal sebaliknya.
Dengan kondisi ini, Cameron ingin memanfaatkan emosi warga Skotlandia. Ia meyakinkan kembali bahwa Skotlandia dan Inggris merupakan sebuah keluarga. Menurut dia, tak ada yang bisa mengundurkan referendum. Tak pula ada pemungutan suara ulang.
‘’Jika Skotlandia menyatakan berpisah, Inggris akan terbelah,’’ kata Cameron. Ia mengulangi kembali kampanye antikemerdekaan dengan slogan’’Better Together’’. Ia menjanjikan keuntungan bagi Skotlandia bila tak memilih melepaskan diri.
Pemerintahan Cameron juga menyatakan bakal memberikan otonomi lebih luas bagi Skotlandia. Ia memperoleh dukungan dari tokoh terkenal seperti pemain sepak bola David Beckham. Ia salah satu selebritas yang mendukung petisi agar Skotlandia tak memerdekakan diri.
Pada Senin (15/9) malam, mereka menggalang aksi massa mengusung tema ‘’Let's Stay Together". Aksi ini digelar di Lapangan Trafalgar.
Bila akhirnya Skotlandia menyatakan merdeka, mereka tak hanya terhapus dari peta Inggris. Skotlandia juga otomati tak masuk dalam Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Mereka harus mengajukan diri kalau ingin bergabung kembali.
Lepasnya Skotlandia, pun melahirkan beban tersendiri bagi Inggris. Pengaruh Inggris dalam organisasi beranggotakan 28 negara itu semakin lemah. Untuk saat ini, Inggris, Jerman, dan Prancis merupakan blok tiga negara yang sangat berpengaruh.
Tanpa Skotlandia, jumlah penduduk Inggris akan berkurang banyak. Inggris akan menjadi negara keempat dengan populasi terbanyak setelah Italia. Ini berdampak pada berkurangnya jumlah anggota di Parlemen Eropa.
’’Situasi seperti ini masalah besar bagi Inggris,’’ kata pakar Uni Eropa, Almut Moeller. ap/reuters ed:ferry kisihandi