Ahad 17 Jan 2016 13:00 WIB

Keluhan Tak Berakhir

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Bandung Mawardi 

Pada masa 1970-an, Indonesia pernah berlimpah buku bacaan anak. Pemicu terpenting adalah instruksi presiden. 

Negara berkepentingan mengadakan buku-buku sebagai bacaan bagi jutaan anak. Buku demi pembangunan na?

sional. Ongkos besar digelontorkan un tuk menghasilkan ribuan judul. Pa ra pengarang rajin menulis dan pe ner bit menuai untung besar. 

Per pus takaan sekolah dan umum men dapat tambahan koleksi buku mes ki tak memastikan mendapat pembaca. Buku-buku bercap \"milik negara\". Anak-anak diharapkan men jadi pembaca setelah memenuhi ke tentuan-ketentuan sebagai peminj am. 

Negara ingin tampil secara bermartabat, meminjamkan buku bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Masa itu berlalu. Konon, agenda negara itu sempat mengubah peta pe nerbitan buku anak. Dominasi bu ku-buku anak terjemahan bisa ditandingi dalam ukuran jumlah, tapi belum terjamin kualitas. Pelbagai penerbit tetap saja mengusahakan buku-buku terjemahan. Di toko buku, para orang tua masih melihat ada buku-buku karangan HC Andersen dan Grimm. Anak-anak tak gampang terbujuk memilih bacaan bercap \"mi lik negara\". 

 
Kesadaran mutu ce rita dan garapan ilustrasi menjadi penentu dari penguatan selera ke ba caan terjemahan atau tulisan pa ra pengarang Indonesia. Dulu, para pengarang kondang juga turut berlagak menjadi penulis buku bacaan anak. Pilihan menulis buku itu sulit dipastikan sebagai ejawantah ke pemuliaan literasi anak. Barangkali, godaan uang atau honor cenderung mengesahkan mereka sebagai penulis bacaan anak.

Pada masa 1990-an, keluhan muncul lagi. Buku bacaan anak belum se le sai menjelaskan kegagapan Indonesia. Para pengarang di Indonesia masih kerepotan menjadi penentu selera dan penggoda imajinasi bagi jutaan anak. 

Di rak-rak toko dan perpustakaan, buku-buku terjemahan tetap dominatif. 

Masa panen bacaan anak bercap in pres berakhir tanpa kenangan terindah. Buku-buku cerita berasal dari Eropa, Amerika, dan Jepang semakin merangsang kegirangan anak sebagai pembaca. Indonesia agak meningkat derajat sebagai negeri (pembaca) buku bacaan anak, belum negeri (penulis) 

buku bacaan anak. Negara belum berkepentingan turut campur akibat tata politik gampang berubah. 

Kita perlahan ingat masa silam. 

Sejak mula, penerbitan buku bacaan anak cenderung hasil terjemahan. 

Penerbitan pun dilakukan oleh pihak pemerintah penjajahan dan swasta asing. Di Indonesia, penerbitan dan buku itu kebaruan. Selama ratusan tahun, dongeng-dongeng anak terwaris kan, tapi belum berwujud buku mengacu ke revolusi mesin cetak. 

Kolonialisme sempat mendatangkan lakon penerbitan dan sebaran bu ku-buku bacaan anak. Pihak pe me rintah, gereja, institusi pendidikan-kultural turut menjadi pembuat lakon semaian bacaan anak di negeri jajahan, sejak pertengahan abad XIX. 

Bocah-bocah bumiputra mulai jadi pembaca buku cerita berasal dari negeri-negeri jauh. Mereka membaca dalam terjemahan bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda.

Christantiowati (1996) di buku Bacaan Anak Indonesia Tempo Doeloe: 

Kajian Pendahuluan Periode 1908- 1945 memberi informasi-informasi per mulaan semaian bacaan anak di Indonesia. Penerbitan buku cenderung hasil terjemahan. Pengadaan bu ku anak oleh penerbit swasta Belan da dan peranakan Tionghoa: Lalampahanipoen Rbinson Crusoe (1881), Lalampahan Nipien Sinbad (1881), Hikajat Fileas Fogg atawa Mengelilingi Boemi dalem 80 Hari Lamanja (1890). 

Cerita-cerita berasal dari Jawa, Sunda, dan Malaya juga diterbitkan mes ki tak seheboh buku-buku hasil terjemahan. Penerbitan buku anak semakin membesar melalui pe ran Balai Pustaka. Penerbit bercap pemerintah itu tampak ja di pesona besar, mem buktikan ba caan anak diperlukan dalam misi keme le kaksaraan dan modernitas. 

Pembaca mendapat santapan meski harus mengerti ada percampuran maksud dari sajian buku anak di masa kolonialisme. 

Ingatan masa silam bisa bersambung ke masa Orde Baru. Kerja literasi menumbuhkan sastra anak belum terlalu mendapat perhatian dari pemerintah, penerbit, dan pengarang. 

Buku-buku memang terbit, tampil tanpa estetisasi sampul, ilustrasi, dan bahasa elok. Di mata anak, buku-buku bercap \"milik negara\" gagal membujuk dan memberi sihir imajinasi. 

Garapan buku hampir serupa buku pelajaran di sekolah. Para penerbit swasta masih pelit dalam keseriusan menggarap sastra anak Indonesia, cenderung memanjakan buku sastra anak terjemahan. Murti Bunanta (1988) 

melalui artikel berjudul Sastra dan Bacaan Anak-Anak Masih Dianaktirikan lugas mengajukan rangkaian kritik atau protes atas nasib bacaan anak di Indonesia. Urusan bacaan anak cu ma digarap serampangan, tak mem pertimbangkan keinginan-keingin an anak berkaitan perwajahan dan isi cerita. Kerja serampangan mengakibatkan buku anak garapan pengarang Indonesia tak laku atau gagal jadi santapan lezat bagi anak.

Kini, abad XX telah berlalu. Indone sia masih bergerak lambat dalam se maian penerbitan bacaan anak di abad XXI. Kita belum mendapat berita gembira dari gairah literasi anak. 

Pener bit-penerbit besar dan kecil memang rajin menerbitkan buku anak tapi cende rung menuruti ajaran lawas: 

moralis atau propaganda pendidikan karakter. 

Barangkali buku-buku memang dimaksudkan jadi \"penggembira\" dari seruan-seruan pemerintah dan pemberlakuan kurikulum pendidikan. 

Siasat itu belum manjur untuk memicu jutaan anak gandrung membaca buku. 

Ketidakmanjuran malah diganggu selebrasi teknologi permainan. 

Tatapan mata anak mulai mengarah ke gawai atau komputer ketimbang buku. 

Kita tak perlu menimpakan kesalahan pada anak. Salah itu milik orang tua, pemerintah, guru, penerbit, toko buku, dan perpustakaan. Kita mengaku saja masih bersalah. Begitu. 

Bandung Mawardi, 

penikmat sastra tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement