HONG KONG – Ribuan pengunjuk rasa memadati jalan-jalan di Hong Kong, Rabu (1/10). Aksi ini bertepatan dengan perayaan hari nasional Cina, yakni ulang tahun ke-65 berdirinya Partai Komunis Cina.
Aktivis prodemokrasi tetap mendesak Kepala Eksekutif Hong Kong Leung Chun-ying mundur sebagai kepala pemerintahan. Sehari sebelumnya, Leung menolak mundur. Ia beralasan, jika mundur, penggantinya dipilih komite seperti pada 2012, bukan melalui pemilu.
Leung mendapatkan kesempatan hingga Kamis (2/10) untuk mengundurkan diri. Wakil Sekretaris Hong Kong Federation of Students Lester Shum menyatakan, massa akan terus berunjuk rasa hingga Leung tak lagi menjabat kepala eksekutif.
"Kami akan menduduki gedung-gedung pemerintah yang strategis," kata Shum dalam konferensi pers, Rabu (1/10). Tapi, mereka menegaskan, tak akan menduduki kantor pemerintahan yang berdampak luas bagi masyarakat.
Di antaranya, rumah sakit dan kantor layanan kesejahteraan masyarakat. Tekad aktivis menduduki gedung-gedung pemerintah melahirkan risiko bentrokan dengan polisi. Sebab, mereka tak akan mengizinkan mahasiswa memasuki gedung pemerintahan.
Mahasiswa dan aktivis prodemokrasi siap berdialog dengan pejabat pusat dari Cina, tapi tak mau berbicara dengan Leung. Pada Ahad (28/9) Leung memerintahkan polisi menembakkan 87 gas air mata ke arah pengunjuk rasa. Insiden ini membuat tak ada lagi ruang dialog.
Semula, ada kekhawatiran polisi akan bertindak keras. Tapi, hingga Rabu siang tak terjadi insiden apa pun. Bahkan, jumlah massa semakin bertambah banyak. Mereka menyebar dari area-area utama hingga Tsim Sha Tsui, pusta belanja dekat pelabuhan Hong Kong.
Di tengah kerumunan massa yang menghadiri perayaan hari nasional, Kepala Eksekutif Hong Kong Leung Chun-ying sempat berjabat tangan dengan para pendukungnya yang mengibarkan bendera Cina. Sementara, pengunjuk rasa menyerukan tumbuhnya demokrasi.
Dalam pidatonya, Leung berharap, semua kelompok mampu bekerja sama dengan pemerintah secara damai, rasional, dan pragmatis. Ia mengklaim pemerintahannya telah melangkah maju dalam pengembangan hukum di Hong Kong.
Bagi Oscar Lai, salah satu tokoh prodemokrasi, rakyat Hong Kong tak memperingati perayaan. Dengan kisruh politik di Hong Kong dan terbelenggunya aktivis HAM di Cina, ini bukanlah perayaan melainkan kesedihan.
Gerakan menentang pemerintah berawal dari keputusan parlemen Cina pada Agustus. Mereka memutuskan, akan menyeleksi kandidat kepala eksekutif dalam pemilu Hong Kong pada 2017. Tentu saja, kandidat tersebut harus memiliki loyalitas terhadap Cina.
Aktivis prodemokrasi yang disebut Occupy Centrak menganggap, ini mengekang demokrasi. Pada Jumat (26/9) malam mulailah massa turun ke jalan dan bertahan di sana. Mereka menghendaki demokrasi dan mendesak pergantian kepemimpinan di Hong Kong.
Sejumlah aktivis di Cina yang mendukung gerakan demokrasi di Hong Kong ditangkap. Salah satu aktivis, Ou Biaofeng, mengungkapkan, dua polisi membawanya dari rumahnya di Kota Zhuzhou, Provinsi Hunan ke sebuah gedung di pinggiran kota.
Sekjen PBB Ban Ki-moon meminta prinsip demokrasi dihormati di Hong Kong. Ia mengerti, peristiwa Hong Kong merupakan urusan dalam negeri Cina. "Namun, saya meminta semua pihak menyelesaikan perbedaan dengan cara damai,’’. rep:ani nursalikah/ap/reuters ed: ferry kisihandi