Aktivis kepemudaan Islam diimbau arif dalam bermusyawarah.
Rabu (1/10) hingga Kamis (2/10) dini hari, publik kembali dipertontonkan atraksi politik yang ti dak mendidik dari para anggota DPR RI yang baru dilantik.
Kericuhan pada Sidang Paripurna DPR RI pertama tersebut kembali me norehkan citra buruk wakil rakyat di mata masyarakat yang telah mem berikan amanatnya kepada mereka saat pemilu legislatif pada April 2014. Kericuhan itu dinilai bukan upaya wakil rakyat memperjuangkan nasib ratusan juta penduduk Indonesia.
Melainkan, atraksi politik demi kepentingan fraksi dan partai mereka di parlemen. Hal itu disampaikan Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Aminuddin Ma'ruf usai menyelenggarakan rapat kerja nasional, Kamis (2/10).
Foto-foto:Wihdan Hidayat/Republika
Ia mengatakan, insiden ricuh para Rabu lalu memang membuka ingatan masyarakat bagaimana ricuh DPR yang pernah dilakukan pada periode sebelumnya saat paripurna terkait kenaikan BBM pada 2012.
Preseden ini, kata dia, ternyata kembali terulang pada periode baru anggota DPR 2014-2019, bahkan selang beberapa jam setelah mereka dilantik.
Dan, parahnya, kericuhan ini bukan semata benar-benar memperjuangkan kehidupan rakyat, melainkan hanya urusan menentukan pimpinan DPR.
Kericuhan yang disiarkan lang sung stasiun televisi tersebut, ungkap dia, menjadi tontonan politik yang tidak mendidik bagi masyarakat.
Seolah ini menggambarkan hilangnya contoh musyawarah mufakat yang mestinya tersimbolkan lewat anggota dewan. "Ini sungguh mema lukan," ujarnya kepada Republika.
Ia pribadi mengungkap kan tidak ada pembelajaran politik yang baik yang bisa diambil dari setiap ke ricuhan yang dilakukan anggota de wan dan menurutnya itu hanya da gelan politik untuk kepentingan ke lompok.
Kericuhan di sidang anggota de wan itu, menu rut dia, juga menun jukkan bahwa belum ada perbaikan kualitas moral anggota DPR RI dari periode sebelumnya.
Bahkan, bisa jadi kualitas moral anggota DPR periode ini sama saja dengan periode sebelumnya. Aminuddin mengakui memang parlemen tidak terlepas dari permain an dan intrik politik para senator, tapi itu demi kontrol kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Sedangkan, ricuh parlemen karena hanya urusan menentukan pimpinan DPR, menurut dia, itu memalukan dan bukan sesuai yang diharapkan bagi rakyat. Ia menuding dengan keras bahwa sikap kekanak-kanakan itu adalah bukti bahwa janji politik anggota DPR pada saat kampanye, hanya berakhir pada perjuangan atas nama partai.
Di sisi lain, ia juga melihat saat ini nuansa politik setelah pemilihan presiden cenderung tidak mereda dan justru terus memanas. Kepentingan politik dua kubu koalisi partai sema kin meruncing dalam setiap keputusan politik di parlemen.
Ini terlihat sejak pandangan dua kubu pada Undang-Undang Pil kada kemarin yang membuat masya rakat juga terpecah. Karena itu, ia mengusulkan perlu adanya rekon siliasi untuk memecah kebuntuan politik yang dalam beberapa bulan terakhir terus memanas.
Aminuddin khawatir kebuntuan politik hingga kericuhan di DPR ke marin akan berdampak tidak baik bukan hanya pada perpolitikan na sional, melainkan juga bagi pen didikan politik generasi muda yang sudah jarang mengenal istilah musya warah mufakat. Sehingga, kata dia, wajar bila ricuh seperti ini dicontoh masyarakat dan generasi muda atas nama kelompok dan kepentingan.
Ketua Umum Kesatuan Aksi Maha siswa Muslim Indonesia (KAMMI) Andriyana memandang ada dua hal yang bisa dilihat dari kericuhan parlemen di sidang perdana paripurna pekan lalu.
Pertama bahwa etika politik anggota DPR ternyata tidak lebih baik meski mereka dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Kedua, kericuhan yang mereka perlihatkan, menurut dia, merupakan contoh buruk bagi pendidikan berdemokrasi di negara ini. Sama seperti Aminuddin, ia khawatir apa yang mereka lakukan menjadi legitimasi kekerasan di masyarakat terkait apa pun.
Dan, apabila ini membekas bagi generasi muda, tentunya ini akan ti dak baik bagi perkembangan ni lai-nilai bernegara dalam hal ini, menge depankan musyawarah mufakat.
Andriyana mencontohkan secara tidak langsung hilangnya ni lai musyawarah mufakat tersebut sudah terjadi di masyarakat kini.
Masyarakat di akar rumput, kata dia, bukan hanya mudah terpancing emosinya dan gemar melakukan ke ke rasan, melainkan juga mudah ter provokasi demi kepentingan ke lompok. Sehingga, masalah dan kon flik horizontal itu tidak bisa diselesaikan melalui musyawarah, dialog, dan mufakat.
Ia mengungkapkan, ini terjadi di masyarakat ketika organisasi masya rakat atau kepemudaan menye leng garakan kongres. Organisasi yang me lang sungkan kongres, kecen derungan, dan potensi ricuh selalu lebih besar. "Ini hampir terjadi di beberapa kelompok masyarakat, bahkan di organisasi mahasiswa," ujarnya.
Sehingga, wajar bila ketidak dewasaan anggota DPR di parlemen, menurut dia, seharusnya segera di koreksi. Karena, secara tidak langsung, hal itu memberikan pendidikan poli tik dan bermusyawarah yang tidak baik bagi masyarakat.
Hormati Lawan Bicara
Kegaduhan dalam sidang para anggota dewan itu semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak mengacu pada etika berdialog. Islam sebagai agama yang luhur memiliki kaidah apik bagaimana mengomunikasikan pendapat kepada la wan yang berbeda, di antaranya, seperti yang tertuang dalam artikel yang berjudul "Min Adab al-Khilaf wa at-Ta'amul Ma'a al-Mukhalif" karya Prof Hani bin Abdullah al-Jabir.
Hal pertama yang ia garis bawahi ialah bersikap proporsional. Perbedaan tidak akan berujung konflik bila selama tidak disertai dengan sentimen dan kebencian.
Ia mengutip komentar Ibnu Taimiyah atas perintah berbuat adil dan proporsional terhadap lawan yang tertuang di surah al- Maidah ayat 8. Sekalipun, musuh yang bersangkutan adalah orang kafir.
Menurut tokoh yang hidup pada abad ke-8 Hijriyah itu jika terhadap kafir sikap proporsional sangat ditekankan, tentunya seruan serupa juga lebih utama bagi sesama Muslim yang berbeda pendapat.
Hani mengatakan, etika menghadapi kenya taan berbeda berikutnya ialah mem pertimbangkan dan menjaga maslahat serta menghindari kerusakan. Kaidah yang berlaku di syariat ialah menghilangkan segala bentuk kekisruhan, baik di tingkat internal ataupun eksternal masyarakat.
Dalam pandangan Ibnu Qayim al-Jau ziyah, penyelesaian atas kemungkaran memang dianjurkan dengan kebaikan agar berakhir positif. Namun, jika solusi atas tindakan mungkar itu justru memancing kerusakan yang jauh lebih besar, lebih baik menahan diri.
Hani juga mengungkapkan adab menyikapi perbedaan lainnya, yaitu memahami bahasa dan inti pembicaraan yang dimaksud.
Pendapat apa pun yang disampaikan oleh lawan maka tak sepatutnya ditelan mentah-mentah. Penting memahami apa hakikat pandangan yang ia sampaikan.
Hal ini, kata Imam as-Subuki, perlu diperhatikan dengan baik dalam menelaah tiap pendapat seseorang. Ia melihat tak sedikit orang yang menukil pendapat tokoh, sementara ia menafsirkannya berbeda.
Padahal, tafsiran tersebut bukanlah inti dari pembicaraan sang tokoh. Sikap ber hati-hati membaca pemikiran kubu lain itu dicontohkan dengan baik oleh Ibnu Taimiyah saat menyikapi pernyataan Imam al-Junaid terkait konsep tauhid.
rep:amri amrullah, ed: Nashih Nashrullah