Ahad 31 Aug 2014 15:35 WIB

Bermalamdi Rumah Gadang

Red: operator

Jangan sekadar tidur bila menginap di rumah gadang tradisional Minangkabau. Nikmati juga detail rumah yang sudah puluhan tahun bahkan hitungan abad.

Braaak! Saya terkejut sendiri mendengar suara yang saya timbulkan. Kebiasaan bangun tidur langsung loncat ke lantai yang jadi perkaranya. Barulah tersadar, malam itu saya bermalam di rumah gadang dari kayu hingga ke lantainya. Sebuah pengalaman baru.

Saya bermalam di sebuah rumah gadang di perkampungan Jambak, Jorong Koto Marapak, Nagari Lambah, Kecamatan IV Angkek, Kabupaten Agam. Alamat sepanjang itu mengantarkan kita ke sebuah rumah gadang di kampung yang tenang 30 menit ber kendara dari Bukittinggi berlatarbelakangkan Gunung Marapi dan Gunung Singgalang.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:edwin dwi pytranto/Republika

 

Rumah itu berdiri di kampung tempat lahirnya beberapa ulama seperti Prof Zakiah Daradjat dan Mawardi Labay Al Sulthany.

Kehidupan masyarakatnya adalah bersawah, berkebun, dan juga beternak. Di kampung yang malam harinya lengang, hanya dijumpai beberapa orang di jalan atau serombongan orang yang baru pulang dari masjid.

Tahan lama Setelah sarapan ketan plus pisang goreng sambil mengagumi dua rumah gadang sederhana dari ambang jendela, saya mulai menjelajah keindahan rumah milik keluarga Arina Suhirman, teman saya. Rumah Gadang Nantigo (RGN), begitu nama rumah yang dibangun hampir seratus tahun yang lalu itu, tampil manis. Pada eksteriornya rumah gadang tujuh ruang itu berwarna oranye, terlihat manis dan feminin dengan latar depan nya taman dengan bunga-bunga dahlia bermekaran.

Pada bagian dalamnya, seluruhnya kayu tanpa lumuran cat. Rumah tradisional berbentuk panggung ini ditegakkan dengan 113 tiang. Tiang-tiang itu didirikan di atas batu sandi, batu fondasi tanpa campur tangan semen dan paku. `'Tiang-tiang ini dibuat dengan sistem pasak,'' jelas Arina. Pasakpasak dan batu sandi itu membuat rumah ini tahan guncangan gempa.

Suasana tempo dulu terasa di dalam rumah ini. Dinding kayu di ruang tengah dibentuk melengkung sederhana sebagai ornamen di setiap pintu, nuansa artdeco pada masa pembuatannya.

Tak hanya pada bangunan dan interiornya. Tapi, juga perabot rumah tangganya, kursi sedan, lemari-lemari kayu seperti di rumah nenek buyut dulu. Bahkan, tempat tidur berkelambu mengingatkan kita pada zaman Siti Nurbaya.

`'Kata ibuku, persiapan membangun rumah ini dimulai dari memilih batang-batang pohon yang akan dijadikan tiang dan papan rumah,'' ungkap Arina, salah satu ahli waris rumah gadang itu, penuh semangat. Ibundanya, Lisma Amin lahir di kamar yang kini dinamai kamar Nafisah, 74 tahun silam.

Pohon-pohon bahan bangunan dari kaki Gunung Marapi itu dipilih yang berbatang lurus. Batang gelondongan itu berikut bambu yang akan dijadikan bilik direndam sekitar dua tahun di dalam kolam berlumpur.

`'Proses perendaman itu membuat kayu lebih kuat menghadapi cuaca dan rayap,'' ujarnya seraya menyapu seluruh ruangan dengan tatapan matanya.

Rumah gadang dibangun pada 1918 oleh Idroes Dt Majolelo, tukang yang mahir membangun rumah gadang. Ia membangun Rumah Puun, rumah barat, yang kini di gun akan sebagai homestay. Disebut sebagai RG Nantigo karena perkembangan jumlah anggota keluarga, maka dibuatlah Rumah Tangah dan Rumah Ujuang.

RGN masih asli dan belum mengalami kerusakan yang cukup berarti sejak awal pembangunannya. Tiang penyangga dan langit-langit bambu belum pernah diganti sejak pertama kali dibangun. Hanya sebagian material papan kayu di dalam kamar diganti pada waktu renovasi tahun lalu karena banyak yang keropos dimakan usia.

Hidup dan menghidupi Ada enam kamar cuma. Masing-masing diberi nama sesuai penghuninya dulu: Dianah, Zawadjir, Zahara, Rukayah, Zaenab, dan Nafisah.

Tiap bulan selalu saja ada tamu datang ke RGN. Kebanyakan mereka dari Singapura dan Malaysia yang ingin menikmati negeri asal-usul mereka, Minangkabau. Boleh dibilang rumah itu tak pernah menganggur.

Cerita dari mulut ke mulut, akhirnya pelanggan RGN pun bertambah.Perbaikan dengan modal awal tak lebih dari Rp 200 juta, RGN terus berkembang.

Biaya itu untuk menambah satu kamar mandi baru, merenovasi kamar mandi dengan peralatan modern, mengganti papan rumah gadang yang lapuk, mengisi rumah gadang dengan tempat tidur, dan lain-lain.

`'Dulu orang memandang aneh saat kami merenovasi, apakah ada orang yang mau datang ke kampung yang jauh ini?'' kenang Arina tentang tatapan aneh orang saat itu.

Namun, kini setelah tamu-tamu datang silih berganti, mereka mulai melihat manfaatnya. Apalagi RGN melibatkan warga sebagai tenaga paruh waktu selama ada tamu.

Dengan menyisihkan 25 persen untuk perawatan dan renovasi rumah, Arina memperkirakan, modal awal yang dikeluarkan pembangunan rumah pertama kali sudah bisa impas di tahun ke-4. Dari langkahlangkah kecil ini, Arina dan keluarganya berharap kehidupan ekonomi kampung kecil itu menggeliat.

 

 

 

 

 

 

 

 

Lemari Lakek(kanan) dan Batu Sandi(kiri).

 

Jadi Turis Rumah Gadang

Hampir di setiap nagari di Sumatra Barat memiliki beberapa rumah gadang. Pada umumnya, kita bisa melongok melihat rumah gadang itu dengan memintanya se cara sopan. Umumnya, para peng huni rumah itu pun mengajak kita singgah. Berikut beberapa tips yang kami lakukan.

Makan-makanlah di warung milik warga setempat. Dari sana kita bisa mendapat informasi tentang rumah ga dang yang menarik. Terkadang mereka mengantarkan langsung kerumah itu.

lSambangilah warga yang menyapa dengan sopan dan ramah. Perhatikan detail rumah gadang itu, per hatikan kekuatan kayu pada rumah. Ja ngan paksakan masuk bila bangunannya terlihat rapuh, seberapa pun menariknya rumah itu.

Sering kali penjaga rumah gadang merasa pengunjung adalah orang yang kaya. Mereka pun kemudian menyindir-nyindir, dan meminta uang secara langsung. Tak ada salahnya bila Anda berbagi, namun tidak dengan cara yang menyinggung pe rasaan.

Tanyalah di mana ada rumah gadang yang difungsikan sebagai homestay.

Namun, jangan kecewa bila fasilitasnya tak seperti pada hotel berbintang atau rumah di kota besar.Bermalam di rumah gadang adalah pengalaman yang berharga untuk dicoba.

Rumah Bagonjong dalam Sejarah

Ada dua lareh(hukum adat) di Minang kabau, yakni lareh Bodi Caniago dan lareh Koto Piliang. Hukum adat itu kemudian tecermin dalam bentuk rumah gadangnya.

BODI CANIAGO

Pada lareh Bodi Caniago balai adat dan rumah gadang berlantainya datar.Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.

KOTO PILIANG

Balai adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan yang lebih tinggi daripada bagian tengah. Dengan begitu, lantai rumah gadang ada tingkatannya. Bagian yang tinggi ini tempat duduk para penghulu yang tak sama tinggi kedudukannya. Contoh paling jelas terlihat pada Istana Pagaruyung.

Rumah gadang tertua di Desa Balimbiang, Rambatan, Tanah Datar.Rumah kayu yang berwarna kehitaman ini diperkirakan sudah berusia 350 tahun. Sudah ada sembilan keturunan berasal dari rumah gadang ini yang kebanyakan merantau. Uniknya, pintu masuk kamarnya berbentuk lubang oval. Di rumah yang sudah dicagarbudayakan ini masih terdapat dapur di dalam.Jelaga hitam kegiatan dapur melapisi kayu pada bagian dapur.

BENTUK ASLI RUMAH GADANG

Rumah gadang yang masih asli menurut arsitek heritage Osrifoel Oesman beratap empat gonjong, tak ada tangga semennya dan atapnya ditutup dengan ijuk.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement