Ahad 13 Jul 2014 15:00 WIB

Nagari Kamang, Negeri Pejuang

Red: operator

Di nagari ini, pahlawan Minang kabau bertumbangan menghadapi serangan penjajah Belanda.

Spanduk-spanduk peringat an Perang Kamang masih membentang di jalan-jalan ketika kami berkunjung ke nagari itu, pekan ketiga Juni 2013. Karangan bunga di makam-makam pahlawan sudah mengering tetapi masih tetap pada tempatnya.

Nagari Kamang, Kamang Darussalam, Nagari Syuhada. Nagari yang ter letak di Kabupaten Agam, Sumatra Barat, itu memang tak bisa lepas dari peristiwa-peristiwa melawan kolonialis Belanda. Dimulai dari Perang Paderi pada 1821, Perang Kamang pada 15-16 Juni 1908, dan Pemberontakan Kamang pada 1926.

Bersama fotografer Edwin Dwi Putranto, saya niatkan menyusuri beberapa sudut sejarah perjuangan di nagari yang terletak di kaki Bukit Barisan itu.

Kami putuskan memulai perjalanan ini dari Masjid Wustha di kawasan Ampang, Jorong Ampek Kampuang. Tak ada yang istimewa dari penampilan mas jid ini, sebuah masjid modern.

Pusat perlawanan

Istimewanya, Masjid Wustha terdiri atas dua lantai ini adalah pengganti Masjid Taluak di Jorong Limo Kampuang. Masjid Taluak dibakar Belanda saat perang pecah. Masjid itu dianggap sebagai pusat pergerakan perlawanan rakyat Kamang.

Adalah penerapan pajak sebesar dua persen, termasuk pajak terhadap hewan kurban, oleh Belandalah cikal bakal perlawanan orang Minang. `'Su dah dijajah, dikenai pajak pula,'' kata H Achyar Chatib (75 tahun), mantan imam Masjid Wustha, menceritakan asal mula Perang Kamang.

Masjid Taluak adalah saksi sejarah Perang Kamang. Di situlah pusat pelatihan para pemuda menghadapi Belanda. `'Mereka latihan silat, kekebalan terhadap peluru di masjid ini,''

cerita Achyar.

Malam 14 Juni, mereka mendapat berita bahwa Belanda siap menyerbu.Pukul satu dini hari, para pejuang dari nagari Lubuak Aluang, Parik Malintang, Kayu Tanam, Batusangkar, Lintau, Kamang, Manggopoh, dan Ulakan berkumpul di Kamang melakukan shalat bersama.Lalu mereka berangkat bersama.

Pa sukan anak negeri bertemu dengan pasukan Belanda bertemu di Kampung Tangah, Koto Panjang. Pasukan pejuang Minang menolak disuruh mundur. `'Terjadilah perang basosoh(pe rang frontal, jarak dekat--red),'' jelas Achyar yang juga cucu salah satu tokoh Perang Kamang.

Lokasi perang

Lokasi peperangan terletak di ka wasan Tugu Perang Kamang di daerah Tangah, kini masuk Nagari Kamang Mudiak. Tugu ini berada di dekat ru mah istri Haji Abdul Manan, di mana Be landa mencari sang ulama. Haji Ab dul Manan adalah guru tokoh penting para masa itu yang memimpin perge rakan.

Lokasi ini bisa mudah dicari. Dari Tugu Perang Kamang yang memuat relief sejarah di Simpang Pintu Koto, kita cukup mengikuti jalan yang lurus. Tugu yang diresmikan Gubernur Sumatra Barat Ir Azwar Anas pada 1982 itu berbentuk segi empat panjang dengan bola di atasnya. Tertulis, "Di sinilah terjadi Peristiwa Perang Kamang 15-16 Juni 1908 atas permintaan Jenderal AH Nasution didirikan tugu ini."

Perang menjatuhkan 70 jiwa dari kalangan orang Minang. Para pahlawan ini dimakamkan di sejumlah tempat.

Salah satunya di Dusun Kampung Budi Jorong Pakan Sinayan, Kamang Mudik.Yakni, Kompleks Makan Pahlawan Perang Kamang Haji Abdul Manan. Di dalam kompleks itu terdapat 21 pah lawan yang meninggal pada Perang Salapan 1908.

Disebutkan, pasukan Belanda yang dipimpin J Westennenk dari Fort de Kock mengalami kerugian pula. Belasan pedati kendaraan mereka yang di tarik kerbau konon dipenuhi tumpukan jasad pasukan Belanda untuk dibawa ke benteng di Bukittinggi itu.

Untuk melengkapi perjalanan tentang Perang Kamang itu, kami mencari tugu peringatan pertama, yang konon tak banyak orang mengetahuinya. Tugu itu dibangun di depan RS Ahmad Muchtar, Bukittinggi. Bentuknya persegi setinggi 10 meter itu didirikan oleh Baharuddin Datuk Bagindo pada 1963.

Satu tempat yang kami tak sempat jangkau, yakni Ngalau Kamang. Gua yang terletak di Bukit Durian ini adalah tempat para pejuang mengatur strategi Perang Kamang.

***

Berkenalan dengan Tuanku Nan Renceh

Kamziar Jasmudin mengajak saya masuk ke ruang tamunya. Sebuah lukisan besar lelaki berkaca mata, menge nakan pakaian adat minang. "Seperti ini lah Tuanku Nan Renceh," kata wanita berusia delapan puluhan tahun itu. Ia salah satu keturunan Nan Renceh yang tinggal di Jorong Bansa, Kamang, menjaga rumah pusaka mereka.

Nama Tuanku Nan Renceh selalu muncul saya saat mencari informasi tentang Nagari Kamang. Melihat ru mah keluarganya dan lukisan wajahnya Nan Renceh tak lagi sekadar nama dalam literatur, kini mewujud dalam benak saya. Perjalanan perkenalan saya dengan Nan Renceh dimulai dari makamnya.

Pahlawan Perang Paderi

Kamang Magek, itulah tempat yang kami tuju, tepatnya di situs cagar budaya Makam Tuanku Nan Renceh. Tak sulit untuk mencapai tempat itu.Sebab, ada tulisan petunjuk di beberapa tempat. Selain itu, warga setempat dapat menjelaskannya dengan mudah.

Makam itu terletak di atas bangun an kecil putih dengan atap bagonjong, di bawah pohon beringin. Bertuliskan Pahlawan Perang Paderi 1821-1837. Di makam itu ada dua makam bersebelahan dengan tulisan tentang penghuni di dalamnya: Abdullah Tuanku Nan Rentjeh dan Adji Rachman.

Makam tuanku Nan Renceh ditan dai dengan tancapan batu-batu alam.Tak ada keterangan apa pun di sana.

Akan sangat tidak menarik bila kita datang ke tempat itu tanpa latar belakang pengetahuan apa pun.

Untuk melengkapi kunjungan, Nurmitias (50 tahun), seorang ibu yang tinggal berseberangan dengan ma kam, menyarankan kami agar ke rumah keluarga Nan Renceh. "Tak jauh, itu rumah gadang milik keluarga ibu nya," kata Nur.

Ia pun lalu menyuruh anak-anaknya mengantarkan kami ke sana.Sebelum kampung ada Kami mengikuti jalan kecil masuk ke lebih dalam lagi beberapa ratus meter. Melewati pemandangan indah ladang dan sawah yang luas, sampai lah di tiga rumah gadang bersebelahan. Rumah adat dengan atap ba gonjong milik keluarga Nan Renceh kebetulan tengah direnovasi. Sebagian tampilannya tertutupi plas tik biru.

"Rumah itu sudah ada sebelum kampung ini ada," kata Kamziar. Di rumah di Jorong Bansa itu Nan Renceh lahir pada 1780. Abdullah, begitu nama kecilnya, tokoh di balik gerakan Paderi.

Nan Renceh yang menjadi orang kepercayaan Haji Miskin saat kembali dari Makkah pada 1803. Haji Miskin yang datang membawa gerakan pemurnian pengamalan agama kelompok Wahabi. Inti gerakan itu menganjurkan kembali ke syariat berdasarkan Alquran dan sunah yang sahih.

Para murid Nan Renceh belajar di Surau Bansa, Kamang. Salah satu muridnya adalah Peto Syarif yang kemudian dikenal sebagai Imam Bonjol, panglima Perang Paderi, bergerak mengusir penjajah Belanda. Tuanku Nan Renceh tutup usia karena sakit di rumahnya pada 1832.

***

Yang Menarik dan Penting

-Nagari Kamang terletak sekitar 20 km dari Kota Bukittinggi, masuk dari Simpang Gadut di Jalan Raya Bukittinggi-Medan atau Garegeh di Jalan Raya Bukittinggi-Payakumbuh. Tak banyak angkutan umum ke Kamang. Agar leluasa lebih baik menyewa mobil atau motor

-Kamang terkenal dengan buah-buahannya. Para penggemar durian mencatat sekitar September sebagai saat berburu durian kamang.

-Nagari Kamang dikenal sebagai daerahnya para perajin kayu, pembuat perabot rumah tangga yang terampil. Tak mengherankan bila gambar bufet kayu masuk di dalam lambang daerah Kamang.

Reportase oleh : Nina Chairani

Fotografer : Edwin Dwi Putranto

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement