RUU KKG tak bisa dilepaskan dari CEDAW (Convention on the Eli mi nation of All Forms of Discri mina tion Against Women) yang disebut-sebut se bagai Bill of Rights-nya perempuan. Indonesia telah meratifikasinya menjadi UU RI No 7 Tahun 1984. Konvensi yang me muat hakhak asasi perempuan (HAP) ini menjadi landasan filosofis dan legal dalam penyusunan RUU KKG. Bahkan, bisa dikatakan sebagai induk hukumnya sebagaimana mandat dalam Pasal 2 CEDAW yang menuntut ne gara peratifikasinya, "...mencantumkan prin sip kesetaraan laki-laki dan perempuan di dalam konstitusi nasional atau perundang- undangan lainnya yang tepat...." (CEDAW, 1979:2). Karena itu, definisi, prin sip, maupun tujuan yang tertuang di dalam naskahnya sejalan dengan isi konvensi.
Dalam Pasal 1 CEDAW disebutkan, "diskriminasi terhadap perempuan" berarti segala pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kela min yang mempunyai dampak atau tu juan untuk mengurangi atau meniadakan pe ngakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, so sial, budaya, sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (CEDAW, 1979:2).
Terma diskriminasi yang digunakan pada bagian ini menyiratkan adanya kezaliman yang otomatis timbul pada setiap tindakan pembedaan. Karena itu, solusinya adalah kesetaraan. Kesetaraan yang ingin dicapai bersifat substantif, yakni kesetaraan yang digambarkan sebagai kesetaraan hakiki, bukan yang dipandang kesetaraan se mu, semisal, hanya membuka kesem pat an yang sama bagi perempuan, akan tetapi perlu diberikan dukungan untuk da pat meraih kesetaraan itu secara riil. Bila per lu, diberi hak-hak khusus untuk meraih kesetaraan itu, contohnya hak khusus mengenai kuota anggota parlemen. Konse kuen si sosial dari pemaknaan diskriminasi ini adalah persepsi keadilan yang berdasarkan penyamarataan hak tanpa memandang perbedaan jenis kelamin. Padahal, pembedaan tidak mesti berkonsekuensi ketidakadilan. Dengan kata lain, pembedaan yang sesuai dengan keadaan, kemampuan, dan kewajiban bukanlah bentuk diskriminasi. Karena itu, teks ini sepertinya tidak sekadar menargetkan kesetaraan untuk meraih keadilan, akan tetapi demi emansipasi yang menuntut kesamarataan dan keserupaan hak yang total bagi lakilaki dan perempuan. (Pandangan Kritis Syari’ah terhadap CEDAW, IICWC, 2012: 23)
Salah satu bentuk diskriminasi perempuan yang kerap disebut-sebut adalah peranannya sebagai ibu rumah tangga. Hal itu di anggap sebagai praktik domestikasi yang merampas hak-hak perempuan untuk mem peroleh kesempatan yang sama da lam ekonomi, lapangan kerja, maupun perkawinan.
Di dalam pembukaan naskah CEDAW disebutkan, "... pada situasi kemiskinan, perempuan mempunyai akses yang paling sedikit terhadap makanan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan kerja dan kebutuhan lainnya, (sehingga) pembentukan tatanan ekonomi internasional baru berdasarkan kesetaraan dan keadilan akan memberikan sumbangan yang sangat besar bagi peningkatan upaya mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan."
Tatanan baru yang di mak sud membuka ke ran kebebasan bagi pe rempuan untuk ber aktualisasi di luar rumah tanpa harus dibebani tanggung ja wab tradisional sebagi ibu dan istri. Negara harus mendukung langkah ini dengan meng upayakan berbagai instrumen, termasuk hal teknis semacam memperluas pembangunan dan jaringan penitipan anak (CEDAW Pasal 11, ayat 2).
Jadi, berdasarkan pola pikir tersebut, mengeluarkan perempuan dari rumah adalah salah satu poin penting yang mendapat perhatian khusus agar perempuan setara dengan laki-laki. Padahal, ongkos sosial yang harus dibayar sangat besar, dari masalah pendidikan anak yang terabaikan orang tuanya, hingga perlindungan bagi perempuan bekerja yang belum terjamin.
Pada 2008 Association of Women for Action and Research (AWARE) melalukan survei terhadap 500 pekerja dari 92 perusahaan mengenai kekerasan yang menim pa perempuan di tempat kerja. Sebanyak 54 persen mengaku mengalami kekerasan seksual; 12 persen mendapatkan ancaman pemecatan jika tidak memenuhi permintaan pelaku kekerasan seksual; 27 persen mengalami bullying dari rekan kerja; 79 persen korban adalah perempuan (www.aware.org.sg).
Jika demikian, apa yang sebenarnya diperjuangkan? Bukankah justru semakin menghadapkan perempuan dengan bahaya dan mempertaruhkan kualitas generasi selanjutnya karena bangunan keluarga yang semakin rapuh? Atau, mungkin memang ada agenda khusus transformasi fungsi keluarga sebagaimana pernyataan dalam ringkasan hasil pertemuan Ahli Struktur Keluarga di India pada 1992 sebagai berikut: "Program Undang-Undang Keluarga sekarang tidak menjalankan peran yang efektif dalam rangka memperkecil angka pertumbuhan penduduk. Sesungguhnya, apabila para pembuat program ini ingin memperkecil angka pertumbuhan penduduk secara drastis maka mereka harus berkonsentrasi mengubah peran permepuan sekarang dalam keluarga dan masyarakat.
Mereka juga harus mengajar dan memberdayakan mereka dengan pekerjaan- pekerjaan bergaji." (Pandangan Kritis Syari’ah terhadap CEDAW, IICWC, 2012: 51) Sementara itu, dalam aspek kesehatan reproduksi, konvensi ini menekankan pentingnya akses yang luas bagi perempuan ter hadap informasi, penyuluhan, hingga pe layanan keluarga berencana tanpa me mandang status perkawinan seseorang (CEDAW Pasal 12). Pada praktiknya, Komite CEDAW juga menuntut negara peratifikasinya untuk melegalisasi aborsi atau setidaknya membuka akses yang lebih luas bagi pelaksanaannya. Seperti tekanan me reka pada negara-negara Argentina, Aus tra lia, Irandia, Meksiko, Italia, Kroasia, dan Prancis untuk melegalisasi aborsi meskipun bertentangan dengan prinsip mereka sendiri yang tertulis dalam Bill of Rights, yakni hak untuk hidup (CEDAW Abortion Rulings, 2010).
Sikap ambigu dalam hal ini semakin memperjelas agenda perjuangan kebebasan perilaku yang diusung para feminis dalam CEDAW. Faktanya, bukanlah perlindungan terhadap perempuan yang menjadi target akhir, melainkan emansipasi yang mencakup kebebasan seksual dan kebebasan dari segala konsekuensinyalah yang dikejar.
Karena itu, sebelum terlalu jauh mengadopsi konsep kesetaraan gender, saat nya bangsa kita berpikir jernih dan integral– dengan memasukkan dimensi Ilahiah dan dimensi keakhiratan– dalam melihat realitas dan kedudukan perempuan. Sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, seyogyanya kita punya kemerdekaan dalam berpikir. Apalagi, sebagai umat Nabi Muhammad SAWyang telah dibekali wahyu dan suri teladan abadi. Wallahu a’lam.
Rira Nurmaida
Peneliti The Center for Gender Studies (CGS)