REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--
Kepemimpinan dalam Shalat Berjamaah
Secara tidak langsung, shalat berjamaah memperlihatkan bentuk dan esensi-esensi nilai sebuah kepemimpinan yang baik. Ada dua unsur utama dalam shalat berjamaah, imam dan makmum. Bila diibaratkan sebagai sebuah bangsa, imam adalah pemimpin sebuah bangsa dan makmum adalah rakyat yang dipimpinnya.
Dalam shalat berjamaah, baik imam maupun makmum memiliki tujuan yang sama, mirip dengan visi misi dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Eksistensi dan kemajuan suatu bangsa ditentukan dengan sejauh mana mereka mampu mencapai visi misi tersebut secara kolektif kolegial.
Siapa pun pemimpinannya, asal konsisten melaksanakan visi misi tersebut. Akibat inkonsistensi pemimpin, tak menuntup kemungkinan rakyat akan meninggalkannya. Sama halnya ketika shalat. Ada skema memisahkan diri dari jamaah, bila kriteria imam tak lagi terpenuhi.
Konsep egaliter dan saling menasehati juga begitu elegan dicontohkan dalam ritual shalat. Makmum diperkenankan meluruskan bacaan atau gerakan shalat imam yang salah dengan cara yang elegan. Mestinya, skema ini terefleksikan dengan baik dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pemimpin yang khilaf bukan dihujat atau ditinggalkan. Pemimpin tak ubahnya manusia biasa. Saran dan masukan konstruktif sangat dibutuhkan demi masa depan yang lebih baik.
Dari aspek makmum, ada pula nilai bermasyarakat yang bisa diambil. Perbedaan fisik antara makmum, entah pendek, tinggi, besar, kecil, tetap saja bisa mewujudkan bentuk barisan yang lurus dan setara. Tidak berdesak-desakkan, tidak ada pemaksaan dan tidak ada penindasan.
Semua membentuk saf yang indah secara alami dan sukarela. Hal ini dapat dihubungkan dengan karakter rakyat sebuah negara yang terdiri dari beragam suku, etnis, dan budaya. Hidup rukun antarsesama etnis tanpa ada saling mencela, menjatuhkan, dan bermusuhan. Bangsa tersebut akan terasa sangat indah dan nyaman untuk menjalani kehidupan sosial yang menyenangkan.
Masih banyak pesan-pesan implisit yang disampaikan Allah SWT melalui shalat berjamaah. Terkadang, kita sering lupa dan alfa menangkap pesan dari hal yang sederhana sekali pun. Semoga, kita termasuk hamba-Nya yang mampu membaca pesan dan mengambil hikmah dari segala apa pun yang ada di muka bumi.
Muhammad Ruziqo Nugrahadi
Mahasiwa Institut Pertanian Bogor (IPB)
dan peserta Rumah Kepemimpinan PPSDMS Bogor
Muhasabah Diri
Apa yang sedang menimpa Muslim saat ini jauh dari apa yang dicita-citakan. Banyak sekali peristiwa, baik di tingkat lokal maupun internasional yang bergesar dari cita-cita Islam yang luhur. Konflik yang ingin mencederai Islam silih berganti datang, baik dari internal atau eksternal dunia Islam.
Belum lagi. konflik berdarah sesama Muslim di Timur Tengah yang menjadi sorotan dunia. Ada agenda besar untuk merongrong dunia Islam.
Risalah yang menekankan konsep Rahmatan lil alamin ini harus dirusak oleh oknum yang tak bertanggung jawab.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, kita bangsa Indonesia, apa yang bisa kita lakukan? Apakah akan membiarkannya? Solusi sederhana dan konkret saat ini tentu haruslah dimulai dari yang terdekat, yakni meningkatkan kualitas intelektual dan memperdalam agama.
Mulai dari sendiri, lantas mengajak handai tolan, keluarga, dan kerabat. Insya Allah, akan menciptakan msayarakat madani bila hakikat Islam tersiar secara meluas.
Apa hakikat Islam itu sendiri? Ya, menciptakan kedamaian. Menciptakan kedamaian di antara keluarga kita, bagaimana membuat keluarga kita tentram, ukhuwah kita dengan tetanggga, para kerabat yang tinggal di sekitar kita juga. Kita tidak perlu sibuk-sibuk memikirkan apa itu ISIS? Atau, bagaimana dengan konflik di Yaman?
Daripada kita memikirkan hal yang tidak ada habisnya ini, lebih baik kita mengambil langkah tengah dan menjadi orang bijak. Orang bijak, yaitu orang yang mengambil tindakan dengan mengabdikan diri untuk agama dan negara dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas diri.
Jika sudah sibuk memikirkan hal-hal yang sangat ekstrem, barangkali tidak ada gunanya karena apabila ada orang yang bertanya kepada kita tentang Islam dan kita tidak tahu? Sungguh, sangat hina kita tidak bisa menjawabnya. Lebih baik, kita masuk ke perpustakaan dan membaca tentang ilmu agama, sejarah, dan kebudayaan Islam serta memperluas wawasan kita mengenai Islam.
Maka dari itu, marilah kita bersama-sama mengintropeksi diri kita sendiri. Apakah kita sudah bagus dan mapan keislamannya? Apakah kita sudah dapat dikategorikan sebagai Muslim sejati yang selalu membenarkan dan melaksanakan perintah-Nya? Inilah yang harus kita pikirkan dan perbaiki lagi. Untuk menjadi Muslim sejati, hanya dimulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari sekarang! Semoga bermanfaat ....
Muhammad Akbar Rahmadi
Mahasiswa S-1 Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Humaniora di Universitas Darussalam Gontor, Siman, Ponorogo