Rabu 02 Mar 2016 14:00 WIB

Gencatan Senjata Suriah, Antara Harapan dan Keraguan

Red:

Sebuah kesepakatan baru antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia untuk memberlakukan gencatan senjata di Suriah telah tercapai dan diumumkan pada Senin, 22 Februari 2016. Penghentian permusuhan ditetapkan mulai berlaku pada Sabtu, 27 Februari 2016.

Namun, kesepakatan gencatan senjata tersebut mengecualikan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Front al-Nusra, dan kelompok lain yang dianggap organisasi teroris.

Rasa skeptis soal penerapan gencatan senjata bisa diterapkan secara meluas terjadi menyusul upaya serupa yang direncanakan sebelumnya gagal untuk diterapkan. Gencatan senjata sebelumnya disepakati oleh kelompok-kelompok dukungan  internasional Suriah (ISSG) pada konferensi keamanan di Muenchen, Jerman, yang seharusnya berlaku pada pertengahan Februari 2016. Tapi, rencana tersebut ditolak Pemerintah Suriah dan urung dilakukan. Menurut analis, ketika melihat fakta di lapangan, khususnya kompleks pasukan pemberontak, gencatan senjata mungkin sudah ditakdirkan untuk gagal. Sebagai perubahan dari gencatan senjata yang  sebelumnya, Rusia dan AS telah sepakat untuk bertindak sebagai penjamin langsung dan memantau penghentian permusuhan.

Kunci perjanjian penghentian permusuhan ini yaitu, adanya koordinasi antara Washington dan Moskow terkait wilayah yang tunduk pada gencatan senjata. Wilayah tersebut tidak boleh menjadi subjek pengeboman udara oleh Rusia, serangan oleh tentara Suriah atau oposisi yang didukung AS.

Melihat adanya berbagai faksi dan kompleksitas di Suriah, komunikasi antara Rusia dan AS mengenai subjek wilayah yang tepat untuk gencatan senjata harus terus dikoordinasi. Karena, adanya kemungkinan tembakan artileri atau pengeboman udara, baik sengaja atau tidak disengaja akan mendarat di wilayah yang menjadi tempat gencatan senjata.

Perjanjian gencatan senjata tersebut, di antaranya, menyebutkan, pelanggaran gencatan senjata akan dilaporkan pada hotline untuk satuan tugas (satgas) khusus yang diketuai oleh AS dan Rusia. Satgas itu memiliki kekuatan untuk menentukan kelompok yang dinilai keluar dari perjanjian. Pihak tersebut dapat menjadi sasaran serangan militer.

Semua kelompok oposisi yang mendaftar untuk gencatan senjata tidak hanya akan berhenti menggunakan senjata, tetapi juga mengizinkan akses untuk konvoi kemanusiaan secara cepat, aman, dan tanpa hambatan di wilayah di bawah kendali mereka.

Pernyataan bersama gencatan senjata oleh AS-Rusia tersebut juga menyatakan, semua pihak lebih berkomitmen untuk bekerja membebaskan tahanan, terutama perempuan dan anak-anak.

Menteri Luar Negeri AS John Kerry mengatakan, gencatan senjata ini adalah momen yang menjanjikan. Ia bersyukur melihat pengaturan final gencatan senjata yang disimpulkan hari ini untuk menghentikan permusuhan di Suriah. Untuk itu, Kerry meminta semua pihak untuk menerima dan sepenuhnya mematuhi ketentuan.

"Jika dilaksanakan dan dipatuhi, penghentian ini tidak hanya akan menyebabkan penurunan kekerasan, tapi juga terus memperluas pengiriman bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan untuk wilayah terkepung serta mendukung transisi politik ke pemerintah yang responsif terhadap keinginan masyarakat Suriah," ujarnya, seperti dikutip dari laman the Guardian.

Presiden AS Barack Obama menyambut baik kesepakatan gencatan senjata antara AS, Rusia, dan ISSG. Tetapi, ia menekankan bahwa prioritas saat ini untuk memastikan respons positif oleh rezim Suriah dan oposisi bersenjata serta pelaksanaannya oleh semua pihak. Obama menambahkan, meskipun ada banyak  alasan untuk merasa skeptis, gencatan senjata bisa menyelamatkan nyawa jika diterapkan.

"Kami tidak berharap kekerasan berakhir segera. Tidak akan ada gencatan senjata dengan ISIS dan kelompok-kelompok, seperti Front al-Nusra karena mereka bukan bagian dari negosiasi dan memusuhi AS," kata presiden, seperti dikutip dari laman RT.

Kepala Direktorat Operasional Utama Staf Umum Angkatan Bersenjata Rusia Letnan Jenderal Sergei Rudskoi mengatakan, pihaknya telah mengirimkan usulan atau proposal ke AS terkait kondisi umum dan prosedur yang diperlukan untuk menjamin gencatan senjata di Suriah.

"Kemarin (Jumat, 26 Februari 2016), kami mengirim proposal kepada pihak AS dengan persyaratan standar dan prosedur yang diperlukan untuk menjamin penghentian permusuhan," katanya, seperti dikutip dari laman Sputnik News.

Menurut Rudskoi, Rusia dan AS akan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi  ketegangan jika pelanggaran gencatan senjata terjadi.

Pemerintah Suriah melalui kementerian luar negeri menyatakan, menerima persyaratan kesepakatan gencatan senjata yang diumumkan oleh AS dan Rusia.

Dalam pernyataannya, Pemerintah Suriah akan menghentikan operasi bersenjata, tapi akan melanjutkan upaya kontraterorisme terhadap kelompok ISIS, Alqaidah, dan sejumlah kelompok pemberontak yang berafiliasi dengan mereka.

"Untuk menjamin bahwa penghentian kekerasan akan dimulai pada tanggal yang telah ditetapkan, yaitu Sabtu, 27 Februari, Pemerintah Suriah siap untuk melanjutkan koordinasi dengan Rusia untuk menentukan daerah dan kelompok bersenjata yang termasuk dalam persyaratan gencatan senjata ini," bunyi pernyataan Pemerintah Suriah, seperti dikutip dari laman Channel News Asia.

Pemerintah Suriah juga menyatakan bahwa angkatan bersenjata Suriah berhak menanggapi setiap serangan dari kelompok-kelompok oposisi. Beberapa pasukan oposisi Suriah mengatakan, pengecualian kesepakatan Front al-Nusra bisa bermasalah karena dapat digunakan sebagai dalih untuk menyerang kelompok-kelompok pemberontak dan warga sipil di daerah yang dikuasai oposisi. Front Al-Nusra tidak hanya hadir di Idlib, tetapi juga di Aleppo, Damaskus, dan selatan. Oleh RR Laeny Sulistyawati  reuters/ap  ed: Yeyen Rostiyani

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement