Jumat 13 Jan 2017 16:00 WIB

Tillerson: Larang Cina Masuk LCS

Red:

WASHINGTON – Kandidat menteri luar negeri AS dalam pemerintahan Donald Trump, Rex Tillerson, mengatakan Cina harus dilarang memasuki pulau-pulau yang ada di Laut Cina Selatan (LCS) yang menjadi wilayah sengketa. Menurutnya, penempatan bangunan dan aset militer Cina di pulau-pulau itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Rusia dalam mengambil alih Crimea dari Ukraina.

"Kami akan mengirim sinyal kepada Cina, pertama, menghentikan pembangunan di pulau-pulau itu, kedua, tidak memperkenankan akses masuk ke pulau-pulau itu," ujar Tillerson di hadapan Komisi Hubungan Internasional di Senat AS, Rabu (11/1), saat ditanya jika ia akan mengambil langkah agresif terhadap Cina.

Mantan chief executive officer Exxon Mobil Corp itu tidak merinci langkah yang akan dilakukannya untuk menghentikan akses masuk terhadap Cina ke pulau-pulau di Laut Cina Selatan. Cina membangun pulau-pulau itu dari terumbu karang dan telah membangun lapangan terbang militer besar di atasnya.

Cina telah mengklaim wilayah Laut Cina Selatan, yang kaya akan energi dan banyak dilalui oleh kapal-kapal perdagangan senilai 5 triliun dolar AS setiap tahunnya. Wilayah Laut Cina Selatan juga diklaim oleh sejumlah negara, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.

Tillerson hanya menganggap aktivitas Cina di Laut Cina Selatan adalah hal yang sangat mengkhawatirkan. Perbuatan Cina akan menjadi ancaman bagi perekonomian global.

Ia juga menyalahkan Pemerintah AS saat ini yang tidak memberikan respons serius. Ketidakseriusan AS menanggapi masalah ini dinilainya akan mendorong Cina untuk terus menguasai Laut Cina Selatan.

"Cara kita menanggulangi ini adalah dengan menunjukkan dukungan terhadap negara-negara sekutu lama di Asia Tenggara," ungkapnya.

Tillerson menganggap, pembangunan di Laut Cina Selatan dan pengakuan wilayah yang dilakukan Cina merupakan aksi ilegal.

"Mereka mengambil alih wilayah, atau menyatakan telah mengambil alih wilayah yang tidak berhak bagi Cina," kata dia.

Menanggapi komentar Tillerson, juru bicara Menteri Luar Negeri Cina, Lu Kang, mengaku tidak akan menduga-duga dan tidak akan menjawab pertanyaan berdasarkan hipotesis.

"Hak Cina untuk melaksanakan kegiatan normal di wilayah kedaulatannya di Laut Cina Selatan adalah hal yang tidak terbantahkan," tutur Lu, Kamis (12/1) sambil menegaskan, hubungan Cina dan AS berdasarkan "nonkonfrontasi, nonkonflik, kepentingan bersama, dan kerja sama saling menguntungkan."

"Jika Anda melihat kembali sambungan telepon Presiden Xi Jinping dengan Donald Trump setelah menang pemilu, maka dapat dilihat bahwa kedua negara saling menghormati dan kami sepakat dengan beliau (Xi -Red) bahwa kita harus membangun hubungan berdasarkan saling menghormati," ujar Lu.

Pemerintahan Presiden Barack Obama sejauh ini telah mengerahkan kapal patroli Angkatan Laut di Laut Cina Selatan. Namun, memblokir akses Cina ke pulau-pulau di Laut Cina Selatan belum pernah menjadi pilihan yang akan dilakukan Obama.

Obama telah berupaya membentuk persekutuan di Asia Tenggara untuk menghentikan Cina mengklaim wilayah Laut Cina Selatan. Akan tetapi, beberapa mitra AS di Asia Tenggara mengaku enggan menantang Beijing.

Menteri Pertahanan Filipina, Delfin Lorenzana, turut memberikan tanggapan mengenai komentar Tillerson. Filipina merupakan sekutu lama AS yang tahun lalu memenangkan kasus arbitrase internasional, yang menyatakan pulau-pulau Cina di Laut Cina Selatan masuk ke dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) negaranya.

"Itu (yang dikatakan Tillerson) belum menjadi kebijakan, biarkan kami menunggu jika mereka akan menerapkan putusan sidang. Mari kita tunggu sampai Trump dilantik," ujar Lorenzana, Kamis.

Komentarnya mencerminkan perubahan tajam Manila dalam melakukan pendekatan ke Cina di bawah kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte. Duterte selalu mengatakan ingin memiliki hubungan diplomatik dan bisnis yang baik dengan Beijing.

Baginya, menantang Beijing adalah perbuatan yang provokatif dan sia-sia. Ia menunjukkan kurangnya kepercayaan kepada Pemerintahan Obama dan bahkan memberikan cacian kepada AS.

Komitmen dengan Taiwan

Tillerson juga mengatakan, Washington harus menegaskan kembali komitmen hubungannya dengan Taiwan. Taiwan dianggap sebagai provinsi yang membangkang oleh Beijing, dan AS memiliki kewajiban untuk menghormati kebijakan "Satu Cina".

AS mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Cina pada 1979 dan mengakui Taiwan sebagai bagian dari Cina. Akan tetapi, selama ini AS juga menjadi sekutu dan pemasok senjata terbesar ke Taiwan.

"Saya tidak tahu tentang rencana untuk mengubah posisi AS dalam kebijakan Satu Cina," kata Tillerson.

Pada Kamis pagi, kapal induk Cina berlayar melalui Selat Taiwan. Hal itu terjadi satu hari setelah Taiwan mengerahkan sejumlah jet tempur dan kapal angkatan laut ke wilayah perbatasan antara Cina dan negaranya.

Juru Bicara Tentara Pembebasan Rakyat Angkatan Laut Cina, Liang Yang mengatakan, kapal induk Cina hasil rakitan Soviet bernama Liaoning itu baru kembali dari latihan militer di Laut Cina Selatan. Kapal induk Liaoning sedang melakukan uji senjata dan peralatan di Laut Cina Selatan dan aktivitasnya telah memenuhi hukum internasional.

"Kapal induk Liaoning mengunjungi Laut Cina Selatan untuk melakukan latihan militer di wilayah itu. Kapal telah melewati Selat Taiwan dan akan meneruskan tugasnya," ujar Liang, dalam sebuah pernyataan.

Kapal induk Cina muncul di Selat Taiwan saat kedua negara sedang berada dalam ketegangan. Beijing mencurigai Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, ingin mendapatkan kemerdekaan resmi dari Cina.

Taiwan menegaskan, kapal-kapal Cina tidak memasuki wilayah teritorial perairan mereka dan tidak menimbulkan ancaman. Kapal-kapal tersebut hanya berlayar di zona identifikasi pertahanan udara.

Cina mengklaim kedaulatan atas Taiwan sejak 1949, ketika Partai Komunis yang dipimpin Mao Zedong mengalahkan Partai Nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-shek. Ketegangan kedua pihak telah terjadi beberapa kali, termasuk saat Cina melakukan latihan militer di Selat Taiwan pada 1995 dan 1996.      rep: Fira Nursya'bani/reuters/ap, ed: Yeyen Rostiyani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement