Ahad 21 Sep 2014 18:50 WIB

Mudharat di Balik Nikah Beda Agama

Red: operator

Mahkamah Konstitusi diminta bijak menyikapi gugatan.

Upaya gugatan sejumlah pihak terhadap Undang-Undang (UU) Perkawinan No 1/1974 Pasal 2 Ayat 1 ke Mahkamah Konstitusi memicu reaksi keras dari para aktivis muda Muslim.

Wakil Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nahdlatul Ulama Bi dang Keislaman dan Pesantren Ab dul Ghofur Maimoen menilai, upaya itu hanya akan merusak ta tanan dan keharmonisan di tengah masyarakat. Menurut dia, UU Perkawinan yang ada saat ini sudah cukup mengatur pernikahan yang ada di masyarakat."Judicial review itu tidak perlu dilakukan," ujarnya kepada Republika, Kamis (18/9).

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Fanny Octavianus/Antara

UU Perkawinan yang ada saat ini sudah menampung semua aspirasi berbagai elemen masyarakat, ti dak hanya kelompok Islam, tapi juga agama lain. Terkait upaya melegal kan pernikahan beda agama, ia meru juk pada ilmu fikih. Islam melarang Muslimah menikahi non- Muslim.

Ini yang berlaku dalam Islam.Dan, menurut dia, bagi agama lain pun tidak menginginkan bila menikahkan pasangan mereka dengan mereka yang berbeda agama."Jadi, saya rasa semua agama tidak sepakat bila pernikahan beda agama dilegalkan," ujarnya.

Ia menganggap mereka yang berargumentasi dengan HAM terla lu mengada-ada. HAM tidak bisa dikaitkan dengan pernikahan di Indonesia. Setiap umat agama berhak menikahkan dengan pasang an seagama. Jadi, tidak semua hal dan aturan ditabrak atas nama HAM.

Apalagi, HAM yang dielu- elukan itu bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat.Dengan dalih HAM, orang bisa saja seenaknya berbuat apa pun, termasuk kumpul kebo, misalnya."Tetapi, praktik ini jelas bisa me ru sak tatanan dan ketertiban,"ujar nya. Maka, fungsi aturan yang disarikan dari agama dan norma masyarakat tersebut untuk mengatur, bukan mengekang.

Selain itu, kata dia, negara tidak bisa menilai pernikahan itu sah atau tidak berdasarkan aturan negara.Untuk menilai sah atau tidaknya pernikahan, yang bisa menilai hanya aturan agama, inilah sebabnya per nikahan tetap menggunakan tata cara dan aturan aga ma yang ber laku. Bukan se enaknya menikah berdasarkan suka sama suka atau HAM, kemudian minta pernikahan beda agama dilegalkan.

Ia pun berharap agar MK selaku pihak yang memutuskan uji materi UU ini bersikap bijak dan proporsional. Ia khawatir bila MK mengesahkan aturan yang mem bolehkan pernikahan beda agama maka akan ada pertentangan yang kuat di tengah masyarakat.

Kekhawatirannya adalah hilangnya norma agama dan ketertiban di masyarakat. Di balik pernikahan beda agama, rawan perceraian, penipuan, dan tindak pidana.

Terlebih, terang dia, pernikahan beda agama ini bisa dijadikan alat untuk memaksakan kelompok masya ra kat tertentu berpindah agama. Maka, ia khawatir lega li sasi pernikahan beda agama ini akan menimbulkan banyak kemu dharatan di masyarakat. "Karena itu, kita mohon kepada MK untuk tidak menyetujui judicial review ini," ujarnya.

Ketua Umum PP Pemuda Mu hammadiyah Saleh Partaonan Daulay beranggapan, syarat perni kah an dalam UU Perkawinan No mor 1/1974 sudah tepat. Aturan yang ada di dalam undang-un dang itu diambil dari norma dan kearifan yang ada di dalam agama.

Pernikahan beda agama ini bisa memunculkan masalah lain bila ini benar akan dilegalkan.Ia mencon tohkan, dalam Islam, pernikahan berlainan agama akan menimbulkan persoalan menyang kut hak asuh anak, termasuk soal keyakinan siapakah yang hendak dianut kelak, bapak atau ibunya? Banyak konsekuensi hukum lain sebagai dampak nikah beda agama, tak terkecuali waris.

Dalam aturan Islam, sangat tegas bahwa keyakinan yang berbeda menjadi penghalang waris. Juga soal hukum perwalian. Ayah yang berbeda agama tidak sah menjadi wali bagi putrinya. "Sungguh mu dha ratnya sangat banyak bila ini dilegalkan," ungkapnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Regina Safri/Antara

FATWA HARAM NIKAH BEDA AGAMA

Pernikahan beda agama menuai pro-kontra di kalangan ulama. Dua kutub organisasi massa Islam melalui lembaga fatwa mereka memutuskan larangan pernikahan ini.

Muktamar NU 1962 dan Muktamar Thariqah Mu'tabarah 1968 menegaskan pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda tidak sah. Ini merujuk pendapat mayoritas ulama. Menukil kitab al-Muhaddzab, maksud ahli kitab dalam surah al- Baqarah tidak berlaku. Saat ini, baik Yahudi maupun Nasrani, menurut kitab yang menjadi rujukan ulama NU ini sudah mengalami perubahan. Muslim dilarang menikah perempuan Yahudi dan Nasrani karena mereka telah masuk dalam agama yang batil.

Dalam kitab Asy-Syarqawi, Matan wa Syarah disebutkan ahlul kitab di sini adalah Taurat dan Injil.Bukan kitab-kitab lain yang sebelumnya, seperti kitab Nabi Syist, Idris, dan Ibrahim AS. Namun, pernikahan dengan ahlul kitab ini sah jika nenek moyang wanita- wanita ahlul kitab tersebut sudah memeluk agama samawi sebelum adanya perubahan dalam kitab- kitab mereka.

Menurut Imam Syafi'i dalam Muhtashar al-Muzani, jika wanita ahlul kitab ini berubah agama dari Yahudi ke agama Nasrani, tidak sah hukumnya dinikahi.

Karena, ia sudah meragukan ajaran ahli kitab agama sebelumnya. Imam Syafi'i juga menegaskan syarat ahli kitab adalah pokok-pokok agama tidak bercampur dengan keyakinan syirik keyakinan lain.

Kesimpulan yang sama dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah. Pada Mukta mar Tarjih ke- 22 tahun 1989, Lembaga Fatwa Muhammadiyah ini menyimpulkan para ulama sepakat seorang wanita Muslimah haram menikah dengan lelaki non-Muslim.

Ulama juga sepakat lelaki Muslim haram menikah dengan wanita musyrik. Ini merujuk sejumlah dalil, antara lain, surah al-Baqarah ayat 221.

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah- Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."

Majelis Tarjih menjelaskan yang diperselisih kan para ulama adalah bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita ahli kitab, seperti Yahudi dan Nasrani?Ada ulama yang memperbolehkan, namun ada yang melarangnya. Majelis Tarjih sendiri berpendapat tidak boleh menikah dengan ahli kitab saat ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Yasin Habibi/Republika

Muhammadiyah berpendapat ahli kitab yang ada saat ini tidak sama dengan ahli kitab pada zaman Nabi SAW. Semua ahli kitab saat ini jelas-jelas menyekutukan Allah dengan mengatakan jika Uzair itu putra Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).

Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan. Di luar itu, pernikahan pemeluk antaragama dilarang sebagai upaya syadz- adz-dzari'ah (men cegah kerusakan).

Yakni, menjaga keimanan calon suami atau istri dan anak-anak yang akan dilahirkan. Di samping itu, tidak ada kedaruratan, semisal, jumlah wanita Muslimah jauh menyusut. Faktanya, jumlah Muslimah tidak berkurang, bahkan bisa jadi melebihi jumlah pria Muslim.  rep:Amri Amrullah ed: nashih nashrullah

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement