Contoh perang melawan korupsi yang diteladankan Rasulullah SAW menjadi dasar penting bagi negara Islam pada masa berikutnya. A F Ahmed dalam The Rightly Guided Caliphs and the Umayyads menulis, saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, ia memecat pejabat atau kepala daerah yang melakukan korupsi.
Belum lama menjabat, Umar juga menginspeksi kekayaan pejabat negara dan menyita harta yang didapat bukan dari gaji yang semestinya. Harta sitaan dikumpulkan di Baitul Mal untuk diguna kan bagi kepentingan rakyat.
Sebagai pencegahan lanjutan, ia melarang pejabat eksekutif turut campur dalam pengelolaan Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pengelola keuangan daerah tidak bergantung pada gubernur dan tanggung jawab mereka langusng kepada pemerintah pusat.
Tuduhan korupsi dan nepotisme juga kuat menerpa kepemimpinan Utsman bin Affan. Kala itu, Utsman dianggap sengaja menunjuk karib kerabatnya untuk menduduki posisi penting di pemerintahan.
Namun, semua dibantah langsung oleh Utsman. Sementara, pada masa Ali bin Abi Thalib, pemecatan pejabat korup juga dilakukan meski menimbulkan pergesekan politik.
Pada masa Dinasti Umayah (661-750 M), Umar bin Abdul Aziz mengembalikan semua harta masyakat yang sebelumnya diakui dan digunakan raja dan keluarganya. Ia juga menegakkan hukuman kepada mereka yang terbukti melakukan korupsi.
Para pejabat juga diberi gaji sebesar 300 dinar dan dilarang mencari pemasukan sampingan. Mohammad Hashim Kamali dalam "Islam Prohibits All Forms of Corruption" menulis, selama satu pemimpin di masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), Jafar al- Mansur mendirikan Diwan al-Musadirin yang bertugas menangani persoalan korup si dan suap yang melibatkan pejabat peme rintah, pengusaha, kontraktor, dan semua pihak yang memiliki hubungan usaha dengan pemerintah.
Suap terhadap hakim (qadi), tulis Omer Duzbakar dalam artikelnya, "Bribery in Islam-Ottoman Penal Codes and Examples From The Bursa Shari'a Court Records of 18th Century", merupakan aktivitas yang berjalan sejak Dinasti Turki Usmani berdiri. Mereka yang menyuap umumnya meminta para hakim merekomdasikan mereka agar masuk dalam lingkaran terde kat kekuasaan.
Sistem fiskal dan sistem administrasi mulai menunjukkan kemundurannya sete lah abad ke-16. Pemerintah kehilangan otoritas dan pemasukan pajak pun berkurang. Aksi korupsi menyebar ke berbagai instansi. Ini tidak mengherankan karena pada masa itu mulai ada izin ke pemilikan lahan dan usaha pribadi, perkara ini juga menarik minat penyelenggara pemerintahan.
Pada masa kepemimpinan Mehmed IV, didirikanlah sebuah dewan inspeksi yang bertugas mengawasi dan melaporkan sumber harta para pejabat. Ia juga menjalankan hukuman bagi mereka yang kedapatan memperkaya diri dengan cara yang tidak sah. Pada abad ke-18, pemberian hadiah menjadi cara lain penambahan jumlah harta pejabat negara.
Pembenahan moral bukannya tak dilakukan. Mehmed II dan Sulayman sudah berupaya menanamkan integritas dan kejujuran kepada para pejabat di bawah kepemimpinan mereka.
Pada abad ke-16 dan 17, pengadilan khusus penanganan penyimpangan wewenang oleh pejabat negara atau mazalim juga dibentuk. Namun, tidak ada hukuman yang benar-benar berat bagi para penerima suap atau pelaku korupsi. Mereka diminta mengembalikan harta yang mereka terima secara ilegal itu.
Penerima, pemberi, dan mediator suap atau korupsi diganjar hukuman pencopotan dari jabatan atau penjara. Hukuman ini pun pelaku untuk wanita. Pejabat wanita yang melakukan korupsi atau menerima suap dihukum penjara maksimal satu tahun.
Pengasingan juga dilakukan sebagai bentuk hukuman lainnya. Mantan hakim militer Anatolia, Veliyuddin Efendi, yang terbukti melakukan korupsi diasingkan ke Mytilene. Pengasingan maksimal dilakukan selama enam tahun. Semua hukuman ini pada dasarnya diharapkan menimbulkan jera bagi para pelaku dan menjadi contoh bagi pejabat lainnya.
Pada abad ke-18, hukuman diperluas dengan hukuman mati dan denda. Pada ka sus tertentu, hukuman mati bisa diganti dengan sejumlah harta. Namun, modifikasi kejahatan juga dilakukan. Pejabat negara pada masa itu memang tidak melakukan ko rupsi dan menerima suap, tapi sebagian me reka memodifikasinya dengan aksi memeras.
Pada era modern, negara-negara Islam pun terus berjuang menghentikan laju pencurian uang publik dengan berbagai upaya. Di negeri mayoritas Muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Pakistan dibentuk badan khusus penanganan korupsi.
Dalam sebuah artikel yang dilansir Aljazirah, 10 Juni 2013, Sekretaris Jende ral Transparency International Josie Fernandez mengungkapkan alasan utama korupsi di Malaysia adalah besarnya biaya mempertahankan kekuasaan politik.
Berdasarkan data Transparency Interna tional Corruption Perception Index, tingkat korupsi di Malaysia berada pada urutan ke 54 dari 176 negara yang disurvei pada 2012.
Hasil ini menunjukkan perbaikan sebab tahun sebelumnya Malaysia berada pada urutan ke 60.
Fernandez mengungkapkan, posisi ini lebih baik dari negara lain di regional Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, dan Indonesia yang berturut-turut berada pada urutan 88, 105, dan 118. Nilai dana yang diambil secara ilegal di Malaysia antara 2001 hingga 2010 mencapai 285,2 miliar dolar AS atau rata-rata 28,5 miliar dolar AS per tahun.
Pada laman resmi Komisi Anti Korupsi Malaysia (MACC), hukuman penalti bagi pelaku korupsi adalah hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda minimal 10 ribu ringgit Malaysia atau lima kali dari jumlah uang yang dikorupsi.
Anti Corruption Bureau of Brunei Darussalam juga memberlakukan hukuman beragam bagi para pelaku korupsi. Para pelaku korupsi, penerima gratifikasi, suap, dan sejenisnya dapat dipenjara antar tujuh hingga 10 tahun dan denda 20 ribu hingga 30 ribu dolar AS.
Pada laman resminya, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membuat kesepakatan yang diratifikasi negara-negara anggota terkait penanganan korupsi. Kesepakatan ini dibuat dalam Sidang Umum PBB di New York pada 2003. Negara-negara Islam, seperti Afghanistan, Aljazair, Brunei Darussalam, Irak, Malaysia, Pakistan, dan Oman ikut dalam ratifikasi kesepakatan. rep:Fuji Pratiwi ed: nashih nashrullah