Sentra perdagangan batik di Laweyan telah ada sejak Kerajaan Pajang pada abad ke-16.
Di tepian keruh kali Jenes dan Bana ran, anak Sungai Bengawan Solo, berdiri perkampungan tua. La weyan na manya. Laweyan berada di poros Keraton Surakarta, selatan Kota Solo, Jawa Tengah. Laweyan surganya batik di Su ra karta. Dari rahimnya lahir batik motif klasik. Sebut saja motif parang kusumo, parang kembang, danliris, parang barong, truntum, dan masih banyak lainnya.
Saya berjalan pelan di lorong gelap antara tembok-tembok tinggi menjulang milik rumah-rumah yang berdiri gagah. Lorong panjang ini memang morfologi khas Laweyan.
Eko (45 tahun), penduduk setempat yang menemani perjalanan, menyebut semakin ting gi tembok sang empunya ru mah, semakin tinggi mereka me rasakan kewibawaannya. Laweyan negerinya saudagar, begitu kata pria asli Laweyan tersebut.
Perkampungan Laweyan dido minasi rumah-rumah gedongkhas arsitektur Jawa Eropa (Indies). Ha nya saja, arsitektur agung itu diselimut tembok tinggi besar hingga tak terlihat ketradisional annya dari luar. Sebuah keagung an, cerminan kental bahwa eko nomi dibentuk sebagai panglima. Ber dagang, dagang, dan berdagang.
Perjalanan ini begitu berkesan. Saya anggap kampung ini le bih dari sekadar istimewa. Se ja rah mencatat, Laweyan dalam pandangan umum hanyalah sisa kejayaan industri batik Solo yang bergeliat sejak abad ke19, sebuah masa di saat Tanah Jawa dibanjiri orang Eropa dan kelompok vremdeoosterlingen(Asia Timur). Padahal, sejarah tak hanya sampai di sana.
Laweyan telah mematenkan perannya sebagai industri batik sejak abad ke-16. Sebuah catatan yang dihapus dalam perjalanannya.
Sebab, dalam beberapa pandangan di kalangan sejarawan setempat, Laweyan yang terus berkembang, pada abad ke-18 menjadi wujud perlawanan terhadap simbol-simbol kerajaan, antipriyayi, pioner kelas sosial baru, yang sebelumnya sentra-sosial berkiblat di keraton, dalam hal ini Kasunanan Surakarta.
Sejarawan kota Solo, Heri Pri yatmokolah menyebutkan, Laweyan tidak serta-merta seperti hari ini. Laweyan, katanya, bertahan dari gempuran banyak mitos yang dikirim dari mereka yang iri akan kemapanan ekonomi masyarakatnya. "Laweyan dianggap sebagai sebuah pesaing, subkultur yang berseberangan dengan konsep kehidupan sosial yang dibangun Keraton Surakarta," ujarnya.
Mitos pertama, Laweyan dikenal sebagai tempat yang kotor, karena toponimi kampungnya yang berasal dari kata lawe, berarti gantung. Laweyan dalam perspektif tersebut menyebut dae rah ini sebagai tempat hukuman gantung penjahat dan pembang kang kerajaan sejak abad ke-18. Mi tos kedua, berkaitan dengan ke beradaan perempuan di Lawe yan.
Laweyan menempatkan pe rem puan sebagai tuan raja dalam perputaran roda industri batiknya. Perempuan dikenal dengan istilah mbok mase, yakni seseorang bos besar sebagai penggerak ekonomi. Sang pria, disebut mas nganten, konon hanya bersarung dan main burung. Mitos kedua mengatakan, siapa pun yang menikahi mbok mase, tidak akan hidup lama. Mbok mase dianggap wujud pesugihan Nyai Blorong, tokoh mitos di Tanah Jawa.
Sejak abad ke-16 Sesungguhnya sentra perdagangan batik di Laweyan telah ada sejak Kerajaan Pajang pada abad ke-16. Artinya, Laweyan te lah ada jauh sebelum Kasunanan Surakarta mengokohkan ista na nya di Surakarta. Nama Laweyan muncul, kata Heri, karena tempat tersebut merupakan pasar distribusi kain lawe, satu bagian dari gores peradaban niaga di sepanjang tepian Bengawan Solo purba.
Laweyan pada abad ke-16, me rupakan daerah perdikan, be bas pajak yang secara ekonomi dan sosial memiliki wilayah otonominya lepas dari Kerajaan Pajang. Sosok Ki Ageng Henis adalah tokoh utama dalam kemunculan Laweyan dalam banyak buku sejarah. Babad Tanah Jawi menyebut Ki Ageng Henis membangun masjid di Laweyan pada 1546. Kerajaan Pajang saat itu memiliki Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Sebelum kehadiran Ki Ageng Henis, Laweyan didominasi pemukim Hindu-Jawa. Masjid yang didirikanpun, sebelumnya adalah tempat ritual suci, pura, bagi orang-orang Hindu-Jawa.
Ki Ageng Henis adalah putra dari Ki Ageng Sela, keturunan Brawijaya V. Adapun sejarah men catat kemudian, dari Ki Ageng Henislah kemudian cikal bakal Mataram Islam lahir. Sebab, cucu dari Ki Ageng Henis, Sutawijaya atau Panembahan Senopati, kemudian membangun Kerajaan Mataram Islam dan memindahkan kekuasaannya di Kota Gede, Yogyakarta.
Soal sejarah yang hilang, Heri Priyatmoko menyebut ada alienasi tersistematisasi. Sebuah segregasi-sosial yang dibangun untuk mengubur dalam-dalam keberadaan Laweyan sebagai bagian sejarah. Ini berkaitan dengan keberadaannya yang menandingi keraton.
Memori buruk itu terjadi saat Pakubuwono II, raja Mataram dalam pelarian geger pecinan yang meluluhlantakkan Keraton Kartasura pada 1742. Sang raja, ditolak mentah-mentah saat ingin meminjam puluhan kuda. Sudah sangat jelas, kata Heri, ini bentuk jawaban atas kebencian kaum perempuan, dalam hal ini mbok mase, yang mengutuk gaya hidup priyayi istana yang berfoya-foya, gila hormat, dan berpoligami."Mereka menganggap tidak ada gunanya sekalipun menolong seorang raja," ujarnya.Sejak saat itulah, kebencian makin besar terhadap keberadaan Laweyan.
Yuk, Berburu Batik di Laweyan!
Negeri juragan batik, begitulah wajah Laweyan dalam satu dekade terakhir. Angin kebesaran Laweyan sebagai industri batik kembali berembus pada awal 2000-an. Kampung Laweyan sempat mati suri, kehilangan napasnya sejak ekspansi batik printingpada tahun 1970-an. Saat ini Laweyan bangun dari tidur panjangnya, menggaungkan sejarah lama sebagai pusat industri batik yang tetap diperhitungkan.
"Selalu ada upaya berkelanjutan menghidupkan kembali Laweyan," kata Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), Alpha Febela Priyatmono saat saya kunjungi di kediamannya di Galeri Batik Mahkota, Kampung Sayangan, Laweyan belum lama ini.
Wajah kampung Laweyan tidak bisa dilepaskan dari peran Alpha yang menggagas kembali Laweyan sebagai kawasan wisata batik dan ke kayaan sejarah. Atas perannya pu la, Alpha mendapat penghargaan Upakarti untuk kategori jasa kepeloporan dari Presiden Susilo Bam bang Yudhoyono. Sejak 2004, Alpha bersama rekan-rekannya ber upaya menjadikan Laweyan sebagai pusat industri batik dan heritageyang mantap. Laweyan, me nurut dia, harus peka terhadap dinamika pasar batik Indonesia.
Laweyan, katanya, harus melek modernisasi tanpa menghilangkan nilai tradisionalnya.Dari 24,8 hektare kawasan batik Laweyan, Alpha merinci berdiri 90an pengusaha batik yang didominasi keturunan para juragan batik terdahulu. Ini merupakan perkembangan yang signifikan sejak awal kali pada 2004, baru 20-an pengusaha yang berani kembali merintis usaha batiknya. Konservasi bangun an rumah tinggal para juragan batik pun digenjot. Pemukiman kembali ditata. Laweyan yang tak terawat, bahkan rusak, disulap menjadi trek wisata sarat sejarah.
Bangunan bergaya art deco, Indies sisa kejayaan abad ke-19 dan 20, dipertahankan keasliannya.Kampung Batik Laweyan menge depankan konsep "Rumahku Galeriku". Artinya, rumah gedonggedongitulah yang kini menjadi butik yang siap dikunjungi. Hebatnya, tiap galeri batik di tiap Kampung Laweyan memiliki kekhasan karena latar belakang sejarahnya yang masing-masing berbeda. "Semua pemilik galeri wajib menjelaskan saat pengunjung ingin mengetahui sejarah keberadaan batiknya di Laweyan," ujar Alpha menam bahkan.
Satu tips berbelanja batik di Laweyan, sentuhlah tingkat kepuasan dengan berkeliling sepenjuru Laweyan. Juragan batik di Laweyan, kata Alpha, mengedepankan kepuasan para pelanggan. Artinya, jangan pernah ragu dalam berbelanja. Para peda gang batik di Laweyan menempatkan koleksi batiknya berda sarkan tingkat harga. "Tentunya harga akan menunjukkan kualitas batiknya,"kata Alpha. Juragan batik di Lawe yan pun dengan hormat mem persilakan para pelanggan untuk mem ban dingkan harga batiknya dengan koleksi batik di galeri lainnya.
Asli Laweyan!
1. Bandar Kabanaran Lokasi ini dikenal dengan nama Bandar Kabanaran, di Kampung Sentono, Laweyan. Sungai Kabanaran dahulu merupakan sungai besar, sebuah bandar di Laweyan yang terhubung ke bandar besar Nusupan di tepi Sungai Bengawan Solo.
2. Lokasi Pasar Laweyan Tugu hitam setinggi dua meter tak jauh dari lokasi Bandar Kabanaran.
Penanda sejarah lokasi Pasar Laweyan tempo dulu. Tak ada sisa yang berarti.Tersisa kini hanya penamaan perkampungan di sekitar tugu, kampungan bernama Kidul Pasar, dan Lor Pasar meski pasarnya entah di mana.
Asli Laweyan!
3. Langgar Merdeka Terletak di Jalan Dr Radjiman No 565, Laweyan, Solo. Bangunan tertulis didirikan pada 1877. Bangunan awalnya milik warga keturunan Tionghoa yang digunakan sebagai toko distribusi candu di La weyan. Sejak 1942, saudagar batik Laweyan, Iman Mashadi membeli dan menyulap bangunan menjadi sebuah langgar (mushala). Langgar berdiri 1945, tepat pada momen kemerdekaan RI. Nama Langgar Merdeka disematkan langsung oleh Presiden Soekarno.
Reportase oleh : Angga Indrawan
Fotografer : Suherdi Riki
Editor : Nina Chairani