Ahad 24 Aug 2014 16:00 WIB

Inilah Omah lowo…

Red: operator

Melintasi zaman ke zaman, Omah Lowo kini menjadi `istana' kelelawar.

Sebuah rumah besar tampak tua dan lusuh. Namun, ia masih megah berada di jantung kota Solo di Jalan Slamet Riyadi. Tak banyak yang tahu, rumah yang terletak di perempatan Purwosari, tak jauh dari Stasiun Purwosari, ini memiliki banyak kisah sejarah.

Bangunan bertuliskan Villa Liberty. Posisinya di hook perempatan strategis antara dua jalan utama, Jalan Slamet Riyadi dengan Jalan Perintis Kemerdekaan. Bangunan tua di tengah geliat ekonomi menengah atas dari aktivitas Solo Center Point (SCP).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sekilas dari kejauhan, bangunan ini mem buat saya tertegun. Rumah ini begitu megah dengan menyisipkan arsitektur Eropa pada tiap struktur muka bangunannya. Tapi ada sebuah ironi yang jelas. Kondisi mangkraknya bangunan berbanding terbalik dengan bangunan-bangunan modern di seki tarnya. Cat dinding Omah Lowo berwarna putih, tapi sudah mengusam dan tak jarang terkelupas tak karuan. Beberapa peman dangan yang terlihat di pelataran rumah, sisa-sisa kayu bekas yang sudah tak terpakai.

Rumah ini dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Omah Lowo. Lowo dalam bahasa Jawa berarti kelelawar. Ada yang bilang juga ini rumah Batman. Lowo dan Batman merupakan penamaan masyarakat dalam sepuluh tahun terakhir. Sebuah identitas yang disematkan karena memang kondisinya yang jauh dari perhatian. Omah Lowo diambil karena rumah ini dihuni ribuan bahkan puluhan ribu kelelawar.

Rumah berkeliling pagar hijau kusam itu kini dijaga oleh dua keluarga yang memang ditugaskan pemiliknya. Saya menemui Mbah Wiryo (60 tahun), salah satu penghuni Omah Lowo. Dari perempuan itu, izin memasuki lebih dalam Omah Lowo diberikan. Mbah Wiryo sudah enam tahun ditugaskan untuk menjaga Omah Lowo. Ia tinggal di satu bagian kecil bagian belakang Omah Lowo.

Memasuki Omah Lowo, bulu kuduk di buat menari-nari. Suasana seram tak terbantahkan saat memasuki rumah tak ber penghuni ini. Bau kotoran kelelawar makin menyengat dari segala penjuru. Omah Lowo dihuni puluhan ribu kelelawar yang tentu tak diundang.

 

Mbah Wiryo menyebut, puluhan ribu kelelawar itu keluar pada malam hari. Pada pagi hari, mereka kembali dan beristirahat di langit-langit rumah.

"Lantai basah ini adalah kencingnya lowo," ujarnya seraya menunjuk banyak genangan air di sudut-sudut lantai rumah.Padahal, kata Mbah Wiryo, setidaknya tiga hari sekali rumah ini disapu dan dibersihkan.

Rumah bersejarah

Omah Lowo merupakan bangunan peninggalan Belanda pada abad ke-19. Tidak banyak sumber sejarah yang menyebut siapa yang pertama kali menghuni rumah seluas 1.500 meter persegi tersebut. Namun demi kian, ada catatan yang tertinggal dari rumah kelelawar ini. Pada 1945, Omah Lowo dimiliki keluarga Cina bernama Sie Djian Ho. Sie Djian Ho seorang sau dagar kaya penguasa bisnis penerbitan, per ke bunan, serta pemilik pabrik es di kota Solo.

Sejak kemerdekaan RI, Omah Lowo sempat dijadikan basis persembunyian para prajurit Indonesia untuk menahan laju serangan Belanda dan Inggris yang ingin kembali menguasai Pulau Jawa. Sempat juga dijadikan gedung veteran, Omah Lowo pada dekade 1980-an beralih fungsi jadi kantor haji dan kamar dagang kota Solo.

Omah Lowo berdiri di areal seluas 3.000 meter persegi. Meski telah banyak meng alami kerusakan, masih terlihat pola Eropanya. Atap langit-langit tinggi, ukuran daun pintu dan jendela setinggi tiga kali tinggi orang dewasa. Ada empat kamar tidur yang luas di dalamnya. Dua kamar di sisi kanan, dan yang dua lagi di sisi kiri dari arah pintu masuk, terpisah ruangan besar yang kemungkinan untuk ruang keluarga. Meski berstatus cagar budaya, kepemilikan Omah Lowo bukan atas nama pemerintah setempat. Sebab, untuk menebus rumah yang kini dimiliki seorang pengusaha itu, perlu merogoh kocek hingga Rp 15 miliar.

 

 

 

 

 

 

 

 

VASTENBURG

Cermin Cengkeraman Hindia Belanda

Kehadiran Belanda menyusul kemelut politik di Solo pada 1745 setidaknya mewakili gambaran utuh bahwasanya kemudian tak ada kekuasaan raja Jawa yang tiada batas. Kehadiran Belanda turut mewarnai perjalanan kota ini dalam wajah kerajaan tapi rasa kolonial. Kekuasaan raja Jawa terpantau dan diawasi penuh Belanda dengan segala macam perangkat militernya.

Hal ini masih terlihat melalui jejak sejarah keberadaan Benteng Vastenburg yang ber ada di daerah Gladak, titik nol kota Solo. Sebuah benteng besar tempat memantau segala aktivitas perkotaan Solo. Benteng Vastenburg di dirikan pada 1745 oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Kondisinya yang sudah mangkrak, bah kan kini dikelola pihak swasta, hanya mampu menceritakan sejarah bagai mana dominasi kolonial begitu kentara di kota kerajaan ini.

Benteng Vastenburg menjadi simbol bahwa kekuasaan raja-raja Solo harus berda sar kan pengawasan Belanda. Pemetaan wilayah, morfologi kota, juga menyesuaikan dengan keberadaan benteng. Masih dapat terlihat sisa permukiman Eropa dan Belanda masuk dalam poros Vestenburg. Peninggalan bangunan permukiman Eropa masih dapat terlihat hingga kini di sekeliling Vastenburg Penduduk Eropa dan Belanda tinggal di daerah perkotaan dengan ditandai bangunan yang disebut loji, bahkan sebuah kampung bernama loji tak jauh dari benteng. Permukiman Eropa di sekitar benteng ke arah barat hingga Purwosari, biasa dihuni pejabat Belanda ataupun pengusaha per kebunan swasta, dinas militer, dan sebagainya.

Sementara itu, pemetaan etnis lainnya ju ga dilakukan Belanda. Vrem deoosterlingen (Asia Timur) yang ditem patkan di beberapa simpul ekonomi, seperti Pasar Kliwon, Klewer, dan Pasar Gede yang juga masuk poros utara Benteng Vastenburg. Pembagian ini dilakukan Belanda untuk mengawasi pergerakan masyarakat Tionghoa dan pribumi, buah trauma dari pemberontakan geger pecinan tiga tahun sebelumnya.

Puncak kolonialisme terjadi memasuki abad ke-19. Transportasi berbasis sungai mulai berganti menjadi jalur darat. Pada 1870, Belanda mulai mengekspansi titik-titik strategis transportasi dengan membenamkan rel yang melintasi Kota Solo. Kereta api masuk ke Kota Solo pada 1870, seiring dibangunnya jalur Semarang-Solo-Jogja (110 km) oleh Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV NISM).

Potensi perkebunan Solo dari industri gula dan sayur pun membuat pemerintah Belanda membuat jalur kereta yang meng hu bung kan Surabaya-Solo-Jakarta dan Bogor-Jakarta.

"Jalur rel yang melintas persis di depan ger bang Keraton Kasunanan juga merupakan sim bol penjinakan Belanda atas keraton," ujar sejarawan kota, Heri Priyatmoko. Perlin tas an rel yang berada di Kota Solo merupakan rel kereta api yang hanya tinggal satu di Indo ne sia, yakni di Jalan Slamet Riyadi, Kota Solo.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pasar Gede dan Sepak Terjang Thomas Karsten

Seperti di beberapa daerah Jawa Tengah lainnya, nama Thomas Karsten harum namanya. Sedari tadi disinggung peran Kar sten selalu ada dalam tiap pengembangan wilayah Kota Solo, khususnya di sisi utara yang merupakan basis kekuasaan Mangkunegaran.

Karsten adalah arsitek dan perencana wilayah permukiman dari Hindia Belanda. Ia putra profesor filsafat dan wakil ketua chancellor(pembantu rektor) di Universitas Amsterdam, se dangkan ibunya pribumi Jawa Tengah.

Sepak terjangnya di Indonesia masih terlihat dari buah karyanya yang hingga sekarang masih ada. Konsep pemetaan wilayah yang dibesutnya ma sih dapat terlihat di Batavia (Jakarta), Mees ter Cornelis (Jatinegara), Bandung, Buitenzorg (Bogor), Semarang (Pasar Johar), Magelang, dan beberapa daerah lainnya hingga ke Sumatra.

Di Kota Solo, salah satu mahakarya yang di buatnya adalah Pasar Gede Harjonagoro, yang juga sekaligus ruang aktivitas etnis Tionghoa.

Pasar Gede berada berseberangan dengan Balai Kota Solo. Perpaduan Jawa-Kolonial terasa dalam sentuhan Karsten, termasuk arsitektur yang ada di Pasar Gede.

Karsten, yang juga bergabung dalam Instituut de Java, perkumpulan yang peduli terhadap bu daya Jawa, merupakan arsitek yang sejatinya pro budaya Indonesia. Ini merupakan buah kritik nya bahwa di saat Belanda menjajah Indonesia, budaya tak perlu diubah. Ini yang kemudian mem buat karya Thomas Karsten mengilhami ga ya arsitektur indiesyang populer pada abad ke-20.

Karya Karsten untuk Solo:

1.Pasar Gede

2.Eks Kantor Dinas Pekerjaan Umum, berseberangan dengan Pasar Gede.

3.Pendopo dan Gapura keraton Mangkunegaran.

4.Pavilium Gusti Nurul-Pracimayasa, Mangkunegaran. Dibangun pada 1923 masa pemerintahan Mangkunegaran VII.

5. Masjid Al Wustho, Mangkunegaran.

6. Eks Rumah Dinas Residen Surakarta.

7. Villapark Banjarsari.

8. Stasiun Kereta Api Solo-Balapan.

9. Lapangan Manahan.

Yang Menarik …

KANTOR RESIDEN

Berada di Jalan Slamet Riyadi, bangunan yang kini berfungsi sebagai kantor bakorwil merupakan cermin dominasi raja makin hilang dengan hadirnya residen dan asisten re siden yang mendampingi bupati.

LOJI GANDRUNG

Bangunan bekas aktivitas ritual kaum Freemasonry Belanda yang kini dijadikan rumah dinas wali kota Solo. Juga berada di Jalan Slamet Riyadi.

BANK INDONESIA

Dulu bernama Javasche Bank, bank ter besar di Kota Solo pada masanya. Tempat aktivitas perputaran uang dari roda ekonomi industri Kota Solo yang berbasis industri gula.

SITUS NGEBRUSAN

Berada di tepian Kali Pepe, Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, utara Solo.

Ini MCK pertama, dibangun pada 1846, di masa Mangkunegara VII dengan Thomas Karsten sebagai arsiteknya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement