Jabir bin Abdullah ra adalah salah seorang sahabat Rasulullah yang banyak meriwayatkan hadis. Beliau adalah putera dari seorang syahid Uhud, Abdullah bin Amr al-Anshari ra. Beliau juga dikaruniai umur yang pan jang oleh Allah hingga dapat menyaksikan kehidupan cucu Rasulullah SAW, Muhammad bin Ali ra. Kisah beliau sangat inspiratif dan sering dijadikan rujukan para penimba ilmu.
Kisah Jabir ra yang paling sering diceritakan adalah mengenai mukjizat Rasulullah SAW yang melipatgandakan hidangan jamuannya untuk Rasulullah namun mencukupi hingga mampu men jamu pasukan penggali parit. Kisah Jabir ra yang lain yang sering diceritakan adalah terkait dengan bab Munakahat, yaitu tentang pernikahannya dengan seorang janda dan bukan dengan gadis. Namun, dalam artikel ini, kisah yang ingin diangkat adalah kisah Jabir ra dengan untanya yang terkait dengan muamalah ekonomi.
Foto:Republika/Agung Supriyanto
Seorang penyewa unta menunggu datangnya wisatawan didepan Piramida Giza, Kairo, Mesir, Sabtu (13/9).
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, "Aku keluar bersama Rasulullah pada perang Dzat ar-Riqa’, dari Nakhl dengan mengendarai seekor unta yang lemah. Ketika Rasulullah kembali dari perang Dzat ar-Riqa’, teman-temanku dapat berjalan dengan lancar, sementara aku tertinggal di belakang hingga beliau menyusulku. Beliau ber sabda kepadaku, "Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, untaku berjalan sangat pelan." Beliau bersabda, "Suruh ia duduk!" Aku mendudukkan untaku dan beliau juga mendudukkan untanya. Setelah itu beliau bersabda, "Berikan tongkatmu kepadaku!" Atau beliau bersabda: "Potongkan sebuah tongkat untukku dari pohon itu."
Lalu aku pun mengerjakan perintah Rasulullah SAW., dan beliau mengambil tongkat yang dimintanya. Beliau menusuk lambung untaku beberapa kali kemudian bersabda, "Naikilah untamu!" Aku segera menaikinya. Demi Allah yang mengutus beliau dengan membawa kebenaran, untaku mampu menyalip un ta beliau. Kami bercakap-cakap, ke mudian beliau bersabda, "Wahai Jabir, apakah engkau bersedia menjual unta mu kepadaku?" Aku menjawab, "Tidak wa hai Rasulullah, namun aku akan menghibahkannya kepadamu." Beliau ber sabda, "Juallah untamu ini ke padaku!"
Aku menjawab, "Kalau begitu, hargailah untaku ini." Beliau bersabda, "Bagai mana kalau satu dirham?" Aku menjawab, "Tidak, wahai Rasulullah, kalau harganya seperti itu, engkau merugi kanku." Beliau bersabda, "Dua dirham?" Aku menjawab, "Aku tidak mau seharga itu, wahai Rasulullah." Beliau terus me naikkan penawaran hingga harga unta itu mencapai satu uqiyah (kira-kira setara dengan 40 dirham).
Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau ridha dengan harga itu?" Beliau menjawab, "Ya." Aku berkata, "Kalau begitu unta ini menjadi milikmu." "Ya, aku telah terima" jawab beliau lalu bersabda, "Wahai Jabir, apakah engkau sudah menikah?" "Sudah, wahai Rasulullah," Jawabku. Beliau bertanya, "Dengan gadis ataukah janda?", "Dengan janda," Jawabku. Beliau bersabda, "Kenapa engkau tidak menikahi seorang gadis hingga engkau bisa bercanda dengannya dan ia bisa bercanda denganmu?" Aku menjawab, "Ayahku gugur di perang Uhud dan meninggalkan tujuh orang anak perempuan. Aku menikahi seorang wanita yang dewasa sehingga bisa mengurus dan mengasuh mereka."
Beliau bersabda, "Engkau benar, insyaAllah. Bagaimana jika telah tiba di Shirar (Sebuah tempat kira-kira 5 km dari kota Madinah) nanti aku perintahkan penyiapan unta untuk disembelih, kemudian kita adakan jamuan daging unta pada hari tersebut hingga istrimu mendengar kabar tentang kita dan ia melepaskan bantalnya?" "Aku tidak memiliki bantal wahai Rasulullah," jawabku. Beliau bersabda, "Engkau akan memilikinya insyaAllah. Karena itu, jika engkau telah tiba di rumahmu, maka lakukanlah perbuatan orang cerdik."
Setibanya di Shirar, Rasulullah SAW, memerintahkan para sahabat untuk menyiapkan unta dan kemudian disembelih. Kami mengadakan jamuan makan pada hari itu. Pada sore hari, beliau masuk ke rumah, dan kami pun masuk ke rumah kami. Aku ceritakan kisah ini dan sabda Rasulullah kepada istriku. Istriku berkata, "Lakukanlah itu, dengar dan taatlah."
Esok paginya aku membawa untaku, menuntun dan mendudukkannya di depan pintu masjid Rasulullah, kemudian aku duduk di dekat masjid. Ketika beliau keluar dan melihatnya, beliau bersabda, "Apa ini?" Para sahabat menjawab, "Ini unta yang dibawa Jabir." Beliau bersabda, "Di mana Jabir?" Aku pun di panggil, kemudian beliau bersabda, "Wa hai anak saudaraku, ambillah unta mu, karena ia menjadi milikmu!" Beliau memanggil Bilal dan bersabda kepa danya, "Pergilah bersama Jabir, dan beri kan kepadanya uang satu uqiyah!" Aku pergi bersama Bilal, dan kemudian ia memberiku uang satu uqiyah dan memberi sedikit tambahan kepadaku. Demi Allah, pemberian beliau tesebut terus berkembang dan bisa dilihat tempatnya di rumahku hingga aku mendapat musibah di perang al- Harrah belum lama ini.
Dari kisah Jabir ra di atas, ada beberapa hikmah yang dapat diambil. Per tama, dalam muamalah, komunikasi sosial sangat penting. Rasulullah SAW sangat dikenal memiliki kepribadian yang santun dalam ucapan dan tingkah lakunya. Dari kisah di atas, beliau mengajak berdialog dengan komunikasi yang sangat santun. Menurut ahli tafsir, sebenarnya, beliau ingin mengetahui berapa kebutuhan sahabatnya. Namun, beliau tidak serta merta "to the point" mena nyakannya kepada Jabir ra, melainkan beliau ajak dialog. Secara nyata, beliau melakukannya dengan penawaran beli unta yang dimiliki sahabatnya dan beliau lakukan dengan setahap demi setahap hingga mencapai penawaran yang diinginkan sahabatnya, sehingga kemudian beliau mengetahui bahwa sebesar itulah yang dibutuhkan oleh sahabatnya.
Cara ini masih berlaku pada zaman beliau, yaitu ketika kaum mukminin memiliki kepribadian yang luhur termasuk memegang teguh kejujuran. Sehingga, dari cara ini, Jabir ra sangat dapat dipercaya bahwa memang sebesar itulah kebutuhan beliau. Dari cara ini pula, pertanyaan Rasulullah SAW dapat terjawab.
Kedua, dalam bermuamalah, tidak ada jual beli bersyarat, sehingga ketika menawarkan pembelian, Rasulullah SAW tidak lantas kemudian mensya ratkan bahwa untanya bisa dipakai terlebih dahulu jika ingin dibeli, melainkan dilakukannya sesudah kesepakatan telah dibuat. Rasulullah SAW masih mengizinkan sahabatnya untuk me nung ganginya. Sebagaimana tafsir di atas, sebenarnya, Rasulullah SAWtidak berniat serta merta membeli unta Jabir ra.
Ketiga, kepribadian Rasulullah SAW yang sangat mulia tercermin dari tindakan beliau yang kemudian memberikan unta yang dibelinya tersebut kepada pemilik awalnya, Jabir ra. Sejak awal, rencana beliau adalah untuk mem bantu sahabatnya, dan bukan me nambah asetnya. Kita patut meniru Rasul SAW bahwa prioritas utama perencanaan keuangan kita sepatutnya adalah sedekah dan manfaat bagi yang lain, dibandingkan dengan mengum pulkan, menumpuk, dan memperbesar aset, hingga menghitung-hitungnya dan akhirnya menjadi pelit atau enggan membaginya untuk lingkungan sekitar. Wallahu a’lam.
Laily Dwi Arsyianti
Staf Pengajar Prodi Ekonomi Syariah FEM, Peneliti Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB