Israel merayakan Hari Kemerdekaan ke-62 pada 14 Mei lalu. Sementara, warga Palestina di selatan negara itu mengenang kembali pengusiran mereka dari tanah airnya pada periode 1947-1949. Perpindahan massa dan perampasan wilayah ini dikenal sebagai Yaum al-Nakba atau Hari Nakba yang diartikan sebagai Hari Bencana.
Nakba yang secara terminologi Arab berarti bencana diperingati secara internasional setiap Mei. Tercatat, ada sekitar lima ratus desa Palestina yang hancur antara 1947 dan 1949 ketika Israel mencaplok tanah Palestina dan membuat penduduk asli negara tersebut menjadi pengungsi.
Pada 15 Mei 1948, sebesar 78 persen wilayah dari Palestina menjadi negara Israel. Hingga saat ini, 69 tahun berlalu, 22 persen yang tersisa masih terus dilucuti Israel untuk perluasan pemukiman mereka.
Menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) pada 2008, terdapat 4.618.141 pengungsi terdaftar. Namun, badan ini hanya mencakup pendaftaran untuk pengungsi Palestina yang telantar pada 1948 (dan keturunan mereka). Sementara Badil, sebuah organisasi nonpemerintah Palestina, memperkirakan ada lebih dari 7,1 juta pengungsi Palestina.
Pada 2008, penduduk Palestina di seluruh dunia bahkan mengalami peningkatan, diperkirakan oleh Badil, menjadi 10,6 juta. Mereka tersebar signifikan di beberapa lokasi, seperti Tepi Barat dan Jalur Gaza (4,36 juta orang), Israel (hampir 1,59 juta orang), Yordania (2,82 juta orang), Suriah (422.699 orang), Lebanon (421.292 orang), Arab Saudi (314.226 orang), Amerika Serikat (238.721 orang), dan 303.987 orang yang tersebar di negara-negara lain.
Sebenarnya, mereka memiliki hak untuk kembali ke rumah mereka, kembali ke tanah air mereka. Semua pengungsi memiliki hak yang diakui secara internasional untuk kembali ke daerah di mana mereka telah melarikan diri atau dipaksa pergi, untuk menerima kompensasi atas kerusakan dan mengembalikan properti dalam keadaan baik atau menerima kompensasi atas kerusakan untuk pemukiman kembali. Hak ini berasal dari sejumlah sumber hukum, termasuk hukum internasional, hukum humaniter internasional yang mengatur hak-hak warga sipil selama perang dan hukum hak asasi manusia.
Dalam kasus tertentu di Palestina, hak ini ditegaskan oleh resolusi PBB 194 pada 1948 . Resolusi telah menegaskan berkali-kali di organisasi yang sama dan juga telah diakui oleh organisasi independen, seperti Amesty International dan Human Rights Watch.
Namun, sejauh ini Israel menolak mengakui hak tersebut. Israel tidak ingin Palestina mendapat eksistensi sebagai negara dan diakui dunia. Israel ingin rakyat Palestina melupakan kejadian Nakba 69 tahun silam tersebut. Generasi Palestina yang merasakan peristiwa Nakba sudah meninggal dan kini hidup keturunannya yang tidak merasakan secara langsung peristiwa mengerikan itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Israel berusaha menekan peringatan untuk menandai Nakba, terutama melalui perubahan undang-undang 2011 yang berkaitan dengan alokasi anggaran.
Undang-Undang Nakba memperkenalkan syarat baru dengan kriteria kelayakan dana negara. Undang-undang ini menetapkan pendanaan yang bisa ditangguhkan jika lembaga yang dicurigai --misalnya pemerintahan kabupaten di Palestina-- menjadikan Hari Kemerdekaan Israel sebagai peringatan Nakba.
Pada 2012, Mahkamah Agung Israel menolak petisi yang menentang UU Nakba. Alasan mereka, terlalu dini untuk menilai dampak dari undang-undang.
"Undang-undang sangat jelas dan tidak menetapkan definisi yang jelas, termasuk untuk apa yang merupakan 'berkabung'," kata Sawsan Zaher kepada Aljazirah, seorang pengacara di Adalah, pusat hukum bagi hak-hak minoritas Arab yang tuntutan hukumnya tidak berhasil.
Ambiguitas kriteria menciptakan efek besar, dewan lokal memilih untuk tidak mensponsori acara Nakba guna menghindari risiko sanksi. Undang-undang Nakba bukan satu-satunya contoh upaya terbaru Pemerintah Israel untuk undang-undang menentang aktivisme politik.
UU Anti-Boikot disahkan oleh Knesset pada 2011 dan ditegakkan hampir seluruhnya oleh Mahkamah Agung pada 2015. UU ini memungkinkan untuk tuntutan hukum perdata terhadap mereka yang menyerukan boikot, termasuk produk pemukiman di Tepi Barat.
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Miri Regev memperjelas keinginannya menutup dana bagi orang-orang yang dianggap tidak loyal kepada negara. Pekan lalu, ia menyatakan inisiatif baru untuk memaksa lembaga budaya dan olahraga yang didanai negara untuk mengibarkan bendera Israel. Bagi Zaher, pergerakan ini seperti mengirim "pesan politik yang sangat berbahaya". Oleh Melisa Riska Putri/reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani