Islamofobia menjadi kata yang kerap ditemui pada paruh akhir 2015. Bahkan, awal 2016 intensitas Islamofobia tak juga mereda. Ketakutan akan tindakan kekerasan yang dikaitkan dengan Islam pun mengemuka. Brussels, Belgia, membatalkan perayaan malam Tahun Baru 2016. Pihak berwenang Belgia mengatakan bahwa pertunjukan kembang api dan perayaan menyambut tahun baru yang dihari oleh 100 ribu orang pada tahun lalu tidak akan dilakukan setelah mengungkap dugaan rencana teror yang diarahkan ke ibu kota pada saat liburan tahun baru.
"Sayang sekali kami terpaksa membatalkan pesta kembang api dan seluruh hal yang telah direncanakan untuk sore esok hari (Kamis). Lebih baik tidak mengambil risiko apa pun," ujar Wali Kota Brussles Yvan Mayeur kepada radio Belgia RTBF.
Di Paris, pertunjukan kembang api tahunan di Champs-Elysees juga dibatalkan. Sebanyak 11 ribu aparat polisi, tentara, dan pemadam kebakaran akan berpatroli di ibu kota Prancis tersebut. Kemudian, Lapangan Merah Moskow, Rusia, yang biasanya menjadi tempat berkumpul masyarakat untuk memperingati tahun baru akan ditutup untuk umum pada 31 Desember 2015. Sementara, Wina, Austria, juga meningkatkan pengamanan sebelum perayaan dilakukan.
Polisi di Kota Munich, Jerman, memperingatkan serangan teror yang telah direncanakan dan meminta orang-orang untuk menghindari keramaian. Polisi dalam kicauan Twitter-nya mengatakan, stasiun utama kota dan stasiun Pasing telah dievakuasi dan mengatakan kereta tidak lagi berhenti di sana. Dalam sebuah unggahan di Facebook, pihak berwenang mengaku memiliki informasi serius serangan itu telah direncanakan saat malam Tahun Baru 2016.
"Indikasi saat ini menunjukkan serangan teror yang sedang direncanakan di Munich. Silakan menghindari kerumunan dan Munich dan stasiun kereta Pasing," kata polisi.
Sementara itu di Turki, para pejabat mengatakan, dua tersangka kelompok bersenjata ISIS yang dilaporkan merupakan warga Turki merencanakan aksi bom bunuh diri di pusat ibu kota Ankara, yang diperkirakan dilakukan pada 31 Desember malam.
Seorang pria tak dikenal mencoba menyerang tentara di sekitar kompleks masjid di Valence, selatan Prancis, Jumat, 1 Januari. Insiden ini membuat anggota jamaah masjid dan tentara terluka.
"Pejalan kaki yang anggota jamaah masjid berusia 72 tahun menderita luka di betis karena terkena peluru nyasar yang ditembakkan oleh tentara," kata Wali Kota Valence Nicolas Daragon kepada saluran berita iTELE.
Dia menjelaskan, empat tentara tengah berada di depan masjid ketika waktu shalat. Kemudian, sebuah mobil melaju ke arah mereka. Penyerang yang mengemudikan mobilnya sendiri itu berusia 29 tahun. Pengemudi misterius mencoba dua kali untuk menyerang tentara. Pasukan akhirnya melepaskan tembakan pada pria ini.
Noda hitam
Semenjak serangan Paris, tentara melindungi tempat-tempat sensitif di seluruh Prancis, termasuk bangunan resmi dan tempat ibadah. Semua itu bukan tanpa alasan.
Tanggal 13 November 2015 menjadi noda hitam bagi Paris, Prancis. Saat itu, sebanyak 129 jiwa tewas akibat penembakan massal yang dilakukan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Seluruh dunia berkabung dan mengutuk peristiwa tersebut dan mengaitkannya dengan agama Islam yang dituding melegalkan jihad dan membunuh orang-orang yang dianggap sebagai musuh agama ini. Padahal, ketika penembakan terjadi, Muslim asal Aljazair bernama Safer saat itu sedang bekerja di belakang bar restoran Casa Nostra. Safer yang juga menjadi sasaran tembakan, berhasil menyelamatkan dua korban serangan. Ia mengaku melihat dua wanita di teras telah terkena pecahan kaca dan menyelamatkannya meski penembakan terus terjadi. Naluri untuk menyelamatkan dua perempuan itu membuatnya untuk membawa mereka turun ke ruang bawah tanah.
"Saya duduk dengan mereka dan mencoba untuk menghentikan pendarahan. Saat kami turun, kita bisa terus mendengar tembakan di atas, itu menakutkan," katanya seperti dikutip dari laman BBC.
Seorang pengebom bunuh diri yang hendak mencoba masuk Stade de France, Prancis, saat peristiwa serangan massal di Paris berhasil dihentikan penjaga keamanan Muslim bernama Zouheir. Penjaga itu mengaku, menemukan rompi bunuh diri penyerang ketika menggeledahnya di pintu masuk.
"Penyerang meledakkan rompi saat ia mundur dari petugas keamanan," kata Zouheir, seperti dikutip dari the Mirror.
Seorang petugas polisi mengatakan, tersangka mungkin memiliki tujuan meledakkan rompinya di dalam stadion untuk memprovokasi insiden terinjak-injak yang mematikan.
Meski Muslim telah menyelamatkan korban serangan Paris, Islamofobia tetap meningkat di berbagai negara, terutama negara Benua Eropa dan Amerika Serikat (AS). Ketakutan atau kebencian yang berlebihan terhadap Islam (Islamofobia) semakin bertambah ketika pada 2 Desember 2015 terjadi penembakan di pusat layanan difabel San Bernardino, California, AS. Sebanyak 14 jiwa tewas dan 17 orang luka-luka.
Pelakunya adalah pasangan suami istri Syed Farook (28 tahun) dan Tashfeen Malik (29) yang diduga tekait dengan ISIS. Peristiwa ini membuat Islamofobia terus meningkat bak bola salju yang terus menggelinding.
Meski demikian, kaum Muslim terus berupaya merangkul para korban. Di antaranya, Muslim Amerika Serikat (AS) yang tergabung dalam kelompok inisiatif kaum Muslim bersatu untuk San Bernardino (MiNDS) berhasil menggalang dana hampir 30 ribu dolar AS untuk keluarga korban penembakan massal tersebut. Kelompok ini meluncurkan program pengumpulan dana pada 4 Desember 2015 dan berusaha terus meraih uang setidaknya hingga 50 ribu dolar AS untuk kebutuhan keluarga korban.
"Jika kita mendapatkan lebih dari 50 ribu dolar AS, kita bahkan dapat membantu membiayai keluarga untuk jangka panjang atau mungkin disumbangkan ke pusat regional di mana penembakan itu terjadi," kata kelompok itu, seperti dikutip dari laman Aljazirah.
Selain itu, Tarek El-Messidi, seorang wirausaha sosial Muslim yang terkemuka juga ikut terlibat. Mereka juga didukung oleh kelompok Muslim lainnya, termasuk Dewan Syuro Islam California Selatan dan Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR).
"Pihak yang menderita adalah orang-orang kami dan itu bukan hanya kewajiban, tetapi tanggung jawab bagi kita untuk berada di sana. Ini menunjukkan solidaritas dengan keluarga korban dan bersama mereka, baik sebentar maupun lama," katanya.
Namun, berbagai intimidasi dan penindasan terus dilaporkan terjadi di berbagai negara, terutama Eropa dan AS terhadap kaum Muslim. Rumah ibadah masjid dirusak hingga ancaman penutupan.
Sebuah kebakaran disengaja yang terjadi di masjid Ontario, Kanada, pada 14 November 2015 dinyatakan sebagai kejahatan kebencian. Kemudian, Menteri Dalam Negeri Italia Angelino Alfano pada akhir November 2015 mengumumkan rencana penutupan masjid yang kegiatannya diam-diam dan tempat ibadah Muslim sebagai bagian dari perang melawan terorisme.
"Penutupan tempat ibadah rahasia dan yang tidak memiliki izin bukan untuk menghambat agama. Nantinya, tempat ibadah dapat diberi izin," kata Alfano saat mengumumkan rencana tersebut, seperti dikutip dari laman Al-Arabiya.
Dia menyebutkan, di Italia terdapat empat masjid dan lebih dari 800 tempat-tempat ibadah Muslim. Selain itu, massa merusak sebuah ruang shalat Muslim dan membakar salinan Alquran di Pulau Corsica Prancis. Kekerasan itu terjadi pada Jumat, 25 Desember 2015, di tengah langkah-langkah keamanan tinggi untuk liburan Natal.
Namun, di satu sisi, aksi teror yang dilakukan terhadap masyarakat sipil telah dilakukan Israel terhadap Palestina sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Bahkan, kekerasan antara Palestina dan Israel yang terjadi sejak Oktober 2015 membuat ratusan nyawa warga sipil Palestina dibunuh.
Sebuah laporan dari the Palestine Network for Dialogue mendokumentasikan 108 pembunuhan terhadap warga Palestina selama dua bulan. Di antaranya, 72 pembunuhan oleh tentara Zionis selama Oktober 2015 dan 36 orang lainnya selama November.
The Palestinian Information Center (PIC) melaporkan 11 warga Israel tewas dalam berbagai serangan anti-Israel selama Oktober dan sembilan orang lainnya tewas pada November. Menurut laporan itu, korban warga Palestina berjatuhan setelah berbagai serangan anti-Israel, termasuk penusukan dan penabrakan mobil. Laporan juga menyebutkan, lebih dari 1.145 warga Palestina terluka oleh peluru dan peluru karet. Sedangkan, ribuan lainnya terkena gas air mata.
Sebanyak 940 warga Palestina cedera oleh keamanan Israel selama November 2015. Anehnya, negara-negara di dunia, termasuk lembaga dunia hanya bungkam. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Palestina mengecam dunia internasional yang dinilai hanya berdiam diri melihat serangan Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem.
"Bagaimana masyarakat internasional dapat tinggal diam dalam menghadapi kejahatan ini? Bersikap buta dan tuli setiap kali Israel melanggar hukum internasional dan perjanjian," bunyi pernyataan Kemlu Palestina, seperti dilansir Xinhua.
Menurut Kemenlu Palestina, dunia internasional telah lalai terhadap apa yang terjadi pada rakyat dan pemimpn Palestina. Karenanya, mereka menuntut perlindungan dari masyarakat internasional sebagai langkah untuk mengakhiri pendudukan Israel.
Fakta lainnya, terjadi penembakan yang dilakukan polisi kulit putih Chicago, AS, terhadap masyarakat kulit hitam. Pemeriksa medis Wilayah Cook mengidentifikasi korban tewas sebagai pria bernama Quintonio Legreir (19 tahun) dan perempuan Bettie Jones (55). Kedua korban berkulit hitam dan berasal dari Chicago.
Insiden ini memicu protes besar-besaran. Tapi, pemimpin dunia seperti presiden AS Barack Obama tidak mengecamnya. Ini berbeda dengan respons Obama terhadap penembakan San Bernardino. Obama mengatakan, dua pelaku penembakan di pusat difabel California telah menempuh jalur radikalisasi dan melakukan tindakan terorisme untuk membunuh orang tak bersalah. Obama menyatakan, negaranya akan menggalakkan fase baru ancaman teroris setelah penembakan massal di San Bernardino. Padahal, baik Serangan Paris, penembakan di San Bernardino, hingga penyerangan di Palestina, dan penembakan warga kulit hitam Chicago sama-sama mengorbankan orang tidak berdosa, rakyat sipil, dan merupakan serangan teror. Tampaknya, definisi teroris terlihat seperti cair tanpa bentuk. n ap/reuters ed: yeyen rostiyani