REPUBLIKA.CO.ID,
Sikap diam membantu memelihara agama dan terhindar dari godaan setan.
Di tengah kondisi sosial masyarakat yang terpuruk, keberadaan ula ma bak pelita yang memendarkan cahaya.
Mereka hadir menawarkan solusi dan obat bagi `penyakit\'
yang mengendap. Hal ini pula yang dilakukan oleh para salaf, salah satunya Ibnu Abi ad-Dunya.
Tokoh bernama lengkap Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid Ibnu Abi ad-Dunya ini dikenal sebagai guru sekaligus pendidik yang memper- tahankan etika-etika mulia. Sosok kelahiran Baghdad pada 210 H itu hidup pada masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang cukup heterogen, utamanya dalam hal ideologi pemikiran.
Kala itu, sekte-sekte keagamaan muncul dan berkembang dengan subur.
Dinamika pemikiran berkembang pesat.
Bahkan, nyaris kebablasan. Ada sekte Muktazilah, Qaramithah, Ismai\'iliyyah, dan aliran-aliran keagamaan lainnya.
Dimensi ketuhanan yang kerap disentuh, antara lain, soal eksistensi agama, Tuhan, dan konsep kenabian.
Pro dan kontra antarkelompok pun bermunculan. Di titik tertentu bahkan sampai pada kesimpulan saling menga - firkan. Kondisi ini, dinilai Ibnu Abi ad- Dunya, sangat memprihatinkan. Menurut penulis karya monumental ber - judul Makarim al-Akhlakini diperlukan solusi agar komunitas awam tak terjebak dalam diskursus dan polemik tersebut.
Maka, sosok yang dikenal produktif menulis ini mengarang sebuah kitab berisikan etika-etika Islami.
Ia berharap, melalui karyanya itu tercipta kondisi dan tabiat umat yang saleh serta berpegang teguh pada prinsip-prinsip keislaman yang lurus. Dengan demikian, mereka tidak mudah terjebak dengan perselisihan pendapat yang tak berujung. Kitab yang terdiri atas 25 bab itu ia beri judul as-Shumtu wa Adab al- Lisan.Referensinya merujuk pada Al Nah, kitab yang dibahas kali ini, yaitu Hasan as-Samat fi as-Shomatada - lah ringkasan dari as-Shumtu wa Adab al-Lisan(selanjutnya disebut kitab asli).
Kitab Hasan as-Samat fi as-Shamat ditulis oleh Imam as-Suyuthi, seorang ulama terkemuka yang hidup pada abad kede- lapan Hijriyah. Meski meringkas satu bab saja dari kitab aslinya, Suyuthi yang bernama lengkap Abdur Rahman bin al- Kamal Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq Ad Din al-Khudhari as-Suyuthi memilih satu bab yang tepat dan merupakan inti bahasan kitab asli, yaitu pent- ingnya menjaga lisan.
Ringkasan itu ditempuh dengan mem buang sanad yang ditulis lengkap di kitab aslinya. Suyuthi cukup menye- butkan perawi hadis teratas dan imam hadisnya. Total teksnya berjumlah 114 buah. Jumlah tersebut lebih ramping ketimbang total teks aslinya, yaitu 759 buah. Dari jumlah teks yang ia nukil itu, tiga per empat berasal dari kitab asli sedangkan sisanya merupakan tambahan yang diinisiasi oleh tokoh kelahiran Kairo, 1 Rajab 849 H, tersebut.
Keutamaan diam yang pertama kali disebutkan dalam ringkasan Suyuthi adalah diam merupakan kunci kesela- matan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi, Baihaqi, dan Darimi, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda, \"Barang siapa yang memilih (diam) akan selamat.\"
Hadis ini dikuatkan dengan riwayat lain dari Anas bin Malik. Rasulullah menegaskan, barang siapa yang ingin selamat dunia akhirat maka hendaknya ia tidak mengumbar kata-kata dari lisannya. Menjaga lisan dengan tidak banyak bicara adalah aktivitas yang paling ringan. Tetapi, memiliki perhi- tungan yang cukup besar di sisi-Nya.
Rasulullah pernah memberikan wasiat kepada Abu Dzar. Dalam wasiat itu, Rasulullah menegaskan, \"Aku berwasiat untukmu agar berakhlak baik dan tidak banyak bicara. Keduanya adalah amalan yang paling ringan untuk dilakukan oleh tubuh. Tetapi, dua hal itu nilai pahalanya akan memberatkan tim- bangan perbuatan kelak di akhirat.\"
Karena itulah, menjaga lisan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia. Penegasannya terdapat di hadis Abu Hurairah. Diam juga menjadi identitas yang membedakan kualitas dan kepribadian seseorang. Sebuah riwayat dari Abu Abdullah bin Muhriz bin Zahir al-Aslami menegaskan, diam adalah per- hiasan bagi mereka yang berilmu dan kamuflase bagi orang yang bodoh.
Karena itulah, diam adalah pamungkas akhlak, demikian ditegaskan Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik.
Diam, seperti yang dikemukan di berbagai riwayat di atas, merupakan etika yang sangat dianjurkan. Lantas, apakah ini berarti seseorang dilarang berbicara? Tentu saja tidak.
Berbicaralah, tetapi membicarakan kebaikan. Dan, berdiamlah bila menyangkut keburukan atau topik-topik yang tak patut dibicarakan.
Suatu saat, seperti diriwayatkan Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bepergian bersama Mu\'adz bin Jabal.
Dalam perjalanan itu, sahabat yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam hukum itu bertanya kepada Rasulullah, \"Amalan apakah yang paling utama?\"
Rasulullah menjawabnya dengan memberikan isyarat menujuk ke bibirnya, \"Diam, kecuali dari (hal) kebaikan.\"
Oleh Nashih Nashrullah
Hikmah di Balik Irit Bicara
Lalu, apakah hikmah di balik tuntunan yang diserukan Rasulullah untuk berdiam kecuali dalam hal kebaikan? Riwayat lain yang dinukil dari sahabat Abu Dzar mengungkapkan maksud dan manfaat yang bisa diambil dari etika ini. Sikap diam dan berbicara hanya terkait dengan perkara yang baik bisa mem- bantu seseorang menghindari godaan setan dan membantu menjaga aga- manya.
Selain itu, diam dengan pengecualian seperti ini merupakan bentuk dari kebijaksanaan. Karena itu, Ra sulullah menyebutkan di Hadis Riwayat Abu Hurairah bahwa kebijaksanaan itu terdiri atas 10 bagian. \"(Sebanyak)
sembilan darinya berasal dari men- gasingkan diri (`uzlah).
Sedangkan, satu lagi terdapat di sikap diam. Merasa penasaran, seorang salaf yang bernama Wahib bin al-Ward pernah mempraktikkannya.
Ia sudah mencoba diam dan tidak banyak berbicara, tapi masih saja ga gal.
Ternyata, diam saja tak cukup. Si kap itu harus ditopang dengan beruzlah.
Akhirnya, usahanya pun berhasil.
Tuntunan untuk diam dan menjaga lisan ini pun disebarluaskan oleh para sahabat. Mereka saling berwasiat agar tidak sembarangan bicara. Seorang laki-laki pernah meminta wasiat kepada Sa\'id al-Khudri. Permintaan itu pun akhirnya dikabulkan. Said al- Khudri berkata, \"Berdiamlah kecuali tentang kebenaran. Dengan sikap itu, engkau akan mengalahkan setan.\"
Tetapi, sayang, keutamaan diam ini tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Padahal, di balik sikap diam yang proporsional--berbicara ketika dibutuhkan soal kebaikan--terdapat segudang hikmah. \"Hanya sedikit pe - lakunya,\" demikian sabda Rasu lullah da lam Hadis Riwayat Anas bin Malik yang dinukil oleh Ibn `Addi, Baihaqi, dan Qudha\'i.
Inilah salah satu alasan mengapa Rasulullah SAW menganjurkan agar diam dan menjaga lisan yang propor- sional disosialisasikan dan ditra- disikan di tengah masyarakat. Seseorang dalam riwayat Abdullah bin Mas\'ud--mendatangi Rasulullah dan mengatakan, \"Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang paling ditaati di kaumku, perintah apa yang layak aku serukan ke mereka?\" Rasulullah menjawab, \"Serukan mereka menerbar salam dan sedikit bicara kecuali berkaitan dengan perkara yang bermanfaat.\"