Pemuda jangan mudah terprovokasi.
Suasana politik selama kampanye calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres)lalu, membuat jarak yang nyata di antara elemen masyarakat.Kondisi ini ternyata tidak sepenuhnya mereda setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli.
Pemerintah, bahkan melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, serta-merta mengkhawatirkan kondisi ini bila tak segera diredam dengan baik, dapat merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.
Presiden berharap kedua kubu untuk saling menjaga stabilitas keaman an dan saling menahan diri untuk tidak ber euforia, hingga KPU mengeluarkan penghitungan akhir.
Harapan yang sama juga tentu tebersit di benak segenap bangsa Indonesia, tak terkecuali para aktivis dakwah. Ketua Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Salam Universitas Indonesia (UI) Faridz Abdillah berharap kepada generasi muda agar tetap menjaga suasana. Jangan konfrontatif dan tidak saling memprovokasi dengan klaim kemenangan.
Menurut dia, hasil pesta demokrasi 9 Juli harus disikapi dengan bijak, khususnya bagi generasi muda yang mendukung dua kubu capres dan cawapres. Mengambil sikap yang bijak ini, salah satunya adalah menghargai setiap tahapan pilpres yang telah dijalankan dan tidak larut dalam euforia kemenangan.
Terlebih bagi pemuda, cara ini sangat mudah dipergunakan untuk menggerakkan opini di masyarakat melalui penggunaan sosial media yang sangat efektif di masyarakat.
Karenanya, meredakan suasana kompetisi di antara setiap kubu ini sangat diperlukan, agar masyarakat Indonesia dapat kembali menjalani kehidupan berbangsa tanpa terusik dengan riak permusuhan. "Generasi muda sangat mudah digiring opini," katanya.
Untuk itu, ia mengimbau kepada generasi muda, para mahasiswa dan elemen pemuda sela yak nya bisa menjadi pemula untuk menenangkan situasi politik dan tidak cepat larut dalam permainan opini para elite politik yang cenderung bersengketa politik dari hasil pilpres.
Melihat hasil hitung cepat yang diklaim kedua kubu, menurut Faridz, kemungkinan kemenangan mutlak susah diprediksi. Inilah, menurut dia, yang harus disikapi dengan bijak oleh generasi muda untuk tidak mudah saling mengumbar kemenangan. Selain menjaga semangat kemenangan agar tidak saling memprovokasi, Faridz juga menilai setiap kubu harus bisa menerima keputusan akhir yang kelak akan dikeluarkan resmi KPU.
Namun demikian, bagi dia, Pilpres 9 Juli tetap harus menjadi bagian dari pendidikan politik bagi generasi muda. Dari sinilah, menurut dia, generasi muda dapat mengkritisi setiap calon pemimpin yang membawa nasib bangsa Indonesia. Terutama menagih janji mereka selama berkampanye. Sehingga, masyarakat tetap tidak ditinggalkan seusai sukses meraih kekuasaan. "Pengawalan itu yang paling penting," ujarnya.
Keinginan yang sama juga disampaikan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Saifudin Al Ayubi.Meski ia mengakui, semasa kampanye pilpres, suara aktivis kampus terbelah. Tetapi, bersikap kritis terhadap siapa pun presiden kelak, adalah kewajiban tanpa batas. "Kritis terhadap kebijakan yang tidak prorakyat adalah harga mati," ujarnya.
Namun, menurut dia, untuk saat ini ketika dua kubu saling mengklaim kemenangan, ada baiknya setiap elemen mahasiswa dan pemuda tak terseret dalam arus provokasi atau mengumbar kemenangan di setiap kubu.
Langkah ini dinilai bijak, untuk menjaga situasi politik antarsesama pendukung pasang an capres, yang selama sebulan ter akhir sangat menguras emosi masyarakat.
Ia juga sepakat, bagi pemuda yang selama ini berada di dua kubu, untuk tidak gampang memainkan isu liar di media sosial dan dunia maya. Tindakan tersebut berpotensi memicu ketegangan politik.
Di sisi lain, ia mengingatkan agar kubu yang dinyatakan kalah berdasarkan keputusan KPU, tetap berlapang dada. Sedangkan pihak yang menang seyogianya bisa merangkul kembali setiap elemen masyarakat.
"Bagi kami sebenarnya itu juga mesti dimulai dari para elite," terangnya.
Ia menilai, kedewasaan generasi muda menyikapi hasil pilpres sangat penting. Sikap tersebut menjadi pembelajaran dalam perpolitikan Indonesia ke depan. Tidak dimungkiri, di tangan pemudalah estafet kepemimpin nasional ke depan akan berlabuh. Jadi, sikap bijak dan saling menghormati bagi mahasiswa dan generasi muda ini, jauh lebih penting demi nasib bangsa yang lebih baik. "Setidaknya 10 atau 20 tahun lagi masa itu akan tiba,"katanya. rep:amri amrullah ed: nashih nashrullah