Ahad 20 Sep 2015 15:21 WIB

Dan, Lahirlah The Shire ...

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--The Hobbiton bermula ketika keluarga Alexander mulai mengolah ladang di kawasan itu pada 1978. "Di tangan mereka, tanah terbuka seluas 1.250 hektare yang sebelumnya tidak beraturan, disulap menjadi lahan pertanian khas Selandia Baru yang dilengkapi hewan ternak domba dan sapi," kata Shayne Forrest, pemandu kami.

Shayne menceritakan pada September 1998, Sir Peter Jackson dan New Line Cinema me nemukan pertanian Alexander saat pencarian udara guna mendapatkan situs yang cocok dengan settingfilm. Saat melihat kondisi alamnya, sang sutradara sangat yakin lokasi itu akan menjadi tempat sempurna untuk mengadaptasi karya-karya klasik JRR Tolkien. "Pengaturan perdesaan untuk the Shire, rumah dari hobbit, termasuk Bag End, sudah ada di sana, dan hanya menunggu sentuhan magis sang sutradara," katanya.

Hobbiton mulai mendunia setelah sutradara asal Selandia Baru itu menyulap kandang domba tersebut menjadi lokasi syuting film trilogi the Lord of the Rings. Proyek renovasinya dilakukan pada Maret 1999 karena film harus segera ditayangkan pada Desember tahun yang sama.

Bahkan, proyek renovasi ini melibatkan militer Selandia Baru yang membangun jalan sepanjang 1,5 kilometer ke lokasi. Sejumlah perlengkapan berat, seperti buldozer dan traktor, dikerahkan guna mempercepat perbaikan.

Sebanyak 39 lubang Hobbit dibuat dari kayu. Pohon eik yang menghadap Bag End didatangkan dari dekat Kota Matamata. Sedangkan, daun buatan dibawa dari Taiwan. Jerami untuk atap the Green Dragoon dan the Mill diambil dari sekitar peternakan Alexander.

Sejumlah pepohonan unik dan taman diciptakan sedemikian rupa sesuai tuntutan cerita film. Proyek renovasi itu terus dilakukan meski musim dingin menerpa wilayah utara Selandia Baru. Syuting the Lord of the Rings Tri logy pun berjalan sesuai rencana pada Desember 1999 dan dilanjutkan selama tiga bulan.

Aktivitas peternakan

Ketika dibangun kembali untuk untuk trilogi film the Hobbitpada 2009, struktur the Hobbiton dibangun dari bahan yang lebih permanen, termasuk pohon buatan dari baja dan silikon. Proses rekonstruksi menyeluruh ini memakan waktu dua tahun. "Lanskap yang ada seka rang tetap dipertahankan untuk men jaga keajaiban dari the Shire tetap hidup," kata Shayne yang juga marketing managerHobbiton Movie Set Tours itu.

Syuting untuk the Hobbit Trilogypun berjalan lancar pada Oktober 2011 dan hanya berlangsung 12 hari. Pada puncaknya terdapat sekitar 400 orang di lokasi syuting, termasuk beberapa kali juga dihadiri Sir Peter Jackson, Sir Ian McKellen yang berperan sebagai Gandalf, Elijah Wood (Frodo), Sean Astin (Sam), Ian Holm (Bilbo Baggins), dan Martin Freeman (Bilbo Baggins muda).

Meski telah menjadi objek wisata mendunia, keberadaan Hobbiton tak lantas menggusur peternakan domba dan sapi di sekitarnya.

Keberadaan hewan ternak ini justru malah menambah hidup suasana di sekitar Hobbiton yang tampak lebih natural tanpa tembok pembatas. Kawasan Hobbiton hanya dibatasi pagar kayu dan kawat listrik yang tersamar pagar tanaman. Ini membuat kami dapat menyorotkan pandangan seluas mungkin tanpa tersekat tembok pembatas.

Hingga kini terdapat sekitar 13 ribu ekor domba, 300 ekor sapi, dan hewan ternak lainnya yang menghasilkan benang wol dan daging. Seluruh hewan ternak ini bulunya dicukur oleh keluarga Alexander setiap delapan bulan. Aktivitas pencukuran hewan ternak yang dilakukan keluarga Alexander menjadi daya tarik tersendiri bagi sejumlah wisatawan yang berkunjung ke Hobbiton.

Di tempat ini juga dapat ditemui aktivitas pertanian menarik dan peternakan yang kerap dijadikan latar belakang syuting film. Bahkan, alat pertanian sengaja dibiarkan di pekarangan rumah Hobbit. Terdapat pula pakaian yang masih tergantung di jemuran yang mengesankan benar-benar ada kehidupan para hobbit di Hobbiton, kendati seperti perkampungan mati yang ditinggalkan penghuninya.

Konsep agrowisata yang memadukan peternakan, pertanian, dan cerita fiksi the Hobbit ini tidak hanya berhasil menarik wisatawan mancanegara, tapi juga mengerek perekonomian masyarakat setempat yang menjual sejumlah cenderamata menarik, seperti topi, kalung, kaus, dan bahan rajutan yang terbuat dari kain wol.

Melompat 192 Meter di Atas Auckland

Berkunjung ke Selandia Baru, tidak lengkap rasanya apabila tidak mencoba satu pengalaman ekstrem yang akan sulit dilupakan seumur hidup: sky jump.

Merasakan sensasi melompat dari gedung tertinggi di Auckland ini menjadi salah satu wisata favorit di Selandia Baru. Dengan hanya seutas kawat yang menggantung di punggung, lompatan dilakukan dari ketinggian 192 meter.

Pada saat terjun dengan kecepatan sekitar 85 kilometer per jam itu, pelompat merasakan sensasi seperti sedang terbang di udara. Suatu pengalaman yang cukup berbeda dengan bungy jumping. Apalagi, lompatan tidak dilakukan dari jembatan di sungai, melainkan di tengah pusat Kota Auckland sambil melihat gedung bertingkat dan aktivitas lalu lintas di bawahnya.

Jika belum cukup bernyali untuk melompat, Anda cukup mencoba berjalan pada ketinggian 192 meter di puncak SkyTower. Berjalan berputar mengelilingi menara pada titian yang terbuat dari logam tipis tanpa pegangan. Mendebarkan.

Hongi, Salam Khas Maori

"Tena koutou, tena katoa, tena koutou katoa"

Salam pembuka ala Maori itu membuka perjumpaan saya dan 20 wartawan dari 10 negara ASEAN dengan penduduk asli Selandia Baru. Saat prosesi penyambutan di the Marea (balai pertemuan), tokoh masyarakat Maori menyambut kami dengan menggunakan bahasa asli mereka. Seusai mereka berbicara, salah seorang di antara kami menjadi juru bicara untuk membalas salam dengan menggunakan bahasa Maori yang sudah dipelajari sebelumnya.

Bill Hall, salah seorang tokoh masyarakat Maori, menjelaskan apa yang disampaikan dalam bahasa Maori mengenai asal usul sukunya. Maori adalah penduduk pribumi yang tiba di Selandia Baru sekitar 1.000 tahun lalu. Kini, 15 persen dari populasi Selandia Baru adalah suku Maori dan 87 persen orang Maori tinggal di wilayah utara.

Hingga kini suku Maori tetap eksis di negaranya. Bahkan, pada 2010, ekonomi suku Maori menyumbang 37 miliar dolar AS bagi Selandia Baru dari investasi yang signifikan dalam bidang pertanian, perikanan, kehutanan, properti, pariwisata, energi, dan infrastruktur.

Salah satu koperasi milik suku Maori adalah peternakan sapi perah di daerah Mokai, Taupo, Selandia Baru yang diolah menjadi susu UHT di pabrik susu Miraka. Hasil produksi susunya diekspor ke 23 negara di seluruh Afrika, Timur Tengah, Asia, Pasifik, dan Amerika Latin.

Usai mendapat penjelasan tentang suku Maori, prosesi penyambutan diakhiri bersalaman dengan cara unik yang disebut hongi, yakni menyatukan kening dan hidung sambil saling menghirup napas yang keluar dari hidung. Setiap rekan bisnis suku Maori juga melakukan hal serupa. Mereka meyakini rasa saling percaya yang menjadi modal utama berbisnis akan semakin terjalin erat setelah bersalaman ala Maori itu.

Suasana terasa lebih akrab ketika tarian dan nyayian khas Maori dibawakan oleh para pelajar suku Maori. Suguhan bagi rekan bisnis, tamu, dan wisatawan yang hadir itu seakan menghubungan ikatan batin antara suku Maori dengan tamunya. Hadirin yang mendengar - kannya larut dalam kemerduan suara, kepakan tangan, dan iringan gitar. Suatu perpaduan ekspresi jiwa dan keramahan suku Maori yang dituangkan melalui gerak ritmis yang indah. Oleh Muhammad Fakhruddin ed: Nina Chairani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement