Dalam sebuah survey yang baru dirilis pada pertengahan 2014 ini, Pew Research Center yang berpusat di Amerika Serikat menyatakan bahwa mayoritas masyarakat dunia meyakini bahwa kondisi perekonomian global saat ini berada dalam situasi yang kurang baik. Dari survey yang dilaksanakan pada tanggal 17 Maret – 5 Juni 2014 ter hadap 48.643 responden di 44 negara, terungkap fakta bahwa 64 persen penduduk negara maju (developed economies) meyakini bahwa kondisi perekonomian mereka sangat buruk, diikuti oleh 59 persen responden yang berasal dari emerging economies. Hanya penduduk negara-negara berkembang (developing economies) yang masih meyakini kinerja perekonomian mereka baik (51 persen).
Foto:Republika/ Tahta Aidilla
Layar lebar menampilkan hasil survey Lingkaran Survey Indonesia (LSI) bertema 'Harapan dan Ancaman Pemerintahan Baru Jokowi-JK' di Jakarta, Kamis (28/8).
Dari sisi tingkat kepuasan masyarakat terhadap sistim dan kinerja perekonomian saat ini, hampir seluruh negara yang disurvey menyatakan ketidakpuasannya, kecuali di Tiongkok, Vietnam, Malaysia dan Rusia yang mayoritas rakyatnya merasa puas. Yang menarik, negara-negara yang terkena dampak krisis keuang an yang paling parah, tingkat ketidakpuasannya adalah yang paling tinggi. Yunani, Italia dan Spanyol misalnya, tingkat ketidakpuasan masya rakatnya mencapai angka masingmasing sebesar 95 persen, 90 persen dan 91 persen.
Khusus Indonesia, survey tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi perekonomian nasional mencapai angka 55 persen. Hanya kurang dari separuh responden yang merasa puas dengan kondisi saat ini. Titik pangkal ketidakpuasan ini bersumber dari empat persoalan mendasar yang dihadapi oleh perekonomian dunia termasuk Indonesia. Yaitu, kenaikan tingkat inflasi, penurunan kesempatan kerja, kenaikan angka kesenjangan pendapatan antara kelompok kaya dengan kelompok miskin, dan utang publik yang semakin tinggi.
Secara umum, Pew Research Cen ter menyimpulkan bahwa perekonomian dunia saat ini berada pada arah dan jalur yang salah, sehingga perlu ada upaya perbaikan kebijakan. Terlepas dari persoalan metodologi survey yang dilakukan, namun apa yang dirilis oleh lembaga tersebut patut dijadikan pelajaran bahwa ada sesuatu yang keliru dengan sistim perekonomian saat ini. Kekeliruan inilah yang harus dapat kita koreksi agar kesejahteraan masyarakat bisa semakin baik ke depan.
Contoh kekeliruan sistemik, me nu rut pendapat pribadi penulis, terletak pada sistim keuangan global saat ini, termasuk yang diterapkan di Indonesia. Dalam praktik perbankan misalnya, besarnya bunga kredit bergantung pada profil risiko nasabah dan jenis usaha yang akan dibiayai. Semakin berisiko, semakin besar pula bunga kreditnya. Prinsip ini kemudian diadopsi oleh perbankan syariah sehingga polanya menjadi sama, yaitu semakin berisiko semakin besar marjin atau bagi hasil yang menjadi kewajiban nasabah pembiayaan.
Yang jadi masalah, profil risiko ini juga ditentukan oleh size dari usaha yang dimiliki oleh nasabah, di samping faktor-faktor lain seperti karakter nasabah, dan sebagainya. Akibatnya, jika ada dua orang nasabah yang sama-sama berkarakter baik, punya rekam jejak yang tanpa cela, tetapi memiliki size usaha yang berbeda, maka besarnya beban kewajiban yang dikenakan boleh jadi berbeda. Peng usaha besar biasanya mendapatkan beban marjin yang lebih rendah di bandingkan dengan pengusaha mikro atau kecil.
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa yang kecil dianggap lebih beresiko sehingga harus membayar lebih banyak dibandingkan dengan yang besar. Bukan sebaliknya. Sehingga, meski bank tidak terlalu banyak berharap pada peningkatan DPK yang signifikan dari nasabah usaha mikro dan kecil (UMK), tapi mereka bisa mendapatkan prosentase profit yang lebih besar dari membiayai UMK ini.
Berbeda dengan nasabah besar yang bisa meningkatkan DPK secara signifikan, meski prosentase keuntungan dari membiayai usaha mereka tidak sebesar pembiayaan UMK. Bu kan kah secara tidak langsung kita menjalankan sistim perbankan yang "mengistimewakan" yang besar?
Perubahan kebijakan
Untuk itu, agar ketidakadilan ekonomi yang bersifat sistemik ini dapat diatasi, maka pemerintahan Jokowi JK harus berupaya keras menata sistim yang ada, dengan mengubah beragam kebijakan yang dianggap tidak adil dan merugikan kepentingan masyarakat dan bangsa Indonesia. Apalagi di tengah tekanan perlambatan ekonomi global yang dampaknya semakin terasa pada perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi maksimal 5,3 persen tahun ini sebagaimana yang dinyatakan Ke menterian Keuangan merupakan indikator yang menegaskan hal tersebut.
Penulis berharap bahwa pemerintahan mendatang bisa mengoptimalkan semua potensi domestik yang dimiliki oleh bangsa ini, termasuk potensi ekonomi dan keuangan syariah. Jangan sampai institusi ekonomi dan keuangan syariah yang ada tidak mendapat dukungan yang memadai dan optimal. Ada beberapa langkah yang sebaiknya diambil pemerintahan mendatang.
Pertama, menjadikan Indonesia sebagai pusat keuangan dan investasi syariah dunia. Karena itu, negara harus memfasilitasinya dengan menciptakan road map dan beragam infrastruktur regulasi yang mendukung tercapainya hal tersebut, termasuk antara lain dengan mendi rikan bank BUMN syariah. Wallahu a’lam. (bersambung).
Dr Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB