PARIS (AP) -- Prancis meminta komunitas internasional bersatu memerangi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Presiden Prancis Francois Hollande menegaskan, tak ada waktu untuk kalah dalam menghadapi ISIS.
‘’Ancaman teroris ini bersifat global dan responsnya pun mestinya demikian,’’ ujar Hollande saat membuka konferensi internasional dalam memerangi ISIS di Paris, Prancis, Senin (15/9). Ia menyatakan, konferensi ini merupakan bentuk solidaritas.
Tak hanya itu, pertemuan 40 negara di Paris juga sebuah keinginan kuat mengenyahkan ISIS. Sepuluh negara Arab hadir, yakni Mesir, Irak, Yordania, Lebanon, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Ada beberapa negara yang tak diundang. Di antaranya Suriah dan Iran yang dianggap bermasalah. Sejak awal, AS menentang upaya Prancis menghadirkan Iran dalam konferensi ini. Diplomat Prancis mengungkapkan, lebih baik memperoleh dukungan Arab daripada Iran.
Menlu Prancis Laurent Fabius mengakui, ada negara yang hadir sangat mungkin justru mendanai ISIS. Namun ia menegaskan, tindakan cepat sangat penting dalam mengatasi ISIS. Di sisi lain, Prancis memandang reaksi kondisi di Irak saat ini berbeda dengan tahun 2003.
Waktu itu, AS memimpin invasi ke Irak karena mengembangkan senjata pemusnah massal. Prancis menentang invasi tersebut. ‘’Ini geografis yang sama tetapi hanya itu kesamaannya,’’ ujar Fabius. Dengan demikian, tak akan ada pasukan tempur yang masuk ke Irak.
Presiden Irak Fuad Masum berharap, pertemuan di Prancis akan melahirkan respons cepat terhadap ISIS. Menurut dia, ISIS melakukan pembantaian, genosida, dan pemurnian ras. Politikus Kurdi ini menyesalkan pula tak diundangnya Iran.
Negara-negara ini memang harus secepatnya campur tangan menyelesaikan masalah Irak. Menurut Masum, mereka telat bertindak. ’’Jika dukungan ke Irak sangat telat maka ISIS akan semakin luas kekuasaannya.’’
Meski demikian, Irak bersikap mendua. Irak membutuhkan dukungan negara-negara Arab tak mau negara tersebut mengirimkan jet tempur dan tentaranya. ’’Mereka tak perlu ikut melakukan serangan udara, yang terpenting datang ke konferensi ini,’’ kata Masum.
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi menyetujui pesawat Prancis masuk wilayah udaranya. Menjelang pembukaan konferensi, Laurent Fabius menyatakan, pesawat pengintai Prancis diterbangkan menuju Irak pada Senin (15/9).
‘’Kami katakan siap membantu dan meminta mereka memberikan izin terbang,’’ ujar dia. Penerbangan pertama pesawat Prancis berasal dari sebuah pangkalan militer mereka di Abu Dhabi. Ada enam pesawat tempur Rafale milik Prancis di sana.
AS mengungkapkan, negara-negara Arab siap melakukan serangan udara ke Irak. ‘’Saya hanya ingin menyatakan ada tawaran dari mereka,’’ ungkap pejabat senior Departemen Luar Negeri AS.
Menlu AS John Kerry mengakui, sudah banyak dukungan dalam memerangi ISIS. Dalam siaran program ‘’Face the Nation’’, ia menyatakan mereka bersedia memberikan bantuan militer dan akan menyerang jika memang diminta.
Turki tak ikut menyampaikan tawaran ke AS. Turki hanya mengizinkan penggunaan pangkalan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di sana untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan dan logistik.
Menurut Ibrahim Sharqieh dari Brookings Institute, mengikutsertakan Arab sangat krusial untuk melegitimasi koalisi internasional. ’’Negara-negara Teluk adalah kunci dalam intervensi di Irak. Dan mereka sudah mengumumkan dukungannya,’’ katanya kepada Aljazirah.
Satu negara penentu adalah Yordania. Sharqieh tak heran Francois Hollande menyebut Yordania secara khusus. Negara ini menghadirkan banyak aspek penting. Tak hanya legitimasi tetapi juga kekuatan intelijen dan pasukan mereka. rep:dessy suciati saputri/ap/reuters ed: ferry kisihandi