Ahad 03 Jan 2016 13:00 WIB

bilik redaksi

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,bilik redaksi

Barakallahu fikum 

Syukur yang tiada terkira kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan kepada kita semua. Allah masih memberikan kesempatan untuk me?

maksimalkan sisa hidup kita, selama 2015 dan di awal tahun baru ini. Semoga kita se mua termasuk hamba-hamba-Nya yang beruntung, menjadikan hari kini dan esok lebih baik dari masa-masa lalu.

Membuka edisi kali ini, pada rubrik \"Mozaik\", redaksi mengajak pembaca untuk menelusuri jejak-jejak Islam di Italia. Selama beberapa abad, Islam pernah menguasai Palermo, kota penting di Pulau Sisilia, Italia. 

Kentalnya nuansa Islam menjadikan wilayah ini lekat dengan julukan `Kota 300 Masjid\'. 

Sebutan itu disematkan karena kota itu banyak berdiri gereja yang konon adalah masjid yang berubah fungsi setelah transisi kekuasaan ketika Dinasti Norman yang menganut paham Katolik berkuasa pada sekitar 1044 M.

Sedangkan pada rubrik \"Tema Utama\", redaksi membahas nasib Afrika di bawah kekuasaan Islam dan Barat. Sikap tiap- tiap peradaban pada Afrika tidak lepas da ri pandangan mereka terhadap benua hitam tersebut. Islam dan Barat adalah dua peradaban yang sama-sama pernah men cipta wajah Afrika. Kedua peradaban ini memiliki perbedaan sudut pandang mendasar terhadap genealogi dan identitas Afrika. 

Bagi Barat klasik, orang Afrika sering kali tidak dipandang manusia. Antropolog memperlakukan mereka sebagai spesimen ras dengan mengukur volume otak, postur tubuh, kerangka, dan mencoba membuktikan superioritas kulit putih.

 
Orang-orang Afrika dipandang mengalami evolusi yang tertinggal dibanding orang Eropa.

Sebelum Barat mengenal benua ini, Islam telah lebih dulu datang. Sejarah Islam di Afrika berlangsung sangat panjang, dengan ja linan cerita menarik dari para raja dan budak, ulama dan sufi, kerajaan dan pedalaman, kafilah dan kapal, serta agama dan budaya.

Ketokohan Syekh Ihsan al-Jampesi redaksi angkat dalam rubrik \"Mujaddid\". Pria kelahiran Jampes, 1901 ini, tidak hanya dikenal sebagai tokoh sufi, tetapi juga mahir di berbagai disiplin ilmu agama. Seperti ilmu falak, fikih, dan hadis. 

Karya monumental yang membuat namanya melambung hingga ke mancanegara adalah kitab Siraj at-Thalibin. Kitab tasawuf ini berisikan komentar atas traktat Imam al-Ghazali, pentolan sufi terkemuka abad pertengahan yang wafat pada 1111 Masehi itu. 

Kitab Siraj at-Thalibin yang disusun pa- da 1933 ini tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara Timur Tengah, tetapi ju- ga banyak diminati Barat. Seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia. Sebagian perguruan tinggi Islam mancanegara bahkan menjadikannya sebagai rujukan resmi. Kitab ini misalnya, dijadikan kajian oleh Pascasarjana Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.

Sedangkan rubrik \"Dunia Islam\" mengangkat masa depan moderasi Islam di tengah- tengah Islamofobia di Amerika Serikat. 

Islamofobia bukan hal baru bagi Muslim Amerika. Hal itu turut dipengaruhi oleh pandangan Muslim terhadap Amerika dan sebaliknya, Amerika terhadap Muslim. Bagi sebagian Muslim, Amerika selalu dipandang sebagai biang segala permasalahan. 

Sementara, survei Pew Research 2014 mencatat, pandangan Amerika terhadap Muslim berada di posisi medium. Dari kisaran nol untuk paling negatif sampai 100 un tuk angka paling positif, pandangan ter hadap Islam memiliki skor 40. Meski, dengan meningkatnya tensi Islamofobia belakangan ini, ada kemungkinan skor itu semakin rendah. 

Pascaserangan teror di Paris dan San Bernardino, suara anti-Islam telah naik dalam wacana politik Amerika, sebagaimana dibuktikan oleh usulan terakhir calon pre siden Donald Trump. Calon presiden Partai Republik itu berwacana melarang setiap Muslim memasuki AS. Simak uraian lengkapnya pada rubrik \"Dunia Islam\".

Pada pengujung perjumpaan kita, redaksi berbincang dengan Ardy Chrismas Widiantoro. Ia masuk Islam empat tahun yang lalu. Kedua orang tuanya berasal da ri Jawa Timur. Mereka berdua terlahir Muslim, tetapi pindah ke Katolik karena faktor ekonomi dan pergaulan. Banyak anggota keluarga besar ayah ibunya yang menganut Islam.

Walau bukan Katolik sejak lahir, kedua orang tua sosok yang akrab disapa Ardy ini taat beragama. Ia juga dididik rajin pergi ke gereja. \"Saya dulu seorang misdinar, da lam arti misdinar itu pelayan altar di gereja,\" kata Ardy. Sulung dua bersaudara ini mulai menjadi misdinar sejak kelas lima SD sampai SMP.

 
Tak lama, sebab benaknya mulai terbentur pada berbagai pertanyaan menginjak masa remaja. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Seperti apakah kisah pergulatannya menjalani hidup meniti hidayah? Simak penuturannya dalam rubrik \"Oase\".

Semoga sajian redaksi kali menjadi oase pada akhir pekan Anda. Hafizhanallah waiyyakum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement