Lambang bulan bintang di atas kubah menjadi pertanda bangunan tersebut bukan menara pagoda.
Ada banyak Masjid Cheng Ho berdiri di Indonesia, sebagian besar tersebar di Pulau Jawa.Namun, hanya satu yang berdiri megah di Pulau Sumatra: Masjid Al-Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya.Masjid ini tepatnya berdiri di Sumatra Selatan (Sumsel), di kota Palembang.
Masjid Muhammad Cheng Ho Sriwijaya oleh masyarakat akrab disebut Masjid Cheng Ho, berdiri di tengah pemukiman warga di kompleks perumahan kawasan Jakabaring. Hanya sekitar 500 meter dari kompleks olahraga terlengkap di Indonesia, Jakabaring Sport City (JSC). Masjid yang dominan dengan warna merah terakota, berdiri agung dikelilingi rumah-rumah warga yang kebanyakan berwarna putih.
Masjid Cheng Ho menurut H Ahmad Affandi ketua Dewan Pimpinan Wilayah Pem bina Iman Tauhid Islam (PITI) Sumsel berdiri di atas lahan sekitar 5.000 meter persegi. "Persisnya tidak sampai 5.000 meter berada di dalam Kompleks Perumahan Top," katanya.
Luas bangunan utama Masjid Cheng Ho yang memiliki dua menara tersebut adalah 25 x 25 meter persegi, berlantai dua. Masjid ini mampu menampung jamaah sampai 1.500 orang.
Saat melangkah memasuki halaman masjid, dari jauh sudah terlihat menara masjid yang berbentuk pagoda dengan atap bersusun lima menjulang ke atas. Pada puncaknya ada kubah berbentuk lonjong, di atas kubah terpasang lambang bulan bintang. Ini menjadi pertanda bangunan tersebut masjid bukan menara pagoda seperti lazimnya tempat peribadatan masyarakat Konghucu.
"Tinggi dua menara tersebut 17 meter menjadi perlambang dari jumlah rakaat dalam shalat wajib lima waktu," kata Affandi.
Memakai atap limas Ada tiga pintu gerbang untuk memasuki halaman masjid, pintu gerbang utama berada di sebelah timur, dua gerbang lainnya ada di sebelah barat dan utara. Bagi jamaah yang datang berjalan kaki lebih memilih masuk dari gerbang sebelah barat dan bagi yang membawa kendaraan masuk masjid dari gerbang sebelah utara. Padahal, gerbang utama di sebelah timur.
Memasuki gerbang masjid dari sebelah barat, jamaah akan melewati gapura dengan desain arsitektur perpaduan antara gaya Tiongkok dan Palembang. Gerbang dicat dengan warna merah terakota, kuning emas, dan hijau. Alhasil, selintas kita meli hat gerbang atau gapura tersebut seperti ga pura sebuah pagoda. Atap gapura tersebut perpaduan bentuk atap rumah adat Palembang yang berbentuk limas dengan warna atap kuning emas.
Memandang ke atas atap masjid akan terlihat kubah utama berwarna hijau, seperti kubah masjid layaknya yang ada di Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Di bagian atap pada empat sudutnya ada atap rumah berbentuk limas berwarna hijau yang merupakan salah satu bentuk rumah adat di Palembang.
Dua menara yang mengapit bangun utama- tidak menempel dengan bangunan utama- desainnya mengambil bentuk pagoda yang menjadi ciri rumah peribadatan di Tiongkok.
Dua menara ini yang berada di sebelah utara dan selatan, di lantai dasarnya dimanfaatkan untuk tempat berwudhu. Tempat berwudhu bagi jamaah pria dan wanita terpisah.
Saat menjejakkan kaki untuk masuk ke dalam masjid, ada tiga pintu masuk yang berada di sebelah utara, selatan, dan timur.
Layaknya pintu masjid, bagian atasnya dibuat melengkung. Jika masuk melalui pintu utama yang berada di bagian timur, bagian atas pintu tidak melengkuk, berbentuk datar.
Di bagian ini terpantul nuansa Tiongkok, nuansa ini dipertegas dengan daun pintu yang dicat hijau dengan motif kotak-kotak seperti ventilasi angin. Pintu ini mengingatkan pada pintu di ruang-ruang istana pada kerajaan Tiongkok kuno.
Selain itu, jendela yang lebar dengan ventilasi udaranya yang juga lebar membuat sirkulasi udara begitu bebas masuk dan keluar ke ruang shalat. Banyak jamaah mengaku sejuk berada di dalam masjid tersebut walau tidak dilengkapi AC, melainkan hanya kipas angin.
Jendela dan ventilasi udara yang lebar juga membuat masjid ini hemat energi karena tidak membutuhkan cahaya listrik pada siang hari.
Garis lengkung dan lurus Berada di dalam ruang masjid warna merah terakota tetap terlihat pada delapan tiang utama dari masjid berlantai dua tersebut.Sementara, dinding masjid berwarna krim.
Jika kita menengadah ke atas melihat langit- langit masjid, seluruhnya berwarana putih termasuk lengkungan kubah juga berwarna putih.
Di bagian dinding yang menempel ke lantai dua tertulis kaligrafi yang dibuat mengelilingi ruang dalam masjid. Kaligrafi membuat suasana beribadah semakin khusyuk. Walau Masjid Cheng Ho Sriwijaya berada di tengah Kompleks Perumahaan Top, saat shalat berlangsung tidak terdengar suara berisik dari luar masjid atau suara kendaraan bermotor yang melintas di sebelah masjid.
Masjid Cheng Ho Sriwijaya yang peletakan batu pertama pembangunannya dimulai 2005 dan baru pada Agustus 2008 digunakan untuk shalat Jumat pertama, selain bagian utama yang bisa menampung jamaah pria dan wanita, pada bagian lantai dua dan teras masjid di sebelah utara dan selatan juga dapat digunakan untuk shalat.
Masjid Muhammad Cheng Ho Sriwijaya yang didesain arsitek Husni Thamrin, dari luar terlihat dominan dengan garis lengkung atau setengah lingkaran. Namun, interiornya justru menegaskan tarikan garis-garis simteris yang lurus. Pada bagian mihrab yang kerap didominasi garis lengkung, di masjid ini justru berbentuk simetris.
Untuk mimbar yang berada di bagian mih rab terbuat dari kayu ukiran, menurut Ah mad Affandi, desain dan pembuatannya dipesan dari Pulau Jawa dengan pilihan kayu yang terbaik. Ukiran pada mimbar ini mencerminkan sentuhan Indonesia karena memang tidak ada bentuk khas dari daerah tertentu.
Ahmad Affandi mengungkapkan, Masjid Muhammad Cheng Ho Sriwijaya berbeda dengan Masjid Cheng Ho lainnya di Indonesia.
Jika di Masjid Cheng Ho Surabaya nyaris tidak ditemukan desain atau sentuhan lokal maka berbeda dengan Masjid Cheng Ho yang berdiri di ibu kota Provinsi Sumsel.
"Masjid Cheng Ho Sriwijaya kami desain dengan perpaduan akulturasi Tiongkok, Timur Tengah atau Arab dan tentunya desain lokal Palembang. Ini yang membuat masjid ini kaya dengan sentuhan keindahan yang tentu bernuansa Islami," kata ketua PITI Sumsel.
Di kompleks Masjid Cheng Ho Sriwijaya juga berdiri sebuah rumah tahfiz dan taman pendidikan Alquran. Di rumah tahfiz terse but menjadi tempat tinggal imam masjid.
BERDIRI DIILHAMI MASJID CHENG HO SURABAYA
Bermula saat mengikuti Musyawarah Kerja Nasional Pembina Iman Tauhid Islam (Mukernas) PITI di Surabaya pa da 2004, delegasi Sumatra Se latan (Sumsel) yang datang ke Surabaya berkesempatan mengunjungi Masjid Cheng Ho yang terletak di Jalan Gading.
Mengenang peristiwa 10 tahun lalu, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PITI Sumsel H Ahmad Affandi menceritakan, "Pulang dari Surabaya, tertanamkan keinginan dari anggota PITI Sumsel juga untuk membangun masjid Cheng Ho. Kemudian para pengurus sepakat untuk membangunnya di Palembang."
Menurut Affandi, waktu berkunjung ke Mas jid Cheng Ho Surabaya, mereka melihat bangun masjid itu kecil, kurang besar. "Lalu ka mi bertekad untuk membangun Masjid Cheng Ho dengan bentuk yang lebih besar dan luar," ujarnya.
Dari pertemuan anggota PITI Sumsel lalu terkumpul dana awal Rp175 juta. Kerja selanjutnya adalah mencari lokasi untuk berdirinya masjid tersebut. Saat melakukan audiensi pengurus PITI dengan Gubernur Sumsel saat itu Syahrial Oesman, ditawarkan tanah yang berada di Kompleks Perumahan Top di Jakabaring yang saat itu sedang dibangun oleh developer Amen Mulia.
Pada 2005, dilakukan peletakan batu per tama yang waktu itu dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dengan mendapat bantuan dari berbagai donatur termasuk pemerintah, akhir nya bangunan Masjid Muhammad Cheng Ho pun berdiri, pada 22 Agustus 2008, dilakukan shalat Jumat berjamaah pertama.
Kini, masjid yang dikelola Yayasan Masjid Cheng Ho Sriwijaya PITI Sumsel tersebut sema rak dengan berbagai kegiatan syiar Islam. Juga di masjid ini sudah banyak para mualaf yang mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai pertanda telah beralih iman menjadi seorang Muslim atau Muslimah.
Menurut Ahmad Affandi, setelah masjid berdiri megah, kegiatan memakmurkan masjid tidak pernah berhenti. Demikian pula dengan pembangunannya.
"Di kompleks masjid PITI berencana akan membangun rumah tahfiz yang lebih besar dan rumah imam. Rumah tahfiz nantinya akan menjadi tempat tinggal para calon hafiz yang akan dididik sehingga mereka menjadi hafiz.
Mereka tinggal di rumah tersebut termasuk biaya dan keperluannya sehari-hari akan ditanggung dan dibiayai PITI," katanya.
PENULIS :Maspril Aries
FOTOGRAFER :Maspril Aries
EDITOR :Nina Chairani