REPUBLIKA.CO.ID,
Di kaki bukit Kahlenberg, Ka ra Musthafa Pasha harus menelan kekalahan. Impiannya membawa cahaya Islam ke Austria harus tertahan sejenak. Panglima TurkiUtsmani itu terpaksa menarik mundur pasukan pada 12 September 1683 akibat serangan aliansi Eropa yang dipimpin Raja Polandia, Jan III Sobieski.
Kini, di Museum Vienna, Austria, potret sang panglima terpasang sendu. Rautnya penuh penyesalan. Peristiwa itu sudah berlalu lebih dari tiga abad silam, tapi sejarah tak pernah lupa mencatatnya.
Dikisahkan Walter Leitsch dalam \"1683: The Siege of Vienna\", History Today 1983, kekalahan tentara Ottoman di Gerbang Wina dianggap salah satu awal kemerosotan Kekaisaran Ottoman.
Semua berawal pada musim panas 1683. Di bawah komando Kara Musthafa, tentara- tentara pilihan dari kekaisaran Ottoman mengepung Wina.
Kota ini telah mendekati batas akhir kemampuannya melawan. Pengibaran bendera putih hanya soal waktu, sampai bala bantuan tiba-tiba datang mengubah keadaan. Tidak ada buku sejarah di Eropa yang melewatkan peristiwa ini.
Raja Polandia sekaligus kepala Komando Tentara Eropa itu membawa sekitar 23 ribu tentara. Penguasa Ottoman menganggap kekalahan Kara Musthafa sebagai aib, lantas menjatuhi hukuman mati bagi panglima besar ini. Inilah catatan terakhir yang menghentikan ekspansi Islam Kekhalifahan Ottoman di tanah Eropa.
Republik Austria adalah negara yang terkurung daratan di tengah-tengah Eropa Tengah. Ia berbatasan dengan Jerman, Ceko, Slovakia, Hungaria, Slovenis, Italia, dan Swiss.
Laporan dari Universitas Wina pada 2014 menyebutkan, jumlah Muslim di Austria lebih dari 550 ribu atau tujuh persen pada 2012. Mayoritas Muslim Austria berasal dari Turki dan Bosnia, ditambah etnis Chechnya dan Iran.
Jumlah Muslim Austria mula-mula mening kat sebagai hasil dari ledakan ekonomi.
Pada 1960 hingga 1970-an, puluhan ribu pekerja migran berdatangan dari Balkan dan Turki. Jumlah pelajar dari negara-negara Muslim juga meningkat di universitas-universitas Austria. Pengungsi dari Bosnia dan Kosovo menyusul pada 1990-an.
Baru-baru ini, Austria juga menampung ribuan pencari suaka dari Suriah, Afghanistan, dan Irak. Ada lagi, penambahan populasi dari kelahiran imigran generasi kedua dan ketiga pada 2000-an.
Pada 2009, sekitar setengah dari Muslim di negara itu berkewarganegaraan asli Austria. Angka konversi warga asli Austria pun disebut-sebut mengalami kenaikan.
Ketika negara-negara lain di Eropa menghadapi derasnya gelombang migran Timur Tengah, Austria pun sama. Negera ini menjadi jalur transit migran Timur Tengah yang ingin menuju Jerman. Sejak Desember 2015 lalu, Austria bahkan harus menanggung pengembalian migran ilegal dari Jerman.
Hubungan Muslim dengan Pemerintah Austria relatif landai. Negara ini telah memberikan pengakuan Islam sebagai salah satu agama resmi dan menjamin kebebasan beragama. Ada ratusan tempat ibadah dan masjid di Austria. Permakaman Islam seluas 34 ribu meter persegi dibangun pada 2008.
Muslim di Austria diwakili oleh Islamic Faith Community of Austria (Islamische Glaubensgemeinschaft/IGGI?) yang didirikan pada 1912. Organisasi ini menja lin hubungan dengan negara.
Hukum Islam \"Bukan Islam yang datang ke Austria, melainkan Austria yang datang ke Islam. Lebih tepatnya, ke Bosnia,\" kata Vedran Dzihic dan Thomas Schmidinger dalam Looming Shadows: Migration and Integration at a Time of Upheaval. Negara ini memang memiliki riwayat yang agak berbeda dibanding negara-negara Eropa lain.
Di Austria, pengakuan status Islam bukanlah hasil kerja imigran Muslim pada 1960-an dan 1970-an, melainkan hasil dari hubungan bersejarah antara Austria dan negara-negara Balkan, khususnya Bosnia-Herzegovina.
Pada 1878, Kekaisaran Austria-Hongaria menduduki Bosnia dan Herzegovina yang semula merupakan salah satu provinsi Kekhalifahan Ottoman. Aneksasi wilayah ini secara resmi terjadi pada 1908. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Monarki Habsburg dihadapkan pada tantangan mengintegrasikan sejumlah besar Muslim ke wilayah mereka.
Sebuah konvensi dengan pemerintahan Ottoman kemudian ditandatangani. Isinya, Kekaisaran Austria-Hongaria akan menjamin kebebasan beragama dari teritori yang ditaklukkan.
Hukum Islam yang pertama kali dibuat pada 1912 bertujuan mengintegrasikan ribuan Muslim yang secara resmi berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Austria- Hongaria. Pada Pasal 1 dikatakan, "Islam diakui sebagai sebuah komunitas agama"
dan diberikan \"perlindungan hukum yang sama seperti yang diberikan kepada komunitas agama lain di Austria.\" Negara berkewajiban melindungi adat istiadat, ajaran, dan lembaga Islam di negara itu.
Menurut Martina Schmied, \"Islam in Osterreich\" dalam Islam, Islamismus und islamischer Extremismus, hukum Islam 1912 itu setidaknya memberikan empat jaminan bagi Muslim Austria. Pertama, jaminan menjalankan ajaran Islam di lingkungan publik (misalnya, ajaran Islam di sekolah-sekolah).
Kedua, pendirian lembaga keislaman.
Ketiga, penentuan administrasi untuk masalah-masalah khusus. Terakhir, hak mendapat perlakuan yang sama dengan Katolik Roma dan anggota komunitas agama lain.
Perubahan geopolitik pasca-Perang Dunia I mengubah lanskap negara itu.
Ke kai saran Austria-Hongaria pecah, me nyi sakan sedikit Muslim di negara yang kemudian disebut Austria. Kendati demikian, akhir monarki Austria-Hongaria pada 1918 tidak membawa perubahan terhadap status pengakuan Islam.
Hukum yang telah berusia satu abad ini diamandemen setahun silam. Menurut Menteri Luar Negeri Austria Sebastian Kurz, langkah itu diambil sebagai upaya untuk mempromosikan Islam berkarakter Eropa dan memerangi pertumbuhan Islam radikal.
Sebuah jajak pendapat menemukan, 58 persen warga Austria merasa radikalisasi Muslim tengah berlangsung di negaranya.
Sekitar 200 orang dari Austria diperkirakan telah pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS.
UU yang disahkan Februari 2015 ini melarang organisasi-organisasi Islam menerima dana dari luar negeri dan mensyarat kan imam dapat berkhutbah dalam bahasa Jerman. Langkah ini menurut Kurz, seperti dikutip dari Aljazirah, agar menjadi contoh positif bagi pemuda Muslim.
Dilansir dari BBC dan New York Times, perubahan ini menuai beragam reaksi. Hukum ini telah menghasilkan oposisi dari beberapa pihak, termasuk kelompok-kelompok Muslim Austria yang menyebutnya diskriminasi.
Di lain pihak, hukum ini menegaskan status resmi Islam dan memperluas hak- hak Muslim. Seperti bimbingan spiritual di rumah sakit, cuti hari raya, dan makanan halal di sekolah.
(c38, ed: nashih nashrullah)
"Austria mengakui Islam sebagai salah satu agama resmi dan menjamin kebebasan beragama."