REPUBLIKA.CO.ID,IDENTITAS YANG TERKOYAK
Sejarah rasisme dunia menggema keras dari benua ini. Selama berabad-abad, Afrika seolah tak punya kesempatan menentukan takdirnya. Negara- negara di dunia berebut menancapkan kekuasaan, mengeksploitasi sumber daya alam, seraya memicingkan mata menatap kulit hitam penduduknya.
Afrika adalah benua terbesar ketiga di dunia setelah Asia dan Amerika. Dengan luas lebih dari 30 juta kilometer persegi, Afrika meliputi 20 persen dari total daratan di muka bumi. Sebagian besar negara di Afrika adalah bekas negara jajahan, kecuali Etiopia dan Liberia.
Sikap tiap-tiap peradaban pada Afrika tidak lepas dari pandangan mereka terhadap Benua Hitam tersebut.
Islam dan Barat adalah dua peradaban yang sama-sama pernah mencipta wajah Afrika. Kedua peradaban ini memiliki perbedaan sudut pandang mendasar terhadap genealogi dan identitas Afrika.
Bagi Barat klasik, orang Afrika sering kali tidak dipandang manusia. Antropolog memperlakukan mereka sebagai spesimen ras dengan mengukur volume otak, postur tubuh, kerangka, dan mencoba membuktikan superioritas kulit putih. Orang-orang Afrika dipandang mengalami evolusi yang tertinggal dibanding orang Eropa.
Menurut Jim Jones dari West Chester University dalam \"Europe and Africa in the 19th Century\", para filsuf era Victoria bahkan memiliki penjelasan atas keterbelakangan Afrika. Konon, tahap perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap.
Ilmuwan Eropa percaya, Afrika terjebak dalam tahap barbarisme. Mereka tidak punya daya usaha meningkatkan fase perkembangannya karena telah tinggal di tempat dengan tanah dan iklim yang berlimpah. Politik apartheid telah menempatkan Afrika sebagai manusia kelas dua.
Pandangan tersebut bertolak belakang dengan Islam.
Islam melihat semua manusia tanpa peduli warna kulit atau belahan dunia sebagai anak turunan Nabi Adam.
Setelah banjir bandang yang menenggelamkan seluruh muka bumi, anak cucu Nabi Nuh ditakdirkan menjadi orang-orang yang melanjutkan keturunan.
Ibnu Katsir dalam Qashashul Anbiya mengatakan, seluruh manusia di muka bumi saat ini berasal dari keturunan tiga anak Nuh; Ham, Sam, dan Yafits. Imam Ahmad mengatakan dalam Musnad-nya, \"Abdul Wahhab bercerita kepada kami, dari Sa\'id, dari Qatadah, dari Samurah, Nabi Muhammad bersabda, `Sam adalah nenek moyang bangsa Arab, Ham adalah nenek moyang bangsa Habasyah, dan Yafits adalah nenek moyang bangsa Romawi.\'\"
Sebelum Barat mengenal benua ini, Islam telah lebih dulu datang. Sejarah Islam di Afrika berlangsung sangat panjang dengan jalinan cerita menarik dari para raja dan budak, ulama dan sufi, kerajaan dan pedalaman, kafilah dan kapal, serta agama dan budaya.
Afrika telah memiliki jalinan intensif dengan peradaban Islam sejak masa Rasulullah. Sejumlah sahabat Rasulullah berasal dari tanah Afrika. Bilal bin Rabah, seorang budak yang dimerdekakan Abu Bakar dan menjadi muazin Rasulullah, berasal dari Habasyah, Afrika.
Jangan lupa pula, Rasulullah pernah meminta perlindungan kepada salah satu raja yang berkuasa di Afrika. Pada 615 M, sejumlah sahabat melakukan hijrah ke Habasyah yang diperintah Raja Najasyi.
Menyebar Islam semakin menyebar luas di Afrika pada masa Umar bin Khattab.
Di bawah komando Amr bin Ash pada 639 M, kaum Muslim berhasil menguasai Mesir dan menjalankan pemerintahan di sana. Dari Mesir, Islam menyebar ke Lembah Sungai Nil hingga Sudan serta menyeberangi padang pasir menuju Maghrib.
Kedatangan Islam tidak hanya dilakukan lewat ekspedisi militer, tapi jalinan perdagangan sub-Sahara dengan Mediterania.
Pada abad kesembilan, kesultanan-kesultanan Islam mulai berdiri di wilayah Tanduk Afrika. Pada abad ke-12, Kesultanan Kilwa memperluas wilayah Islam ke selatan hingga Mozambik.
Ketika Islam menguasai suatu wilayah, ia tidak berwatak kolonialis. Tidak ada eksploitasi sumber daya alam besar-besaran yang menyebabkan kesengsaraan penduduk. Sifat alamiah Islam ialah membebaskan, bukan menjajah. Lantaran itu, banyak peninggalan-peninggalan peradaban yang luar biasa ditemukan pada masa kejayaan Islam di Afrika.
Bagi dunia Islam, hubungan dengan Afrika tidak hanya dalam perdagangan budak, tapi keterlibatan politik dan budaya. Islam meninggalkan pengaruh yang mendalam di Benua Afrika. Selain mengubah aturan kehidupan sehari-hari, unsur-unsur tradisional banyak yang mendapat pengaruh Islam, seperti pakaian, mitologi, seni, dan bahasa.
Di Maroko, Muslim mendirikan Fez yang segera berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan pemerintahan. Universitas al-Qarawiyyin yang disebut- sebut sebagai universitas tertua di dunia berada di Fez, Maroko. Seorang cendekiawan besar dunia Muslim, Ibnu Khaldun, tumbuh besar di tempat ini.
Hal serupa terjadi di kota-kota lain, seperti Kairo dan Alexandria. Keberadaan Universitas al-Azhar yang dapat disebut tujuan kedua pendidikan para pelajar Muslim setelah Makkah-Madinah merupakan bukti ketinggian peradaban masyarakat Afrika pada masa Islam.
Keilmuan ulama-ulamanya diakui di seluruh dunia. Hingga kini, sejumlah negara di Afrika, seperti Libia, Mesir, Sudan, dan Maroko masih menjadi pusat- pusat keilmuan yang dikunjungi para pelajar Muslim dari berbagai negara.
Sebuah negara di Afrika utara, Mauritania, terkenal dengan pengajaran Alquran kepada anak-anak sejak dini. Islam berkembang di Mauritania ketika Dinasti Murabithun menguasai kawasan itu pada abad ke-11.
Salah satu ulama besar yang lahir dari sana ialah Syekh al-Amin asy-Syinqithi.
Perpaduan Pertemuan antara budaya Islam dan Afrika tradisional menawarkan semacam perpaduan yang khas. Masyarakat Afrika menyerap prinsip-prinsip kebudayaan Islam kemudian secara lentur menerjemahkannya sesuai kondisi mereka. Arsitektur, seperti Masjid Agung Djenne di Mali, misalnya, merupakan bangunan lumpur terbesar di dunia dan arsitektur Sudano-Sahelian terbaik.
Nehemia Levtzion dan Randal L Pouwels dalam The History of Islam in Africa menulis, Islam juga menyumbang tradisi pengajaran dan penulisan naskah-naskah agama di Afrika. Timbuktu, sebuah kota di Mali, Afrika Barat, merupakan salah satu pusat budaya utama di Afrika yang memiliki tradisi naskah kuat.
Sejak abad ke-12M, Timbuktu telah menjadi pusat peradaban Islam di Afrika Barat. Puluhan ribu naskah Islam disimpan secara turun temurun. Kota ini bahkan pernah menjadi pusat perdagangan yang ramai. Timbuktu juga memiliki sebuah perguruan tinggi tempat para sarjana Muslim berkumpul, yaitu Sankore University.
Penguasa membangun perpustakaan-perpustakaan yang luas, madrasah, dan masjid. Salah satu ulama besar yang hidup pada masa itu adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Ahmad al-Takruri al-Massufi al-Timbukti atau Ahmad Baba. Ketika Eropa mulai mencengkeram benua ini, Timbuktu berada di bawah kekuasaan Prancis.
Afrika adalah rumah bagi hampir seperempat dari total populasi dunia Muslim. Islam berada dalam jumlah besar di Afrika Utara, Afrika Barat, serta Tanduk Afrika.
Sekitar 42 persen dari populasi benua Afrika mengidentifikasi sebagai Muslim. Sebagian besar menganut Sunni dengan mahzab Maliki, Syafii, atau Hanafi.
Kompleksitas Islam di benua ini terungkap lewat berbagai mahzab, tradisi, dan warisan sejarah.
Ekspansi Islam tidak hanya menyebabkan pembentukan komunitas baru di Afrika, tetapi menata ulang masyarakat sesuai model Islam. Ketinggian peradaban Islam yang pernah dicapai di Afrika merupakan bantahan atas prasangka rasis yang menganggap orang-orang Afrika sebagai `manusia nomor dua\'. (c38, ed: nashih nashrullah)