Ahad 21 Sep 2014 17:54 WIB

Aktivasi Lahan Mati untuk Kelestarian Alam

Red: operator

Organisasi Kerja Sama Islam sepakat melindungi alam.

Imam ar-Raghib al- Ashafani, seperti dinukilkan dari kitab ad-Dzari'ah ila Makarim as-Syari'ah, menyatakan bahwa menurut konsep Is lam, tugas manusia di muka bumi bukan sekadar beribadah ke pada Tuhan atau meng aktualisasikan diri sebagai pemimpin, melainkan juga menjalankan tugas 'imarah al-ardl untuk mengurus bumi dan segenap sumber daya alam dengan sebaik-baiknya.Bentuk dari pengelolaan itu, antara lain, aktivasi lahan yang mati untuk pertanian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:OldApp

Tambang batu bara Adaro di Kalimantan Selatan.

Dalam jurnal The Abbasid Dynasty: The Golden Age of Islamic Civilzation, disebutkan bahwa pengelolaan alam pada masa Dinasti Abbasiyah, antara lain, optimalisasi pertanian. Pada masa Harun al-Rasyid, melalui lembaga riset dan ilmu pengetahuan, Bait al-Hikmah, pemerintah mencari inovasi-inovasi di bidang pertanian. Peningkatan metode irigasi membuat banyak lahan yang dibudidayakan menjadi lahan pertanian.

Teknik penanaman dan pertanian saat itu diadopsi dari negeri tetangga, seperti India, Cina, Afrika, dan lain-lain.

Beras, kapas, dan produksi gula diambil dari India. Penanaman buah-buahan, seperti jeruk dari Cina. Sedangkan, gandum dari Afrika. Inovasi umat Islam tentang pertanian dan perkebunan terus dilakukan. Inovasi-inovasi di bidang pertanian saat itu dikenal dengan Arab Agricultural Revolution. Para pedagang banyak mendistribusikan hasil panennya ke sejumlah negara tetangga.

Pertanianlah yang berkontribusi besar dalam bidang perekonomian, munculnya tenaga kerja, dan banyak aspek lainnya dalam dunia Islam. Selama revolusi pertanian yang dilakukan Muslim, bahan- bahan seperti gula menjadi industri berskala besar. Perkebunan tebu diperluas untuk mendukung pembangunan pabrik gula. Muslim memperkenalkan tanam kas dan sistem rotasi tanaman.

Pada abad modern, kebijakan menghidup kan lahan mati itu masih dipertahankan oleh Dinasti Ottoman. Onur Inal dalam makalahnya "Environmental Historyasan Emerging Field in Ottoman Studies: An Historiographical Overview"

menjelaskan, para ahli telah meneliti berbagai aspek sejarah lingkungan Kekaisaran Ottoman dari sudut yang berbeda.

Perubahan iklim me rupa kan tema yang di abai kan pada masa lalu oleh Ottoman.

Sejarah Ottoman belum meneliti tentang sejarah klomatologis karena jarangnya informasi mengenai suhu, curah hujan, salju, tekanan atmosfer, serta kecepatan dan arah angin pada masa lalu. Hanya sedikit yang bisa digali dari kondisi iklim saat itu.

Pada pertengahan abad ke- 16 dan ke-17, terjadi penurunan suhu ditandai dengan suhu yang lebih dingin saat musim dingin dan musim panas yang basah. Hal tersebut menyebabkan krisis politik, ekonomi, dan sosial akibal gagal panen dan curah hujan yang tinggi.

Meski demikian, pertanian muncul pada awal Kekaisaran Ottoman modern ketika orang-orang Kolumbia datang.

Adanya hasil panen dari warga Kolumbia membawa penduduk pada saat itu untuk berpindah ke daerah pegunungan.

Abad ke-19 menjadi sangat penting bagi Kekaisaran Ottoman, dunia ekonomi memperkenalkan investasi modal dan teknologi baru di bidang pertanian serta perbaikan berbagai macam infrastruktur.

Pertanian adalah kegiatan dasar dari sebagian besar penduduk di Kekaisaran Ottoman. Program-program Pemerintah Ottoman meningkatkan dan memperluas pertanian di Anatolia.Dunia Islam kini semakin bersentuhan langsung dengan isu global lingkungan.

Organisasi Kerja Sama Islam yang ber anggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas Islam, bersepakat dalam dokumen organisasi mereka untuk melestarikan dan mempromosikan semua aspek yang berkaitan dengan lingkungan. rep:c70, ed: nashih nashrullah

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement